Latest News

Thursday, May 30, 2013

PANCAGILA Dasar BERBAHAYA

Sunday, May 26, 2013

SBY: Negara Menjamin Kebebasan Beribadah

SBY: Negara Menjamin Kebebasan Beribadah  
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan keterangan pers mengenai penunjukkan M Chatib Basri sebagai Menteri Keuangan yang baru di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta (20/5). TEMPO/Subekti


SBY: Negara Menjamin Kebebasan Beribadah

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan komitmen pemerintah ihwal kebebasan beragama di Indonesia. "Negara menjamin sepenuhnya kebebasan warga negara untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya," kata dia di Jakarta International Expo, Kemayoran, Ahad, 26 Mei 2013.

 Menurut Yudhoyono, pemerintah juga berupaya untuk memastikan dihentikannya segala bentuk ancaman, intimidasi, dan agitasi dalam hal kebebasan beragama. "Termasuk perusakan terhadap rumah ibadah apa pun dan penyerangan terhadap para penganut agama mana pun," ujarnya.

Ia mengatakan pihak yang mengancam hak-hak warga negara dalam menjalankan ibadahnya tidak bisa dibenarkan. "Hukum dan aturan harus ditegakkan tanpa pandang bulu," ucapnya.

Menurut Presiden, aparat penegak hukum tak perlu ragu. "Tindak tegas setiap upaya dari kelompok mana pun yang menggangu dan mengancam keselamatan setiap orang dalam menjalankan ibadah dan kepercayaannya," ujarnya.

SBY menegaskan, jika ada tindakan kekerasan dan melawan hukum, termasuk tindakan kekerasan atas nama agama, aparat keamanan dan penegak hukum dengan tegas mesti menindaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Tidak ada toleransi bagi mereka yang melakukan tindakan itu dan kekerasan di negeri ini."

Para penegak hukum, Presiden menambahkan, diharapkan bisa mempedomani dan melaksanakan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 dalam mengatasi kekerasan dan konflik sosial di tengah masyarakat. "Segenap komponen bangsa saya harapkan juga mampu bekerja sama untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan dan tindakan main hakim sendiri," katanya.

PRIHANDOKO


Source : TEMPO.CO



SBY: Negara Menjamin Kebebasan Beribadah

SBY: Negara Menjamin Kebebasan Beribadah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan keterangan pers mengenai penunjukkan M Chatib Basri sebagai Menteri Keuangan yang baru di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta (20/5). TEMPO/Subekti


SBY: Negara Menjamin Kebebasan Beribadah

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan komitmen pemerintah ihwal kebebasan beragama di Indonesia. "Negara menjamin sepenuhnya kebebasan warga negara untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya," kata dia di Jakarta International Expo, Kemayoran, Ahad, 26 Mei 2013.

 Menurut Yudhoyono, pemerintah juga berupaya untuk memastikan dihentikannya segala bentuk ancaman, intimidasi, dan agitasi dalam hal kebebasan beragama. "Termasuk perusakan terhadap rumah ibadah apa pun dan penyerangan terhadap para penganut agama mana pun," ujarnya.

Ia mengatakan pihak yang mengancam hak-hak warga negara dalam menjalankan ibadahnya tidak bisa dibenarkan. "Hukum dan aturan harus ditegakkan tanpa pandang bulu," ucapnya.

Menurut Presiden, aparat penegak hukum tak perlu ragu. "Tindak tegas setiap upaya dari kelompok mana pun yang menggangu dan mengancam keselamatan setiap orang dalam menjalankan ibadah dan kepercayaannya," ujarnya.

SBY menegaskan, jika ada tindakan kekerasan dan melawan hukum, termasuk tindakan kekerasan atas nama agama, aparat keamanan dan penegak hukum dengan tegas mesti menindaknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. "Tidak ada toleransi bagi mereka yang melakukan tindakan itu dan kekerasan di negeri ini."

Para penegak hukum, Presiden menambahkan, diharapkan bisa mempedomani dan melaksanakan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 dalam mengatasi kekerasan dan konflik sosial di tengah masyarakat. "Segenap komponen bangsa saya harapkan juga mampu bekerja sama untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan dan tindakan main hakim sendiri," katanya.

PRIHANDOKO


Source : TEMPO.CO



Antara Keutamaan Anugerah dan Kenyataan Sejarah ( Seputar Hidup Selibat )



Antara Keutamaan Anugerah dan Kenyataan Sejarah ( Seputar Hidup Selibat )

Kalau kita merasa sepi, 
kita terus-menerus mencari orang lain 
dan mengharapkan orang itu dapat menyingkirkan kesepian kita. 
Hati kita yang sepi berteriak, "Peganglah tanganku, sentuhlah aku, 
ajaklah aku berbicara, berilah aku perhatian." 

Akan tetapi, dalam waktu singkat kita akan merasa 
bahwa orang yang kita harapkan dapat menyingkirkan kesepian kita, 
ternyata tidak dapat memenuhi harapan kita. 
Tidak jarang orang itu merasa tertekan dengan kemauan kita 
dan pergi meninggalkan kita dalam kekecewaan. 

Selama kita mendekati orang lain berangkat dari kesepian kita, 
tidak akan terjadi perkembangan hubungan pribadi yang matang. 
Saling bergantung dalam kesepian, 
membuat hidup menjadi sesak, dan akhirnya akan merusak. 

Agar kasih sejati berkembang, 
kita membutuhkan keberanian untuk menciptakan ruang di antara kita 
dan yakin bahwa ruang itu membuat kita dapat menari bersama-sama.

1. Sebuah pengantar
Tersinyalir bahwa lebih dari separuh imam Katolik Polandia ingin menikah, sementara sepertiganya diam-diam melanggar peraturan selibat (hidup tidak menikah). Pertanyaannya, bisakah selibat dalam ajaran gereja Katolik tetap dipertahankan? "Sebagai pastor muda saya tadinya bahagia, namun lama-lama saya dilanda kesepian," ujar Jozef Strezynski, 58 tahun. Ketika berjumpa dengan seorang perempuan yang menarik hatinya, ia pun bergelut-gulat. Akhirnya, setelah 16 tahun menjadi pastor, Strezynski keluar dari imamatnya dan menikah. Sekarang ia sudah punya dua anak. Katanya: 'Ini adalah keputusan yang saya pertimbangkan selama bertahun-tahun. Akhirnya saya merasa dan menyadari tidak ada gunanya menjadi pastor yang tidak bahagia.' Lebih lanjut, ia mengatakan: 'salah untuk selalu men-cap pastor yang menikah dan melepaskan selibatnya sebagai berkhianat pada Tuhan. Saya rasa sebaliknya: Seorang yang tidak ingin punya kehidupan ganda, namun jujur terhadap orang yang dicintainya dan terhadap Tuhan, memang harus menanggung beban berat, tetapi paling sedikit dia jujur.'

Di Polandia, Jozef Strezynski tidak sendirian dalam bergulat-geliat dengan peraturan selibat yang harus dipatuhi seorang pastor Katolik. Berdasarkan pembicaraan dengan 800 orang pastor lebih, seorang sosiolog Polandia mendapati ternyata 54 persen di antaranya ingin hidup bersama seorang perempuan. Sementara lebih dari sepertiganya, mengakui telah melakukan hubungan seks dengan perempuan dan 12 persen diantaranya berangan-angan mempunyai hubungan tetap. Wieslaw Dawidowski, seorang pastor dari ordo Santo Agustinus di Warsawa, menyatakan tidak terkejut dengan angka-angka tersebut. Katanya: 'Saya kenal banyak eks pastor, juga banyak pastor yang sebetulnya baik-baik, yang meninggalkan gereja, jadi saya tidak kaget jika masalah seperti ini terjadi di lingkungan gereja. Itu manusiawi. Siapa yang tidak berdosa, dialah yang melempar batu pertama.' 

