Latest News

Showing posts with label IMAMAT. Show all posts
Showing posts with label IMAMAT. Show all posts

Friday, September 20, 2013

PROFICIAT ATAS TAHBISAN IMAMAT



PROFICIAT ATAS TAHBISAN IMAMAT :

Pastor Daniel Rusein, MSF
Pastor Yonas Roka, MSF
Pastor Andy Hasti, MSF

Yang hari ini menerima tahbisan imamat dari Uskup Keuskupan Banjarmasin Mgr. Petrus Boddeng Timang di Paroki St. Lukas Temindung, Samarinda, Kalimantan Timur hari ini, Jumat, 20 September 2013.

Selamat berkarya dan jadilah misionaris sejati seturut teladan Pater Jean Berthier, MS, pendiri Tarekat MSF. Maju terus Misionaris Keluarga Kudus, wartakan Kasih TUHAN sampai ke ujung dunia seperti para misionaris pendahulu. Berkat TUHAN

Salam&doa,



Source : FB Dionisius Agus Puguh

Friday, July 26, 2013

Tahbisan Imam Pastor Andreas Rumajar, PR oleh Mgr J Suwatan MSC 6 juli 2013 di Katedral Manado

Tuesday, July 23, 2013

Imam dan Uskup Berpakaian Tradisional India



Wednesday, April 24, 2013

Inilah Tiga Alasan Umat Katolik Tinggalkan Gereja




Seorang peserta seminar terbuka Latihan Rohani di Kolese Kanisius, 23 Juni 2012 kemarin mengungkapkan adanya gejala jumlah umat Katolik yang semakin berkurang. Dikatakan bahwa hal ini terjadi mungkin karena harapan umat tidak dipenuhi Gereja. �Harapan umat Katolik banyak, namun Gereja tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Adakah yang salah dengan kurikulum pendidikan calon imam?�, ungkap salah seorang peserta.



Romo Deshi Ramadhani, SJ, dosen STF Driyarkara dan sekaligus rektor Kolese Hermanum menunjuk tiga hal yang membuat umat Katolik meninggalkan Gereja.



Pertama, khotbah. Seringkali khotbah para imam tidak menarik. Namun dikatakan oleh Romo Deshi bahwa sebenarnya khotbah bukan menjadi unsur penting dalam sebuah perayaan ekaristi. Tidak heran, misalnya, kuliah �homiliteka� yang mengajarkan para calon imam berkhotbah tidak banyak diberikan dibandingkan dengan mata kuliah yang lain. Khotbah yang tidak menarik membuat umat lari dari Gereja Katolik.



Kedua, Liturgi. Liturgi dalam Gereja Katolik acapkali dipandang tidak menarik. Masih terjadi diskusi dan perdebatan tentang lagu apa saja yang boleh dipakai dalam perayaan liturgi. Bahkan terjemahan dalam doa Bapa Kami juga masih menjadi perdebatan mengenai mana yang benar �Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam Surga� ataukah �Jadilah kehendak-Mu di atas bumi dan di dalam Surga.� Artinya, seringkali terjadi perdebatan dan polemik yang �kurang penting.� Oleh karena itu, beberapa orang Katolik mulai bosan dan mencari liturgi yang lebih dinamis dan menarik.



Ketiga, Komunitas. Yang sering terjadi adalah: umat yang datang tidak disapa, umat yang tidak datang tidak dicari. Pernahkah kita mengenal umat yang duduk di sebelah kita, kendati tiap minggu kita ketemu? Pernahkah kita saling bertukar nomor HP dengan mereka yang duduk di sebelah kita? Aroma �tidak hangat� di antara umat Katolik inilah yang acapkali membuat orang tidak krasan lagi menjadi bagian Gereja Katolik. Mereka mencari komunitas lain yang lebih �hangat.�



Seminar terbuka Latihan Rohani tersebut berlangsung di Kolese Kanisius, 23 Juni 2012. Seminar yang dihadiri sekitar 80 peserta dari berbagai kalangan umat ini  diadakan atas inisiatif PERHATI (Perkumpulan Harapan Tunas Indonesia) dan menghadirkan Romo Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ dan Dr. Deshi Ramadhani, SJ, sebagai pembicara. Keduanya dosen STF Driyarkara Jakarta. Sumber ketiga dari kalangan awam, yakni Boen Kosasih, yang pernah retret Latihan Rohani selama sebulan. Acara ini dimoderatori oleh Romo In Nugroho, SJ dari Kolese Kanisius Jakarta.