Menurut pastor Dawidowski, selibat bukanlah sesuatu yang mudah. “….Karena itu kepada kalangan muda saya katakan mereka harus memikirkan masak-masak. Mereka dijejali pesan bahwa menjadi pastor adalah sesuatu yang indah, sebagai pengorbanan. Namun menjadi pastor sekarang tidak lagi kerèn, kata pastor Dawidowski dalam bahasa anak muda. Seorang wartawan, Adam Szostkiewics mengatakan, 'Adalah ide yang tidak masuk akal untuk terus memberlakukan selibat dalam gereja katolik, jika di Polandia, yang mungkin merupakan negara paling katolik di Eropa, terlihat seminari-seminari menjadi semakin kosong.” 

Di lain matra, ''saya rasa pastor sudah sibuk dengan pekerjaannya dan tidak ada waktu lagi untuk keluarga" kata Renata, seorang umat yang setia di gereja Warsawa. ''Selibat merupakan dogma penting dalam Gereja Katolik dan itu harus dipertahankan, " kata Michael, yang baru saja menghadiri misa sore. Merupakan sebuah kenyataan bahwa untuk sementara pastor yang menikah masih merupakan hal tabu dalam Gereja Katolik Polandia. Ketua Konferensi Uskup Polandia, Mgr. Josep Michalik dalam reaksinya mengatakan bahwa pastor yang keluar jangan dianggap sebagai seorang pahlawan.

2. Melihat Teks, Konteks dan Praktek
Berangkat dari kenyataan di atas, yang terjadi di Polandia, tanah airnya Paus Yohanes Paulus II, menarik untuk terlebih dulu mengerti apa arti selibat sebenarnya. Selibat dapat dideskripsikan sebagai suatu status hidup dimana seorang pribadi memilih untuk tidak terikat tali perkawinan. Dalam bahasa Latin klasik, status janda atau duda dikategorikan dalam istilah “caelibs”. 

Selain itu, dahulu selalu dikatakan bahwasannya sejak agama Kristiani mulai diakui sebagai agama kekaisaran Romawi oleh Konstantinus Agung tahun 313, maka orang-orang (kebanyakan laki-laki) pergi ke padang gurun untuk hidup asketis dan selibat. Hal ini ditambah lagi dengan sebuah kenyataan bahwa sejak awal gereja, cara berfikir gereja sangat dipengaruhi oleh filsafat dualisme platonisme antara jiwa dan badan. Badan manusia dipandang rendah dan jiwa selalu dipandang sebagai yang unggul. Dalam kerangka inilah, maka hidup rohani selama berabad-abad ditandai dengan “mati raga” dan “selibat” yang bertujuan untuk mematikan raga (badan) agar jiwa bisa hidup. Oleh karena badan itu merupakan sesuatu yang rendah, maka seksualitas manusia yang secara langsung berhubungan dengan badan manusia juga dipandang rendah, bahkan hubungan seksual antara suami istri pun dipandang sebagai negatif (Imamat 15: 18).

Seiring berjalannya waktu, meski dalam beberapa periode historis, pelaksanaan selibat melemah di beberapa wilayah Eropa Barat, namun perundang-undangan tentang selibat tidak pernah dihilangkan. Para pemimpin Gereja, khususnya Paus Gregorius VII, berjuang tanpa kenal lelah untuk menegakkan disiplin gerejawi tersebut. Dengan kata lain; Gereja Barat dalam sejarahnya terus berkembang ke arah pembakuan selibat imamat dan pendisiplinan para imam ke dalam suatu praksis yang lebih radikal. Hal ini secara umum dipersiapkan oleh para paus (Siricius, Innocentius, Leo IX) serta diterima dan diteguhkan ulang dalam pelbagai sinode lokal (Roma, Toledo, Carthago, Torino, Orange, Tours). Secara umum, pada abad VIII-IX, Gereja bersaksi tentang perkembangan monastisisme dan pengaruh misionaris serta para rahib Benediktin. Semua ini memberikan dasar bagi cita-cita hidup murni dan usaha-usaha nyata untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bahkan pembaruan keagamaan berikut tata tertibnya, termasuk soal selibat dalam Gereja diintroduksi dari dalam biara. 

Dua abad kemudian, martabat dan kedudukan tugas resmi imamat seringkali dilenyapkan oleh kerakusan dan kontrol para tuan tanah. Perkawinan para imam dan konkubinat (kumpul kebo) terjadi dimana-mana. Sehingga, perjuangan panjang yang diakarkan pada monastisisme, yang sering dikenal sebagai “Reformasi Gregoriana” (1050-1150) berlangsung terus dan akhirnya selibat ditetapkan sebuah norma selibat imamat. Paus Leo IX (+1054) dan beberapa paus berikutnya menegur dan menindak para imam yang melanggar norma tersebut. Reaksi pro kontra atas sikap para paus tersebut terus bermunculan. Kemudian persoalannya merembet pada soal harta kekayaan para imam atau warisan, tanggung jawab atas kehidupan anak-anak para imam. 

Perundang-undangan yang paling radikal dalam sejarah selibat ditetapkan oleh Konsili Lateran II (1139), dimana kewajiban selibat baru dibakukan: “Kami juga menyatakan bahwa mereka yang mendapat tahbisan diakon dan seterusnya, yang memperisteri atau melakukan konkubinat dipecat dari kedudukan mereka dan pelbagai hak berkenaan dengan harta gerejawi. Mengingat dalam kenyataannya mereka harus menjadi dan atas nama tempat kudus Allah, orang yang menjaga Tuhan dan tempat tinggal Roh Kudus, adalah tidak layak jika mereka sendiri hidup dalam perkawinan dan dalam ketidakmurnian.” 

Kemudian Decretum Gratiani, karya Yohanes Gratius (+1159) menjelaskan makna selibat dari aspek-aspek tradisi yuridis-gerejawi selama milenium pertama Gereja. Decretum Gratiani yang juga disebut Concordia Discordantium Canonum merupakan kompilasi sekitar 4000 teks patristik, dekrit konsili, kata-kata Paus berkaitan dengan tata tertib gereja, yang mengedepankan suatu kerangka kerja yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah, kontradiksi dan inkonsistensi sumber-sumber penulisannya. Akhirnya Konsili Lateran IV (1215), menyatakan bahwa semua perkawinan para klerus itu batal, tidak sah, dan oleh karena itu bukan perkawinan gerejawi. Bahkan, seorang pujangga gereja, Thomas Aquinas (+1274), mengafirmasikan bahwa dimanapun tahbisan suci mengantar pada pelaksanaan prasetia tarak sempurna. Kendati penyelewengan terhadap ketentuan selibat ini menyebar, tapi ada bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa penyelewengan itu tidak terjadi di seluruh wilayah Gereja. Kebijaksanaan dan kewaspadaan hukum tentang selibat terus dihangatkan dengan diskusi-diskusi dalam relasi dengan reformasi umum sejumlah konsili, seperti Vienne (1311-1312), Kontanz (1414-1418), Firenze (1431-1445), Lateran V (1512-1517) dan Trento (1545-1563). 

Seiring waktu dan pekembangan teologi Gereja yang terus berjalan, sejak bulan September 1979 sampai dengan bulan November 1984, Paus Yohanes Paulus II memberikan katekese pada setiap audiensi hari Rabu mengenai berbagai nilai tubuh manusia di lihat dari sudut pandang biblis (Theologi of the Body). Pandangan ini sendiri berpangkal pada inkarnasi Yesus. Inkarnasi Yesus: “Firman yang menjadi manusia” (Yohanes 1: 14) adalah penegasan kembali martabat hidup manusia. Hidup manusia di dunia ini menerima perspektif dan makna yang baru sebab Allah mewujudkan diri dalam bentuk hidup manusia (daging). Yesus mengalami seluruh kehidupan manusia dalam semua suka dan dukanya, kesedihan dan kegelisahan sehingga kemuliaan Tuhan dapat diwujudkan dalam hidup manusia.

Inkarnasi Yesus jelas memberikan perspektif yang baru mengenai badan (hidup badaniah) manusia. Badan manusia bukan lagi sekedar kurungan nyawa (Platonisme) tetapi mempunyai dimensi yang luhur yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Hidup badaniah manusia mempunyai nilai yang luhur dan oleh karenanya “apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang manapun juga, penumpasan suku, pengguguran, euthanasia dan bunuh diri yang disengaja... sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (Gaudieum et Spes 27, Donum Vitae 5, Evangelium Vitae 3). Dalam perspektif pandangan positif mengenai badan manusia inilah, maka seksualitas manusia pada umumnya dan selibat pada khususnya juga mendapatkan makna yang lebih positif. 

Bicara lebih lanjut soal hidup selibat dalam kacamata yang positif, saya mengingat sebuah bagian dalam Injil Matius 19, 1 – 12. Yesus membicarakan mengenai selibat yang terjadi dalam konteks pertanyaan tentang perkawinan dan perceraian. Ketika Yesus mengatakan bahwa sejak semula tidak diperbolehkan bercerai, maka para murid berkata, “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.” (ayat 10). Mendengarkan komentar para murid yang demikian itu, maka Yesus menjawab, “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." (ayat 11 – 12). Dari hal ini jelaslah bahwa selibat itu mempunyai makna bukan dalam konfrontasi dengan perkawinan yang dipandang rendah, tetapi selibat itu sendiri mempunyai nilai dalam kerangka Kerajaan Allah. 

Oleh karena itu, mereka yang terpanggil untuk selibat bagi Kerajaan Allah bukanlah dipilih untuk tidak menikah karena tidak bisa nikah atau karena nilai rendah perkawinan, tetapi oleh karena dipilih secara bebas dan sadar bahwa memilih untuk tidak menikah demi Kerajaan Allah. Dia mempersembahkan dan menyucikan hidup selibatnya kepada Allah saja (consecrated cellibacy). 

Pada dasarnya, consecrated celibacy adalah jawaban yang dipilih secara bebas dan sudah dipertimbangkan dengan matang, karena mengandung beberapa nilai dasar, yakni: kharisma (sebuah anugerah yang bebas, sebuah panggilan dari Allah dan pilihan diri yang bebas), bermotivasi religius (oleh karena itu, motivasi pekerjaan, misalnya supaya bisa mengajar dengan baik, supaya bisa bekerja dengan total, menjadi tidak sah dalam kerangka ini), tidak melakukan tindakan seksual serta berkomitmen terhadap Kristus selamanya (yang secara external dilambangkan dengan tidak menikah). 

Berangkat dari hidup Yesus sendiri, bukankah selama hidup duniawinya, Yesus juga tidak menikah? Bukankah juga secara jelas, nilai selibat itu dihubungkan dengan finalitasnya, yakni demi Kerajaan Allah? Jika demikian adanya, maka selibat demi Kerajaan Allah pasti mempunyai makna khusus. Makna khususnya bukan terletak pada keunggulan selibat dibandingkan dengan pernikahan, sebab pernikahan itu sendiri sejak semula diciptakan oleh Sang Pencipta dan sesuai dengan keadaan manusia. Jika demikian, dimana letak keunggulan selibat? Letak keunggulannya terletak pada finalitas (tujuan akhir) selibat yang adikodrati. Untuk bisa sampai kepada tujuan akhir itu, tentu saja selibat harus dipilih dan dikehendaki oleh karena keutamaan iman yang dalam. Iman ini bukan hanya menunjukkan kepenuhan Kerajaan Allah di masa mendatang akan tetapi harus nyata di dalam hidup konkret duniawi ini. Maka selalu dikatakan bahwa hidup selibat membawa dinamisme interior yang mengarah kepada misteri penebusan (bdk. Lukas 20: 35) yang akan semakin menyerupai dengan Kristus sendiri. “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” (Roma 8: 29) 

3. Epilog
Dulu penghayatan selibat tertolong dengan tempat yang dikelilingi pagar yang rapat, biara yang privat terkunci, dan sangat terbatas orang yang bisa masuk. Pengeposan surat hanya melalui karyawan. Ada semacam benteng-benteng yang melindungi orang untuk bertahan dalam kemurnian selibat. Sebagai contoh, orang menutup badan dengan berpakaian yang begitu rapat disertai tabir pelindung pandangan mata terusan dengan kerudung kepala, sehingga orang terhalang untuk dapat melancarkan lirikan ke kiri dan ke kanan. Hidup berhubungan dengan orang lain mendapatkan pengawasan yang begitu ketat dengan berbagai macam tameng. 

Sekarang? Alamnya terasa sudah lain. Banyak imam mendapatkan kemerdekaan dalam berkarya dan bergaul. Terhadap praktek komunikasi suara dan gambar, hampir tak ada lagi yang mengontrol dan menghalanginya. Wajah orang lain di jarak berjauhan dapat langsung terlihat melalui alat genggam di manapun orang bepergian. Bermesraan dengan saling mengirim rekaman langsung gambar diri melalui tv genggam dimungkinkan. Bila ada kaum religius yang mengalami mabuk asmara, pergolakan cinta pasangan itu tidak akan berhenti, bahkan bisa berkembang subur. Berbagai macam sajian perangsang seksual genital dapat diperoleh dengan alat-alat jaringan maya. 

Dengan demikian, penghayatan selibat dalam imamat sekarang tidak tergantung pada ruang atau situasi alam sekitar, tetapi lebih pada sikap batin seseorang. Pemindahan tempat orang yang saling jatuh cinta bukan merupakan jalan penyelesaian yang selalu tepat. Pengurungan orang dalam suatu tempat yang sunyi juga bukan merupakan jalan yang pasti menyelamatkan. Sebenarnya, pada zaman sebelum dunia diwarnai oleh alat komunikasi kemayaan pun, tuntutan sikap batin itulah yang perlu. Dulu, meskipun orang hidup dalam tameng-tameng yang cukup kuat, kalau sikap batin orang tidak terpelihara dengan baik-baik, jebollah juga cita-citanya untuk menghayati kemurnian selibat secara baik. 

Disinilah, saya meyakini hubungan yang mantap dan intim dengan Yesus Kristus merupakan kekuatan mendasar bagi seorang imam dalam menghayati selibatnya. Dengan demikian seorang imam seharusnya mampu mengaplikasikan berbagai macam hal demi perkembangannya, dengan cinta yang bermuara pada diri Kristus, dan berusaha untuk mengeksplorasi seluruh pengalaman rohaninya, seperti dalam kesetiaannya untuk memelihara sabda, ekaristi dan kesetiaan pada devosi demi pengembangan hubungannya dengan Kristus. Persaudaraan mendalam diantara para imam menjadi situasi yang cocok untuk menjaga panggilan dan kekuatan serta semangat hidup seorang imam. Keterbukaan terhadap nasehat dan bimbingan serta berbagai macam teguran yang disampaikan oleh pendamping rohani atau sesama imam merupakan langkah atau usaha baik untuk menyelamatkan panggilan imamatnya juga, karena bukankah tepat kata Paulus, “harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat?”

“ORDERING OUR DESIRES”
DESIRE is often talked about as something we ought to overcome. 
Still, being is desiring: our bodies, our minds, our hearts and our souls are full of desires. Some are unruly, turbulent and very distracting: 
some make us think deep thoughts and see great visions; 
some teach us how to love; and some keep us searching for God.