Seminar ini menjadi salah satu mata rantai gerakan Yesuit provinsi Indonesia untuk membentuk jaringan, yang diharapkan ikut memikirkan dukungan bagi karya-karya Serikat Yesus di Indonesia. Selanjutnya, PERHATI akan mengadakan acara retret/rekoleksi dengan tema �Memberikan diri untuk Misi Rekonsiliasi� pada hari Sabtu, 28 Juli 2012 dan �Fund Raising is about restoring the web of relationships� pada hari Sabtu 17 November 2012 di Jakarta. Sedangkan di Yogyakarta juga akan diadakan acara yang sama masing-masing pada hari 

Source : sesawi.net

Saturday, April 20, 2013

SEMINARI : WADAH PENDIDIKAN DAN PEMBINAAN CALON IMAM




Seminari merupakan sebuah lembaga khusus dan istimewa karena seminari adalah wadah pendidikan dan pembinaan orang-orang terpanggil untuk menjadi imam. Lembaga khusus yang memberikan pendidikan dan pembinaan para calon imam ini sangat berbeda dengan lembaga pendidikan setingkat lainnya. Lembaga pendidikan swasta yang mendidik dan  membina calon-calon agen pastoral untuk bekerja di ladang Tuhan.

Seseorang yang mau menjadi imam, pada prinsipnya perlu menjalani proses pendidikan dan pembinaan di seminari menengah. Seminari menengah menjadi tempat pertama untuk menyemaikan benih-benih panggilan orang-orang terpanggil sebelum ke seminari tinggi hingga ditahbiskan menjadi imam. Untuk saat ini, seminari menengah bukanlah jalan satu-satunya mencapai imamat. Lembaga-lembaga setingkat lainnya pun bisa mendidik dan  membina seseorang menjadi imam. Fakta menunjukkan bahwa banyak imam yang tertahbis tidak menjalankan pendidikannya lewat seminari menengah.

Seminari sebagai tempat persemaian memiliki komponen-komponen khusus yang dianggap sebagai penunjang keberlangsungannya. Komponen-komponen tersebut terdiri atas lembaga keagamaan (KWI dan keuskupan), para guru dan pembina, orang tua, karyawan, dan  pihak-pihak terkait lain yang langsung atau tidak langsung ikut mendukung panggilan para calon imam. Semua komponen ini dengan cara dan kemampuannya ikut mendukung, mendidik, dan membina para seminaris tersebut. Khusus para guru dan pembina tugas ini dilihat sebagai suatu tugas atau misi hidup sebab mereka diberi kepercayaan penuh untuk mendidik dan membina calon imam dalam upayanya menapaki panggilan Tuhan.

Sebagai lembaga calon imam, seminari menghadirkan pelbagai kegiatan rohani demi mendukung perkembangan kepribadian dan kerohanian calon imam. Kegiatan-kegiatan itu seperti ekaristi, doa, meditasi, sharing, bacaan rohani, dan lain-lain. Dari pelbagai kegiatan itu, yang paling penting dan menonjol adalah ekaristi dan doa. Kedua kegiatan ini menjadi pusat hidup seorang calon imam. Seorang calon imam yang berkepribadian dan berkerohanian baik harus benar-benar melaksanakan dan menghayati ekaristi dan doa.

Melalui doa seorang calon imam menjalin relasi interpersonal dan menjalin dialog cinta dengan Allah. Selain itu, dapat memberikan kekuatan bagi calon imam agar berani menghadapi setiap tantangan yang dihadapi dalam perjalanan panggilannya. Doa adalah kekuatan dan  partner hidup seorang calon imam.
Ekaristi dalam tradisi Kristen merupakan kenangan kurban Paska Kristus, yang secara sakramental menghadirkan kurban satu-satunya, yaitu tubuhNya. Karena itu ekaristi adalah kurban. Sifat kurban dan perayaan ekaristi diungkapkan pada kata-kata konsenkrasio, "TERIMALAH DAN MAKANLAH, INILAH TUBUHKU, YANG DIKURBANKAN BAGIMU" dan "TERIMALAH DAN MINUMLAH, INILAH PIALA DARAHKU, DARAH PERJANJIAN BARU DAN KEKAL, YANG DITUMPAHKAN BAGIMU DAN BAGI SEMUA ORANG DEMI PENGAMPUNAN DOSA."
Di samping sebagai kurban, ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup kristiani, sebab di dalam ekaristi tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja yakni Kristus sendiri.

Di dalam ekaristi Kristus sendiri tampil sebagai tokoh yang mengemban tugas BapaNya : menyucikan dunia dan juga puncak penghormatan manusia terhadap Kristus, serta dengan pengantaraanNya kepada Bapa dalam Roh Kudus. Melalui ekaristi, seluruh umat Katolik menyatukan diri dalam kurban surgawi serta mencicipi roti dan anggur kehidupan. Dengan demikian, ekaristi menjadi perayaan kehidupan, di mana umat Kristiani mengungkapkan pengalaman hidup beriman yang dihayati setiap hari.
Memimpin perayaan ekaristi adalah salah satu tugas konkret seorang imam Tuhan, di samping mewartakan injil dan menggembalakan umatNya. Di dalam ekaristi seorang imam menunjukan identitasnya sebagai yang tertahbis dalam mengemban tritugas Yesus yakni sebagai Nabi, Imam,dan Raja.

Calon imam yang menyadari peran yang akan diembannya seperti ini, harus mengikuti dan menghayati ekaristi. Ekaristi mesti disadari bukan sebagai aturan yang harus ditaati melainkan sebagai sumber dan puncak ziarah panggilan. Dalam dan melalui ekaristi, seorang calon imam menemukan diri dan membaharui benih panggilannya, serta menjadi inspirasi bagi seluruh ziarah panggilannya. Kenangan akan kurban Yesus membuka wawasan calon imam menatap masa depan yang diimpikannya.

Di dalam ekaristi tercakup pula tugas konkrit yang lain yakni sebagai nabi dan raja. Menjadi nabi berarti orang dipanggil untuk mewartakan kerajaan Allah di tengah umat Tuhan. Sebagai raja, yang terpanggil mesti hadir di tengah umat, memimpin, dan menghantar mereka ke jalan yang benar. Ekaristi menyatukan semua tugas konkret ini, karena di dalam ekaristi yang terpanggil perlu menyatakan, mewartakan, dan menghantar iman umat kepada Allah satu-satunya melalui kenangan akan kurban Kristus. Di sini, ekaristi menjadi pusat dari seluruh rangkaian panggilan hidup orang yang terpanggil.

Di panti pendidikan calon imam (seminari), seorang calon imam mesti menyadari perutusan (misi) yang akan diembannya. Perlu disadari bahwa tugas itu tidak mudah. Karena itu seorang calon imam harus merasa diri mampu dan terus menyelami misi itu. Sebagai lembaga persiapan calon imam ada pelbagai kegiatan yang melatih siswa untuk bermisi di tengah masyarakat. Salah satunya yang paling menonjol adalah live-in. Live-in berarti hidup di dalam. Kegiatan ini dilakukan demi memhina mental para peserta.

Live-in yang dilakukan para calon imam mempunyai tujuan seperti yang sudah termaktub di atas. Di sini live-in memegang peranan penting sebagai persiapan untuk menjalankan tugas perutusan bila sudah menjadi imam kelak. Melalui live-in para calon imam bisa melihat dan  merasakan sendiri laku hidup umat dan dengan kehadiran mereka umat merasa diteguhkan, dikuatkan untuk tetap mengimani Allah sebagai pencipta dan penyelenggara.