Our desire for God is the desire that should guide all other desires. 
Otherwise our bodies, minds, hearts and souls become one another's enemies 
and our inner lives become chaotic, leading us to despair and self-destruction.

Spiritual disciplines are not ways to eradicate all our desires 
but ways to order them 
so that they can serve one another 
and together serve God.

Source : FB Romo Jost Kokoh

Antara Keutamaan Anugerah dan Kenyataan Sejarah ( Seputar Hidup Selibat )



Antara Keutamaan Anugerah dan Kenyataan Sejarah ( Seputar Hidup Selibat )

Kalau kita merasa sepi, 
kita terus-menerus mencari orang lain 
dan mengharapkan orang itu dapat menyingkirkan kesepian kita. 
Hati kita yang sepi berteriak, "Peganglah tanganku, sentuhlah aku, 
ajaklah aku berbicara, berilah aku perhatian." 

Akan tetapi, dalam waktu singkat kita akan merasa 
bahwa orang yang kita harapkan dapat menyingkirkan kesepian kita, 
ternyata tidak dapat memenuhi harapan kita. 
Tidak jarang orang itu merasa tertekan dengan kemauan kita 
dan pergi meninggalkan kita dalam kekecewaan. 

Selama kita mendekati orang lain berangkat dari kesepian kita, 
tidak akan terjadi perkembangan hubungan pribadi yang matang. 
Saling bergantung dalam kesepian, 
membuat hidup menjadi sesak, dan akhirnya akan merusak. 

Agar kasih sejati berkembang, 
kita membutuhkan keberanian untuk menciptakan ruang di antara kita 
dan yakin bahwa ruang itu membuat kita dapat menari bersama-sama.

1. Sebuah pengantar
Tersinyalir bahwa lebih dari separuh imam Katolik Polandia ingin menikah, sementara sepertiganya diam-diam melanggar peraturan selibat (hidup tidak menikah). Pertanyaannya, bisakah selibat dalam ajaran gereja Katolik tetap dipertahankan? "Sebagai pastor muda saya tadinya bahagia, namun lama-lama saya dilanda kesepian," ujar Jozef Strezynski, 58 tahun. Ketika berjumpa dengan seorang perempuan yang menarik hatinya, ia pun bergelut-gulat. Akhirnya, setelah 16 tahun menjadi pastor, Strezynski keluar dari imamatnya dan menikah. Sekarang ia sudah punya dua anak. Katanya: 'Ini adalah keputusan yang saya pertimbangkan selama bertahun-tahun. Akhirnya saya merasa dan menyadari tidak ada gunanya menjadi pastor yang tidak bahagia.' Lebih lanjut, ia mengatakan: 'salah untuk selalu men-cap pastor yang menikah dan melepaskan selibatnya sebagai berkhianat pada Tuhan. Saya rasa sebaliknya: Seorang yang tidak ingin punya kehidupan ganda, namun jujur terhadap orang yang dicintainya dan terhadap Tuhan, memang harus menanggung beban berat, tetapi paling sedikit dia jujur.'

Di Polandia, Jozef Strezynski tidak sendirian dalam bergulat-geliat dengan peraturan selibat yang harus dipatuhi seorang pastor Katolik. Berdasarkan pembicaraan dengan 800 orang pastor lebih, seorang sosiolog Polandia mendapati ternyata 54 persen di antaranya ingin hidup bersama seorang perempuan. Sementara lebih dari sepertiganya, mengakui telah melakukan hubungan seks dengan perempuan dan 12 persen diantaranya berangan-angan mempunyai hubungan tetap. Wieslaw Dawidowski, seorang pastor dari ordo Santo Agustinus di Warsawa, menyatakan tidak terkejut dengan angka-angka tersebut. Katanya: 'Saya kenal banyak eks pastor, juga banyak pastor yang sebetulnya baik-baik, yang meninggalkan gereja, jadi saya tidak kaget jika masalah seperti ini terjadi di lingkungan gereja. Itu manusiawi. Siapa yang tidak berdosa, dialah yang melempar batu pertama.' 

Menurut pastor Dawidowski, selibat bukanlah sesuatu yang mudah. ��.Karena itu kepada kalangan muda saya katakan mereka harus memikirkan masak-masak. Mereka dijejali pesan bahwa menjadi pastor adalah sesuatu yang indah, sebagai pengorbanan. Namun menjadi pastor sekarang tidak lagi ker�n, kata pastor Dawidowski dalam bahasa anak muda. Seorang wartawan, Adam Szostkiewics mengatakan, 'Adalah ide yang tidak masuk akal untuk terus memberlakukan selibat dalam gereja katolik, jika di Polandia, yang mungkin merupakan negara paling katolik di Eropa, terlihat seminari-seminari menjadi semakin kosong.� 

Di lain matra, ''saya rasa pastor sudah sibuk dengan pekerjaannya dan tidak ada waktu lagi untuk keluarga" kata Renata, seorang umat yang setia di gereja Warsawa. ''Selibat merupakan dogma penting dalam Gereja Katolik dan itu harus dipertahankan, " kata Michael, yang baru saja menghadiri misa sore. Merupakan sebuah kenyataan bahwa untuk sementara pastor yang menikah masih merupakan hal tabu dalam Gereja Katolik Polandia. Ketua Konferensi Uskup Polandia, Mgr. Josep Michalik dalam reaksinya mengatakan bahwa pastor yang keluar jangan dianggap sebagai seorang pahlawan.

2. Melihat Teks, Konteks dan Praktek
Berangkat dari kenyataan di atas, yang terjadi di Polandia, tanah airnya Paus Yohanes Paulus II, menarik untuk terlebih dulu mengerti apa arti selibat sebenarnya. Selibat dapat dideskripsikan sebagai suatu status hidup dimana seorang pribadi memilih untuk tidak terikat tali perkawinan. Dalam bahasa Latin klasik, status janda atau duda dikategorikan dalam istilah �caelibs�. 

Selain itu, dahulu selalu dikatakan bahwasannya sejak agama Kristiani mulai diakui sebagai agama kekaisaran Romawi oleh Konstantinus Agung tahun 313, maka orang-orang (kebanyakan laki-laki) pergi ke padang gurun untuk hidup asketis dan selibat. Hal ini ditambah lagi dengan sebuah kenyataan bahwa sejak awal gereja, cara berfikir gereja sangat dipengaruhi oleh filsafat dualisme platonisme antara jiwa dan badan. Badan manusia dipandang rendah dan jiwa selalu dipandang sebagai yang unggul. Dalam kerangka inilah, maka hidup rohani selama berabad-abad ditandai dengan �mati raga� dan �selibat� yang bertujuan untuk mematikan raga (badan) agar jiwa bisa hidup. Oleh karena badan itu merupakan sesuatu yang rendah, maka seksualitas manusia yang secara langsung berhubungan dengan badan manusia juga dipandang rendah, bahkan hubungan seksual antara suami istri pun dipandang sebagai negatif (Imamat 15: 18).

Seiring berjalannya waktu, meski dalam beberapa periode historis, pelaksanaan selibat melemah di beberapa wilayah Eropa Barat, namun perundang-undangan tentang selibat tidak pernah dihilangkan. Para pemimpin Gereja, khususnya Paus Gregorius VII, berjuang tanpa kenal lelah untuk menegakkan disiplin gerejawi tersebut. Dengan kata lain; Gereja Barat dalam sejarahnya terus berkembang ke arah pembakuan selibat imamat dan pendisiplinan para imam ke dalam suatu praksis yang lebih radikal. Hal ini secara umum dipersiapkan oleh para paus (Siricius, Innocentius, Leo IX) serta diterima dan diteguhkan ulang dalam pelbagai sinode lokal (Roma, Toledo, Carthago, Torino, Orange, Tours). Secara umum, pada abad VIII-IX, Gereja bersaksi tentang perkembangan monastisisme dan pengaruh misionaris serta para rahib Benediktin. Semua ini memberikan dasar bagi cita-cita hidup murni dan usaha-usaha nyata untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bahkan pembaruan keagamaan berikut tata tertibnya, termasuk soal selibat dalam Gereja diintroduksi dari dalam biara. 