Untuk dapat menyukseskan cita-cita ini, para calon imam yang sedang mengikuti pandidikan dan pembinaan di seminari, harus belajar dengan sungguh-sungguh dan menaati aturan-aturan yang ditetapkan seminari. Dengan menyadari dan menaatinya, seorang calon imam mantap dalam intelektual maupun rohani atau kepribadian dan siap untuk menerima tritugas Yesus yang akan diembannya nanti.

Oleh : Lambertus Ai 
Seminari Menengah San Dominggo Hokeng 

Source : seminarikwi.org

"TANTANGAN KEHIDUPAN SELIBAT IMAM DI JAMAN MODERN"


Imam adalah orang yang dikuduskan Tuhan untuk mempersatukan manusia dengan Tuhan. Kuasa mempersatukan ini telah diberikan oleh Allah melalui penumpangan tangan pada saat tahbisan, yaitu sebagai suksesi apostolik yang pernah dilakukan Yesus terhadap para rasul untuk menyalurkan rahmat Allah bagi manusia. Namun dalam prakteknya, identitas tersebut sering terhalang oleh dimensi manusiawi para imam. 

Fakta di lapangan dimana para imam sering kehilangan kendali untuk tetap teguh secara khusus dalam janji selibatnya. Meskipun hal itu dilakukan oleh oknum imam yang jumlahnya sedikit tetapi hal itu sungguh mencoreng wajah Gereja secara khusus identitas imam sebagai orang yang dikuduskan untuk mengabdi secara tulus dan bulat kepada Tuhan. Dari fakta tersebut, kita patut bertanya, mengapa para imam yang telah dikuduskan demi Tuhan masih tergiur melanggar janji yang pernah diungkapkan di depan umat dan altar? Apakah masih relevan imam hidup selibat di jaman modern?

Identitas Imam

Seperti yang telah dituliskan di atas bahwa imam ministerial/jabatan merupakan sarana mempersatukan manusia dengan Allah karena dia memiliki tri tugas Kristus yaitu sebagai nabi, imam dan raja. Identitas imam memiliki tiga dimensi yaitu, pneumatologis, kristologis dan eklesiologis  Struktur asli teologis imam dipanggil untuk menjadi pelayan keselamatan. Imam merupakan abdi Allah dan berpangkal dari dan kepada Kristus. 

Jati diri atau identitas imam bersumber dari Allah Tritunggal. Hubungan  mendasar imam dengan Yesus Kristus sangat erat. Sebagaimana Yesus Imam agung adalah seorang gembala yang baik. Yesus mengenal domba-dombaNya dan mengorbankan hidupnya bagi mereka dan mengumpulkan mereka yang tercerai berai dalam satu kawanan yaitu di dalam diriNya sendiri (Yoh 10:11-16).  Yesus adalah Gembala yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Mat 20: 28), dan Gembala yang rela mencuci kaki para muridNya (Yoh 13:1-20). Dia adalah pribadi yang berusaha melawan godaan-godaan setan/iblis (Mat 4:1-11), hidup dalam doa (Matius 26: 36-46, Mrk 14:32-42, Luk 22:39-46) dan memberikan pengampunan bagi orang berdosa, tidak mau jatuh ke dalam dosa tetapi membantu orang agar tidak jatuh ke dalam dosa (Mrk 26:6-13). Melalui dan di dalam Dia, banyak orang bertobat dan diselamatkan (Yoh 1:1-18). Sebagaimana imam adalah wakil Kristus di dunia (in persona christi), maka para imam pula harus selalu menyerupai Kristus agar mampu memantulkan wajah Kristus.

Faktor-faktor Penyebab Ketidaksetiaan Imam pada Janji Selibat
Di atas, penulis telah menuliskan masalah selibat sebagai janji yang sering menjadi momok para imam. Masalah selibat para imam yang terbongkar sering membuat pendengar baik itu umat, calon imam atau siapa saja menjadi miris terhadap imam. Selain itu orang mulai mengajukan sejumlah keberatan dan pertanyaan akan makna hidup selibat. Ada banyak faktor yang menyebabkan imam melanggar janji selibatnya. Pertama, faktor psikologis (intern). Kematangan afeksi dapat juga sebagai pendorong kematangan seksual. Semakin seseorang mampu mengontrol emosionalnya maka semakin besar kemungkinan baginya untuk mengatur dorongan seksualnya. Kematangan afeksi sangat dipengaruhi oleh sejumlah memori pengalaman masa lalunya.  Bila seseorang memiliki kematangan masa lalu yang tidak bahagia, ada kemungkinan dia mencari sublimasi ketenagannya melalui seksual. Kedua, faktor globalisasi. Globalisasi merupakan sistem peradapan penyeragaman nilai-nilai. Ada kecenderungan di jaman ini bahwa sesuatu dianggap bernilai bila sesuatu itu menyenangkan, membahagiakan, bersifat gebyar, hedonis, materialis, tidak menuntut askese, maupun matiraga, memiliki banyak uang dan penyaluran seks secara bebas,  tidak ada nilai yang absolut. Nilai dalam tataran spiritual yang menuntut askese, matiraga, keheningan, memikul salib/penderitaan diaggap sudah tidak relevan lagi.

Semua nilai di jaman modern tersebut telah berusaha memasuki dimensi kesadaran para imam.  Salah satu penyebab imam yang tidak setia pada janji selibatnya adalah karena dia telah dipengaruhi oleh faktor destruktif globalisasi tersebut. Ketiga, faktor pemahaman teologi. Imam yang tidak setia pada selibatnya bisa juga dipengaruhi bahwa dia kurang memiliki wawasan yang luas tentang hidup selibat. Dia tidak memahami konsekuensi dan akibatnya seperti yang tertulis dalam KHK, kan. 599, Perfectae Caritatis, art. 12, Vita Consecrata art.88.  Keempat, faktor lawan jenis. Pesona lawan jenis yang indah ditatap berpengaruh dalam membuat imam untuk tidak setia pada selibatnya. Kelima, faktor hidup rohani. Hidup rohani berkaitan dengan relasi intim seorang imam dengan Sang Gembala Agungnya. Relasi intim ini mengandaikan kesadaran imam bahwa dia tidak dapat menjalankan hakikat keimamatannya sendiri sehingga dia selalu berpasrah, dan menimba kekuatan dari Sang Gembala Agungnya. Imam yang tidak setia pada janji selibatnya karena dia tidak menjadikan Kristus sebagai pusat segala hidup dan jalannya. Keenam, konskupisensi. Kesalahan dosa manusia pertama telah merembes ke dalam setiap umat manusia. Imam juga manusia yang memiliki kecenderungan berbuat dosa.

Saran-saran Pembinaan

Ketika imam melanggar hidup selibatnya, tidak relevan kalau kita mempertanyakan efisiensi dan efektivitas maupun keaktualan/kerelevanan hidup selibat. Hidup selibat imam tetap relevan karena Kristus dan para rasul telah melakukannya sebagai persembahan diri agar imam dapat memberikan cinta universal kepada semua manusia dan Allah dan demi efektivitas pelayanan dan pewartaan Sabda Allah. Hal yang kita pertanyakan adalah cara hidup para imam dan bukan esensi selibatnya. Esensi/hakikat hidup selibat sebagai sarana penyerahan diri total kepada Tuhan tidak akan teraktualisasi dengan baik bila cara hidup imam tidak terarah pada hakikat keselibatannya.
Atas masalah yang dihadapi oleh segelintir umat dan berbagai faktor penyebab tersebut, diharapkan agar imam kembali menyadari hakikatnya sebagai alat Tuhan untuk mewartakan keselamatan. Upaya-upaya juga mencakup upaya promotif (selibat demi pemberian kasih secara bebas), preventif (imam harus selalu hidup dalam kehati-hatian), kuratif (imam harus mau bertobat bila telah melakukan kesalahan) dan rehabilitatif (imam harus selalu mengusahakan diri pada nilai-nilai Kristus). Usaha tersebut dirinci dalam dua bagian yaitu internal dan eksternal.