Dua abad kemudian, martabat dan kedudukan tugas resmi imamat seringkali dilenyapkan oleh kerakusan dan kontrol para tuan tanah. Perkawinan para imam dan konkubinat (kumpul kebo) terjadi dimana-mana. Sehingga, perjuangan panjang yang diakarkan pada monastisisme, yang sering dikenal sebagai �Reformasi Gregoriana� (1050-1150) berlangsung terus dan akhirnya selibat ditetapkan sebuah norma selibat imamat. Paus Leo IX (+1054) dan beberapa paus berikutnya menegur dan menindak para imam yang melanggar norma tersebut. Reaksi pro kontra atas sikap para paus tersebut terus bermunculan. Kemudian persoalannya merembet pada soal harta kekayaan para imam atau warisan, tanggung jawab atas kehidupan anak-anak para imam. 

Perundang-undangan yang paling radikal dalam sejarah selibat ditetapkan oleh Konsili Lateran II (1139), dimana kewajiban selibat baru dibakukan: �Kami juga menyatakan bahwa mereka yang mendapat tahbisan diakon dan seterusnya, yang memperisteri atau melakukan konkubinat dipecat dari kedudukan mereka dan pelbagai hak berkenaan dengan harta gerejawi. Mengingat dalam kenyataannya mereka harus menjadi dan atas nama tempat kudus Allah, orang yang menjaga Tuhan dan tempat tinggal Roh Kudus, adalah tidak layak jika mereka sendiri hidup dalam perkawinan dan dalam ketidakmurnian.� 

Kemudian Decretum Gratiani, karya Yohanes Gratius (+1159) menjelaskan makna selibat dari aspek-aspek tradisi yuridis-gerejawi selama milenium pertama Gereja. Decretum Gratiani yang juga disebut Concordia Discordantium Canonum merupakan kompilasi sekitar 4000 teks patristik, dekrit konsili, kata-kata Paus berkaitan dengan tata tertib gereja, yang mengedepankan suatu kerangka kerja yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah, kontradiksi dan inkonsistensi sumber-sumber penulisannya. Akhirnya Konsili Lateran IV (1215), menyatakan bahwa semua perkawinan para klerus itu batal, tidak sah, dan oleh karena itu bukan perkawinan gerejawi. Bahkan, seorang pujangga gereja, Thomas Aquinas (+1274), mengafirmasikan bahwa dimanapun tahbisan suci mengantar pada pelaksanaan prasetia tarak sempurna. Kendati penyelewengan terhadap ketentuan selibat ini menyebar, tapi ada bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa penyelewengan itu tidak terjadi di seluruh wilayah Gereja. Kebijaksanaan dan kewaspadaan hukum tentang selibat terus dihangatkan dengan diskusi-diskusi dalam relasi dengan reformasi umum sejumlah konsili, seperti Vienne (1311-1312), Kontanz (1414-1418), Firenze (1431-1445), Lateran V (1512-1517) dan Trento (1545-1563). 

Seiring waktu dan pekembangan teologi Gereja yang terus berjalan, sejak bulan September 1979 sampai dengan bulan November 1984, Paus Yohanes Paulus II memberikan katekese pada setiap audiensi hari Rabu mengenai berbagai nilai tubuh manusia di lihat dari sudut pandang biblis (Theologi of the Body). Pandangan ini sendiri berpangkal pada inkarnasi Yesus. Inkarnasi Yesus: �Firman yang menjadi manusia� (Yohanes 1: 14) adalah penegasan kembali martabat hidup manusia. Hidup manusia di dunia ini menerima perspektif dan makna yang baru sebab Allah mewujudkan diri dalam bentuk hidup manusia (daging). Yesus mengalami seluruh kehidupan manusia dalam semua suka dan dukanya, kesedihan dan kegelisahan sehingga kemuliaan Tuhan dapat diwujudkan dalam hidup manusia.

Inkarnasi Yesus jelas memberikan perspektif yang baru mengenai badan (hidup badaniah) manusia. Badan manusia bukan lagi sekedar kurungan nyawa (Platonisme) tetapi mempunyai dimensi yang luhur yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Hidup badaniah manusia mempunyai nilai yang luhur dan oleh karenanya �apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang manapun juga, penumpasan suku, pengguguran, euthanasia dan bunuh diri yang disengaja... sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta.� (Gaudieum et Spes 27, Donum Vitae 5, Evangelium Vitae 3). Dalam perspektif pandangan positif mengenai badan manusia inilah, maka seksualitas manusia pada umumnya dan selibat pada khususnya juga mendapatkan makna yang lebih positif. 

Bicara lebih lanjut soal hidup selibat dalam kacamata yang positif, saya mengingat sebuah bagian dalam Injil Matius 19, 1 � 12. Yesus membicarakan mengenai selibat yang terjadi dalam konteks pertanyaan tentang perkawinan dan perceraian. Ketika Yesus mengatakan bahwa sejak semula tidak diperbolehkan bercerai, maka para murid berkata, �Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.� (ayat 10). Mendengarkan komentar para murid yang demikian itu, maka Yesus menjawab, �Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." (ayat 11 � 12). Dari hal ini jelaslah bahwa selibat itu mempunyai makna bukan dalam konfrontasi dengan perkawinan yang dipandang rendah, tetapi selibat itu sendiri mempunyai nilai dalam kerangka Kerajaan Allah. 

Oleh karena itu, mereka yang terpanggil untuk selibat bagi Kerajaan Allah bukanlah dipilih untuk tidak menikah karena tidak bisa nikah atau karena nilai rendah perkawinan, tetapi oleh karena dipilih secara bebas dan sadar bahwa memilih untuk tidak menikah demi Kerajaan Allah. Dia mempersembahkan dan menyucikan hidup selibatnya kepada Allah saja (consecrated cellibacy). 

Pada dasarnya, consecrated celibacy adalah jawaban yang dipilih secara bebas dan sudah dipertimbangkan dengan matang, karena mengandung beberapa nilai dasar, yakni: kharisma (sebuah anugerah yang bebas, sebuah panggilan dari Allah dan pilihan diri yang bebas), bermotivasi religius (oleh karena itu, motivasi pekerjaan, misalnya supaya bisa mengajar dengan baik, supaya bisa bekerja dengan total, menjadi tidak sah dalam kerangka ini), tidak melakukan tindakan seksual serta berkomitmen terhadap Kristus selamanya (yang secara external dilambangkan dengan tidak menikah). 