Identifikasi diri

Pertama, internal. Seorang imam harus selalu mengidentifikasikan dirinya dengan Kristus. Identifikasi berarti berusaha menyerupai Kristus baik dari segi kekudusan/selibaterNya, perjuangan, humanitas, dsb (lihat identitas imam di atas). Sebagaimana sebuah perbuatan baik dapat dilakukan dengan baik bila pribadi yang bersangkutan membiasakan diri untuk melakukan perbuatan baik tersebut. Demikian juga seorang imam akan mampu menyerupai Kristus bila dia selalu mengindentifikasi dirinya dengan Kristus. Dari identifikasi ini, imam akan mampu menyadari dirinya sebagai in persona christi, mampu membedakan antara apa yang menjadi kebutuhan (lebih mendalam) dan keinginannya (bersifat dangkal:hasrat, nafsu, dsb), mampu hidup di dunia modern/globalisasi meskipun tidak harus lari dari dunia (fuga mudi), mampu melihat seks bukan hanya sebagai hubungan intim tetapi sebagai persembahan diri yang utuh kepada Tuhan secara bebas  dan pada akhirnya mampu mengatasi konkupisensianya. Oleh sebab itu, para imam harus selalu mengambil waktu tenang baik pada pagi hari ataupun sore hari untuk selalu merefleksikan dirinya apakah sudah selaras/identik dengan kehendak Kristus. 

Dalam refleksi tersebut, imam harus sadar bahwa hidup selibatnya diperuntukkan demi semakin optimalnya pewartaaan Sabda Allah dan sebagai perwujudan wajah Kristus di dunia. Imam harus memberikan seluruh tubuhnya bagi Allah, totalitas dirinya, sebagaimana Kristus berkata, “Inilah tubuhKu” tanpa memiliki pretensi seks sebagai persatuan pria dan perempuan tetapi sebagai totalitas diri tanpa syarat demi keselamatan umat manusia.  mempersembahkan diri seutuhnya berarti masuk dalam kesunyian afektif rohani, menerima dengan berani dan setia. Seperti Bunda Maria menerima kesuburan hidupnya dalam pertemuan dengan misteri keselamatan.  Dengan demikian adanya integrasi antara spiritualitas dan seksualitas.  Integrasi tersebut akan memampukan imam untuk mengekspresikan imamat sebagai karunia.  Selain itu, bagi imam yang memiliki luka batin atau pengalaman masa lalu yang suram diharapkan agar selalu mengolahnya/menyembuhkannya dengan bantuan iman, psikolog.

On going formation external

Kedua, eksternal. Konggregasi/serikat/ordo maupun keuskupan imam yang bersangkutan harus memfasilitasi imam kesempatan untuk retret, pembinaan-pembinaan, seminar, dsb. Agar kesadaran imam akan hakikat keimamatannya semakin bertumbuh dan berkembang, dan pihak yang berwenang (konggregasi/serikat/ordo/keuskupan) harus juga selalu setia untuk selalu mensosialisasikan  KHK, kan. 599, Perfectae Caritatis, art. 12, Vita Consecrata art.88 dan mengambil tindakan yang tegas terhadap setiap pelanggaran imam sesuai dengan porsi atau beratnya masalah selibat yang diperbuat imam.

Penutup

Imam merupakan pribadi yang bertindak atas nama Kristus (in persona christi). Sebagaimana Kristus telah memberikan seluruh tubuhNya bagi keselamatan manusia, maka para imam juga harus memberikan keutuhan tubuhnya bukan untuk dikonsumsi dalam tataran hubungan seksual dengan perempuan. Banyak faktor yang menyebabkan imam tidak setia dengan selibatnya. Ketidaksetiaan ini dapat diatasi bila imam selalu mengidentifikasi diri dan tubuhnya dengan diri dan tubuh Yesus Kristus. Dengan identifikasi ini, hari demi hari imam semakin berusaha menyelaraskan diri dengan kehendak Kristus. Melalui identifikasi ini, imam selalu diarahkan pada nilai injili bukan pada nilai globalisasi. Identifikasi ini disebut pula dengan internalisasi hidup Kristus ke dalam diri imam. Semakin orang mengidentifikasi dirinya dengan Kristus maka dia akan setia pada nilai-nilai selibatnya di tengah hiruk piruk pemaknaan tubuh hanya dalam tataran seks atau hubungan intim. Dengan demikian hidup selibat tetap aktual. Namun keaktualannya tergantung pada kemauan imam untuk selalu mengindetifikasi dirinya dengan Kristus.