Berangkat dari hidup Yesus sendiri, bukankah selama hidup duniawinya, Yesus juga tidak menikah? Bukankah juga secara jelas, nilai selibat itu dihubungkan dengan finalitasnya, yakni demi Kerajaan Allah? Jika demikian adanya, maka selibat demi Kerajaan Allah pasti mempunyai makna khusus. Makna khususnya bukan terletak pada keunggulan selibat dibandingkan dengan pernikahan, sebab pernikahan itu sendiri sejak semula diciptakan oleh Sang Pencipta dan sesuai dengan keadaan manusia. Jika demikian, dimana letak keunggulan selibat? Letak keunggulannya terletak pada finalitas (tujuan akhir) selibat yang adikodrati. Untuk bisa sampai kepada tujuan akhir itu, tentu saja selibat harus dipilih dan dikehendaki oleh karena keutamaan iman yang dalam. Iman ini bukan hanya menunjukkan kepenuhan Kerajaan Allah di masa mendatang akan tetapi harus nyata di dalam hidup konkret duniawi ini. Maka selalu dikatakan bahwa hidup selibat membawa dinamisme interior yang mengarah kepada misteri penebusan (bdk. Lukas 20: 35) yang akan semakin menyerupai dengan Kristus sendiri. �Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.� (Roma 8: 29) 

3. Epilog
Dulu penghayatan selibat tertolong dengan tempat yang dikelilingi pagar yang rapat, biara yang privat terkunci, dan sangat terbatas orang yang bisa masuk. Pengeposan surat hanya melalui karyawan. Ada semacam benteng-benteng yang melindungi orang untuk bertahan dalam kemurnian selibat. Sebagai contoh, orang menutup badan dengan berpakaian yang begitu rapat disertai tabir pelindung pandangan mata terusan dengan kerudung kepala, sehingga orang terhalang untuk dapat melancarkan lirikan ke kiri dan ke kanan. Hidup berhubungan dengan orang lain mendapatkan pengawasan yang begitu ketat dengan berbagai macam tameng. 

Sekarang? Alamnya terasa sudah lain. Banyak imam mendapatkan kemerdekaan dalam berkarya dan bergaul. Terhadap praktek komunikasi suara dan gambar, hampir tak ada lagi yang mengontrol dan menghalanginya. Wajah orang lain di jarak berjauhan dapat langsung terlihat melalui alat genggam di manapun orang bepergian. Bermesraan dengan saling mengirim rekaman langsung gambar diri melalui tv genggam dimungkinkan. Bila ada kaum religius yang mengalami mabuk asmara, pergolakan cinta pasangan itu tidak akan berhenti, bahkan bisa berkembang subur. Berbagai macam sajian perangsang seksual genital dapat diperoleh dengan alat-alat jaringan maya. 

Dengan demikian, penghayatan selibat dalam imamat sekarang tidak tergantung pada ruang atau situasi alam sekitar, tetapi lebih pada sikap batin seseorang. Pemindahan tempat orang yang saling jatuh cinta bukan merupakan jalan penyelesaian yang selalu tepat. Pengurungan orang dalam suatu tempat yang sunyi juga bukan merupakan jalan yang pasti menyelamatkan. Sebenarnya, pada zaman sebelum dunia diwarnai oleh alat komunikasi kemayaan pun, tuntutan sikap batin itulah yang perlu. Dulu, meskipun orang hidup dalam tameng-tameng yang cukup kuat, kalau sikap batin orang tidak terpelihara dengan baik-baik, jebollah juga cita-citanya untuk menghayati kemurnian selibat secara baik. 

Disinilah, saya meyakini hubungan yang mantap dan intim dengan Yesus Kristus merupakan kekuatan mendasar bagi seorang imam dalam menghayati selibatnya. Dengan demikian seorang imam seharusnya mampu mengaplikasikan berbagai macam hal demi perkembangannya, dengan cinta yang bermuara pada diri Kristus, dan berusaha untuk mengeksplorasi seluruh pengalaman rohaninya, seperti dalam kesetiaannya untuk memelihara sabda, ekaristi dan kesetiaan pada devosi demi pengembangan hubungannya dengan Kristus. Persaudaraan mendalam diantara para imam menjadi situasi yang cocok untuk menjaga panggilan dan kekuatan serta semangat hidup seorang imam. Keterbukaan terhadap nasehat dan bimbingan serta berbagai macam teguran yang disampaikan oleh pendamping rohani atau sesama imam merupakan langkah atau usaha baik untuk menyelamatkan panggilan imamatnya juga, karena bukankah tepat kata Paulus, �harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat?�

�ORDERING OUR DESIRES�
DESIRE is often talked about as something we ought to overcome. 
Still, being is desiring: our bodies, our minds, our hearts and our souls are full of desires. Some are unruly, turbulent and very distracting: 
some make us think deep thoughts and see great visions; 
some teach us how to love; and some keep us searching for God.

Our desire for God is the desire that should guide all other desires. 
Otherwise our bodies, minds, hearts and souls become one another's enemies 
and our inner lives become chaotic, leading us to despair and self-destruction.

Spiritual disciplines are not ways to eradicate all our desires 
but ways to order them 
so that they can serve one another 
and together serve God.

Source : FB Romo Jost Kokoh

Monday, May 20, 2013

Baptis Bayi : Sebaiknya Kapan Dan Apa Saja Syaratnya ?

baptisan-anak

Baptis Bayi : Sebaiknya Kapan Dan Apa Saja Syaratnya ?


Romo, saya ingin bertanya,

1. Usia berapa seorang bayi boleh dibaptis dalam gereja Katolik?
2. Syarat baptis bayi apa saja?
Demikian pertanyaan saya, terima kasih.
Berkah Dalem
Romo Victor Menjawab :
Billy yang baik,
1. Gereja St. Arnoldus sama seperti Gereja-Gereja Katolik lainnya, setiap hari Minggu terakhir dalam bulan selalu mengadakan upacara Baptis Antuta (baptis untuk anak dibawa usia 7 tahun). Artinya, setiap anak yang berusia di bawah 7 tahun, boleh dibaptis.
2. Syarat baptisan bayi:
a. Prinsip pokok: adanya jaminan pendidikan iman Katolik bagi anak. Untuk itu yang perlu diperhatikan: (1) orang tuanya [salah satu atau keduanya]sudah Katolik, [2] Orang tuanya [salah seorang atau keduanya] rajin mengikuti kegiatan rohani di lingkungan atau ke Gereja, [3] Perkawinan kedua orangtuanya sudah diberkati di Gereja Katolik
b. Syarat-syarat yang memperlihatkan pendidikan / keteladanan iman Katolik dari orangtua si anak ini bisa diabaikan apabila anak tersebut diasuh atau tinggal bersama pihak lain yang mampu menjamin pendidikan iman Katolik bagi anak, misalnya: diasuh kakek / neneknya yang Katolik, diangkat sebagai anak oleh keluarga Katolik lain, diasuh oleh suster di asrama Katolik, dan sebagainya.
c. Persyaratan administratif lainnya yang diperlukan adalah menunjukkan Surat Baptis orangtua dan Surat Nikah Gereja Katolik dan rekomendasi dari ketua lingkungan
d. Para orangtua calon permandian diwajibkan mengikuti kursus persiapan bagi orangtua sebelum upacara permandia diadakan.

Source : parokiarnoldus.net

Mgr AG Pius Datubara OFMCap Di Saat Masih Muda



Di kala Ompung kita Mgr AG Pius Datubara OFMCap masih muda....



Sunday, May 19, 2013

Tiga Kudus fondasi Kongregasi..


 






Source : FB Pujakesuma Ajakelam Puja

Film Jagal, Apa Kata Franz Magnis Suseno ?

SBY Dapat Penghargaan, Franz Magnis Protes   
Rohaniwan Franz Magnis Suseno 'mempelopori' penolakan terhadap Penghargaan Ahmad Bakrie (Bakrie Award) pada 2007. Ketika itu Romo Magnis menolak menerima hadiah Bakrie Award dengan alasan bencana lumpur Lapindo yang disebabkan anak perusahaan Bakrie. DOK/TEMPO/ Zulkarnain


Film Jagal, Apa Kata Franz Magnis Suseno ?  


Tokoh agama Franz Magnis Suseno, SJ rupanya sangat terkesan menonton film Jagal (The Act of Killing) besutan Joshua Oppenheimer. Menurut dia, film ini seharusnya ditonton lebih banyak orang untuk mendapat gambaran tentang suatu kejahatan kemanusiaan. 

“Film ini menunjukkan betapa orang kehilangan segala perasaannya untuk suatu kejahatan,” ujarnya kepada Tempo seusai menonton film ini di Blitz Megaplex, Rabu malam, 6 Februari 2013.

Romo Magnis menjelaskan, kejahatan yang diperlihatkan oleh sang Jagal, Anwar Congo, seharusnya tidak boleh terjadi selama-lamanya. “Sangat-sangat tidak boleh, ini akan memalukan bagi seluruh pelaku yang terlibat,” ujar pria yang sebelumnya berkewarganegaraan Jerman ini.

Pria sepuh ini juga berharap film yang telah diputar di berbagai festival film internasional ini lebih banyak lagi ditonton oleh masyarakat Indonesia. “Biar berpikir supaya bisa mendobrak sablon-sablon yang sekarang ini menutup kebuntuan itu,” ujarnya. Menurut dia, film ini jauh lebih baik ketimbang banyak bicara omong kosong tentang kejahatan kemanusiaan. 

Film Jagal mengisahkan kehidupan Anwar Congo, seorang penjagal korban peristiwa 1965 di daerah Medan dan sekitarnya. Film dokumenter ini juga memperlihatkan sangkut paut Anwar dengan organisasi Pemuda Pancasila. 

Film ini sebelumnya diputar di Festival Film Telluride Amerika Serikat. Setelah itu berturut-turut diputar di Toronto, Kanada; Copenhagen, Denmark; dan Berlin. Film ini telah diputar di 91 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia dengan 238 kali pemutaran. Diperkirakan lebih dari 6.000 orang telah menonton film ini. 

DIAN YULIASTUTI


Source : tempo.co

Film Jagal, Apa Kata Franz Magnis Suseno ?

SBY Dapat Penghargaan, Franz Magnis Protes
Rohaniwan Franz Magnis Suseno 'mempelopori' penolakan terhadap Penghargaan Ahmad Bakrie (Bakrie Award) pada 2007. Ketika itu Romo Magnis menolak menerima hadiah Bakrie Award dengan alasan bencana lumpur Lapindo yang disebabkan anak perusahaan Bakrie. DOK/TEMPO/ Zulkarnain


Film Jagal, Apa Kata Franz Magnis Suseno ?  


Tokoh agama Franz Magnis Suseno, SJ rupanya sangat terkesan menonton film Jagal (The Act of Killing) besutan Joshua Oppenheimer. Menurut dia, film ini seharusnya ditonton lebih banyak orang untuk mendapat gambaran tentang suatu kejahatan kemanusiaan. 

�Film ini menunjukkan betapa orang kehilangan segala perasaannya untuk suatu kejahatan,� ujarnya kepada Tempo seusai menonton film ini di Blitz Megaplex, Rabu malam, 6 Februari 2013.

Romo Magnis menjelaskan, kejahatan yang diperlihatkan oleh sang Jagal, Anwar Congo, seharusnya tidak boleh terjadi selama-lamanya. �Sangat-sangat tidak boleh, ini akan memalukan bagi seluruh pelaku yang terlibat,� ujar pria yang sebelumnya berkewarganegaraan Jerman ini.

Pria sepuh ini juga berharap film yang telah diputar di berbagai festival film internasional ini lebih banyak lagi ditonton oleh masyarakat Indonesia. �Biar berpikir supaya bisa mendobrak sablon-sablon yang sekarang ini menutup kebuntuan itu,� ujarnya. Menurut dia, film ini jauh lebih baik ketimbang banyak bicara omong kosong tentang kejahatan kemanusiaan. 

Film Jagal mengisahkan kehidupan Anwar Congo, seorang penjagal korban peristiwa 1965 di daerah Medan dan sekitarnya. Film dokumenter ini juga memperlihatkan sangkut paut Anwar dengan organisasi Pemuda Pancasila. 

Film ini sebelumnya diputar di Festival Film Telluride Amerika Serikat. Setelah itu berturut-turut diputar di Toronto, Kanada; Copenhagen, Denmark; dan Berlin. Film ini telah diputar di 91 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia dengan 238 kali pemutaran. Diperkirakan lebih dari 6.000 orang telah menonton film ini. 

DIAN YULIASTUTI


Source : tempo.co

SBY Dapat Penghargaan, Franz Magnis Protes

SBY Dapat Penghargaan, Franz Magnis Protes   
Rohaniwan Franz Magnis Suseno 'mempelopori' penolakan terhadap Penghargaan Ahmad Bakrie (Bakrie Award) pada 2007. Ketika itu Romo Magnis menolak menerima hadiah Bakrie Award dengan alasan bencana lumpur Lapindo yang disebabkan anak perusahaan Bakrie. DOK/TEMPO/ Zulkarnain


SBY Dapat Penghargaan, Franz Magnis Protes 

Profesor bidang filsafat, Franz Magnis Suseno, protes atas rencana penganugerahan World Statesman Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Franz Magnis mengirim surat keberatan ke Appeal of Conscience Foundation (ACF), lembaga yang menganugerahi hadiah tersebut.

Dia menyebutkan ada dua poin keberatan "Pertama, SBY selama kepemimpinannya 8,5 tahun tidak pernah menyatakan kepada rakyat Indonesia untuk menghormati minoritas," kata Franz Magnis ketika dihubungi Tempo, Kamis, 16 Mei 2013.

Kedua, SBY tidak pernah melindungi kelompok yang menjadi korban kekerasan seperti dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah yang dicap sesat oleh kelompok aliran keras. "Presiden SBY tidak melakukan dan mengatakan apa-apa untuk melindungi mereka," kata Franz Magnis.

Dalam surat itu, dia menuturkan ratusan orang Ahmadiyah dan Syiah yang dianggap sesat diusir dari tempat tinggal mereka. Akibatnya, mereka mengungsi ke tempat-tempat seperti ruang olahraga. Bahkan, ada beberapa kasus terbunuhnya orang Ahmadiyah dan Syiah. "Sehingga muncul pertanyaan apakah Indonesia akan memburuk kondisinya seperti Pakistan dan Irak di mana setiap bulan orang Syiah dibunuh karena motivasi agama?" tulis Franz Magnis.

Bila hadiah ini tetap diberikan kepada SBY, kata Franz, hal tersebut sungguh akan memalukan. "Ini mendiskreditkan seluruh klaim Anda sebagai lembaga yang bertujuan moral," katanya. Dalam situsnya, ACF yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada 1965 menyebut diri sebagai organisasi yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat.

Pastor Katolik Serikat Jesuit dan profesor filsafat yang mengajar di Studi Filsafat Driyarkara ini juga menyebutkan berbagai persoalan intoleransi beragama yang ada di Indonesia. Seperti kesulitan umat Kristiani dalam izin mendirikan ibadah, adanya kasus penutupan paksa gereja, kesulitan kebaktian. "Sehingga intoleransi tumbuh di tingkat akar rumput," katanya.

Dia mempertanyakan proses keputusan ACF yang memberi anugerah itu. "Bagaimana keputusan bisa diambil tanpa meminta pendapat rakyat Indonesia?" katanya. Lebih lanjut, dia menyatakan semoga keputusan ACF tak hanya mengandalkan orang-orang pemerintah atau orang dekat Presiden SBY.

Bukan sekali ini saja Franz bersuara keras. Dia pernah menolak Bakrie Award. Franz beralasan Bakrie terlibat dalam kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.

YULIAWATI

Source : tempo.co


SBY Dapat Penghargaan, Franz Magnis Protes

SBY Dapat Penghargaan, Franz Magnis Protes
Rohaniwan Franz Magnis Suseno 'mempelopori' penolakan terhadap Penghargaan Ahmad Bakrie (Bakrie Award) pada 2007. Ketika itu Romo Magnis menolak menerima hadiah Bakrie Award dengan alasan bencana lumpur Lapindo yang disebabkan anak perusahaan Bakrie. DOK/TEMPO/ Zulkarnain


SBY Dapat Penghargaan, Franz Magnis Protes 

Profesor bidang filsafat, Franz Magnis Suseno, protes atas rencana penganugerahan World Statesman Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Franz Magnis mengirim surat keberatan ke Appeal of Conscience Foundation (ACF), lembaga yang menganugerahi hadiah tersebut.

Dia menyebutkan ada dua poin keberatan "Pertama, SBY selama kepemimpinannya 8,5 tahun tidak pernah menyatakan kepada rakyat Indonesia untuk menghormati minoritas," kata Franz Magnis ketika dihubungi Tempo, Kamis, 16 Mei 2013.

Kedua, SBY tidak pernah melindungi kelompok yang menjadi korban kekerasan seperti dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah yang dicap sesat oleh kelompok aliran keras. "Presiden SBY tidak melakukan dan mengatakan apa-apa untuk melindungi mereka," kata Franz Magnis.

Dalam surat itu, dia menuturkan ratusan orang Ahmadiyah dan Syiah yang dianggap sesat diusir dari tempat tinggal mereka. Akibatnya, mereka mengungsi ke tempat-tempat seperti ruang olahraga. Bahkan, ada beberapa kasus terbunuhnya orang Ahmadiyah dan Syiah. "Sehingga muncul pertanyaan apakah Indonesia akan memburuk kondisinya seperti Pakistan dan Irak di mana setiap bulan orang Syiah dibunuh karena motivasi agama?" tulis Franz Magnis.

Bila hadiah ini tetap diberikan kepada SBY, kata Franz, hal tersebut sungguh akan memalukan. "Ini mendiskreditkan seluruh klaim Anda sebagai lembaga yang bertujuan moral," katanya. Dalam situsnya, ACF yang didirikan Rabbi Arthur Schneier pada 1965 menyebut diri sebagai organisasi yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan yang berbasis di New York, Amerika Serikat.

Pastor Katolik Serikat Jesuit dan profesor filsafat yang mengajar di Studi Filsafat Driyarkara ini juga menyebutkan berbagai persoalan intoleransi beragama yang ada di Indonesia. Seperti kesulitan umat Kristiani dalam izin mendirikan ibadah, adanya kasus penutupan paksa gereja, kesulitan kebaktian. "Sehingga intoleransi tumbuh di tingkat akar rumput," katanya.

Dia mempertanyakan proses keputusan ACF yang memberi anugerah itu. "Bagaimana keputusan bisa diambil tanpa meminta pendapat rakyat Indonesia?" katanya. Lebih lanjut, dia menyatakan semoga keputusan ACF tak hanya mengandalkan orang-orang pemerintah atau orang dekat Presiden SBY.

Bukan sekali ini saja Franz bersuara keras. Dia pernah menolak Bakrie Award. Franz beralasan Bakrie terlibat dalam kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.

YULIAWATI

Source : tempo.co


Thursday, May 16, 2013

Jumlah umat Katolik meningkat dengan cepat di Asia dan Afrika

Pertumbuhan umat Katolik meningkat di Asia


Keterangan

Jumlah umat Katolik meningkat dengan cepat di Asia dan Afrika, demikian data yang dirilis pada Senin oleh Vatikan, namun di kawasan lain menunjukkan kestabilan dan bahkan menurun di Amerika, Eropa dan Oseania.

Statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan umat Katolik di Asia meningkat dari seluruh penduduk di benua itu. Di antara tahun 2010 dan tahun 2011 kawasan ini mengalami peningkatan pertumbuhan dua persen, dibandingkan dengan 1,2 persen sebelumnya. Angka yang sama tercatat di Afrika, sementara di seluruh dunia umat Katolik berkembang sejalan dengan pertumbuhan penduduk.

Benua Amerika tetap menjadi wilayah yang paling banyak umat Katolik, dengan jumlah kurang dari setengah penduduk dunia.

Tren pertumbuhan Gereja di Asia dan Afrika juga tercermin dalam jumlah imam dan seminaris. Sementara di Eropa jumlah mereka telah menurun hampir 10 persen dalam satu dekade terakhir, di Afrika jumlahnya naik 39,5 persen sejak tahun 2000, dan di Asia meningkat 32 persen.

Kecenderungan ini bisa mempercepat pertumbuhan di tahun-tahun mendatang, terutama karena para calon imam menjadi semakin langka di Eropa dan Amerika.

Angka itu berbeda dengan Religius wanita. Jumlah biarawati telah menyusut hampir 10 persen dari tahun 2001, dengan hanya 713.000 tahun 2011 dibandingkan dengan 792.000 satu dekade lalu.

Dengan penurunan tajam di Eropa, Oceania dan Amerika, pertumbuhan yang cepat di Asia dan Afrika belum mampu mengimbangi tren itu.

Sumber: indonesia.ucanews.com

Seorang anak Kolombia berusia tiga tahun berpakaian gaya seorang imam dan “merayakan” Misa

Seorang anak yatim-piatu berusia tiga tahun ‘merayakan’ Misa thumbnail


Seorang anak Kolombia berusia tiga tahun telah menarik perhatian di internet di mana ia berpakaian gaya seorang imam dan “merayakan” Misa, membawakan bacaan-bacaan liturgi melalui ingatannya.
Samuel Jaramillo adalah seorang anak yatim-piatu. Ia  tinggal bersama nenek dan bibinya di kota Medellin. Ketika anggota keluarga mengunggah  video di YouTube dimana anak itu sedang meniru imam merayakan Misa.  Video itu berhasil menarik hampir 300.000 orang yang melihat dalam waktu seminggu.
Keluarganya mengatakan kepada wartawan bahwa Natal lalu, Jaramillo tidak meminta mainan seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Sebaliknya, ia ingin “pakaian imam” dan benda-benda yang diperlukan untuk “merayakan” Misa
Dia telah belajar untuk membaca teks Misa dan melalui ingatannya, ia lakukan  dengan intonasi dan gerak tubuh seperti seorang imam berpengalaman.
Dalam refleksi yang diterbitkan oleh El Colombiano, Pastor Daniel Monsalve mencatat “semangat Jaramillo dan kelembutannya menginspirasi dia”.
“Di tengah dunia yang terus berubah yang terkadang acuh tak acuh terhadap hal-hal keagamaan, anak ini muncul sebagai kesaksian cinta kepada Tuhan,” tulis Pastor Monsalve.
Kasus seperti Jaramillo “seharusnya tidak hanya membangkitkan semangat keagamaan, tetapi juga berfungsi sebagai contoh untuk promosi panggilan imamat dan Religius, didukung oleh paroki, seminari dan rumah binaan,” tambahnya.
Bibinya Jaramillo, Elizabeth Rojas Arango, mengatakan, “Kami tidak pernah mengajarkannya,” tapi Jaramillo pergi Misa setiap hari Minggu dan Selasa bersama neneknya, Eva Rosa Arango.
Rojas Arango mengatakan keputusan untuk mengunggah video Samuel tidak “bermaksud untuk membuatnya menjadi popular.”
Jaramillo berdoa Aku Percaya dengan lancar dan bahkan membawa homilinya sendiri.
Dalam sebuah wawancara dengan televisi RCN, Jaramillo mengatakan ia ingin menjadi seorang imam saat ia besar nanti.
Pastor Monsalve mengatakan ketika orang melihat Jaramillo, “Mereka akan kagum dan akan mengklik ‘Like‘ atau ‘Share‘. Namun, hal itu adalah Allah yang terus berbicara kepada manusia melalui kerendahan hati seorang anak kecil.”
Dia juga menggarisbawahi peran orang tua dan keluarga dalam pendidikan anak-anak.
“Orang tua dan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan anak harus terus memenuhi peran penting memberikan kesaksian dan dorongan,” katanya.

Source : indonesia.ucanews.com

Tags