Daftar Pustaka

Darminta, J, S.J, Persembahan Cintaku, Yogyakarta: Kanisius, 1974
Dokumen Konsili Vatikan II, Presbyterorum Ordinis.
KWI, Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: KWI, 2006.
Konggregasi Klerus, Imam Gembala dan Pemimpin Paroki, Yogyakarta: Dokpen KWI, 2005.
Paulus II, Yohanes,. Pastores Dabo Vobis, Jakarta: Dokpen KWI, 1992.
Rahmadhani, Deshi, S.J, Lihatlah Tubuhku, Membebaskan Seks bersama Yohanes Paulus II,
Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Suparno, Paul, SJ, Seksualitas Kaum Berjubah, Yogyakarta: Kanisius, 2007

Source : seminarikwi.org

"TANTANGAN KEHIDUPAN SELIBAT IMAM DI JAMAN MODERN"


Imam adalah orang yang dikuduskan Tuhan untuk mempersatukan manusia dengan Tuhan. Kuasa mempersatukan ini telah diberikan oleh Allah melalui penumpangan tangan pada saat tahbisan, yaitu sebagai suksesi apostolik yang pernah dilakukan Yesus terhadap para rasul untuk menyalurkan rahmat Allah bagi manusia. Namun dalam prakteknya, identitas tersebut sering terhalang oleh dimensi manusiawi para imam. 

Fakta di lapangan dimana para imam sering kehilangan kendali untuk tetap teguh secara khusus dalam janji selibatnya. Meskipun hal itu dilakukan oleh oknum imam yang jumlahnya sedikit tetapi hal itu sungguh mencoreng wajah Gereja secara khusus identitas imam sebagai orang yang dikuduskan untuk mengabdi secara tulus dan bulat kepada Tuhan. Dari fakta tersebut, kita patut bertanya, mengapa para imam yang telah dikuduskan demi Tuhan masih tergiur melanggar janji yang pernah diungkapkan di depan umat dan altar? Apakah masih relevan imam hidup selibat di jaman modern?

Identitas Imam

Seperti yang telah dituliskan di atas bahwa imam ministerial/jabatan merupakan sarana mempersatukan manusia dengan Allah karena dia memiliki tri tugas Kristus yaitu sebagai nabi, imam dan raja. Identitas imam memiliki tiga dimensi yaitu, pneumatologis, kristologis dan eklesiologis  Struktur asli teologis imam dipanggil untuk menjadi pelayan keselamatan. Imam merupakan abdi Allah dan berpangkal dari dan kepada Kristus. 

Jati diri atau identitas imam bersumber dari Allah Tritunggal. Hubungan  mendasar imam dengan Yesus Kristus sangat erat. Sebagaimana Yesus Imam agung adalah seorang gembala yang baik. Yesus mengenal domba-dombaNya dan mengorbankan hidupnya bagi mereka dan mengumpulkan mereka yang tercerai berai dalam satu kawanan yaitu di dalam diriNya sendiri (Yoh 10:11-16).  Yesus adalah Gembala yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Mat 20: 28), dan Gembala yang rela mencuci kaki para muridNya (Yoh 13:1-20). Dia adalah pribadi yang berusaha melawan godaan-godaan setan/iblis (Mat 4:1-11), hidup dalam doa (Matius 26: 36-46, Mrk 14:32-42, Luk 22:39-46) dan memberikan pengampunan bagi orang berdosa, tidak mau jatuh ke dalam dosa tetapi membantu orang agar tidak jatuh ke dalam dosa (Mrk 26:6-13). Melalui dan di dalam Dia, banyak orang bertobat dan diselamatkan (Yoh 1:1-18). Sebagaimana imam adalah wakil Kristus di dunia (in persona christi), maka para imam pula harus selalu menyerupai Kristus agar mampu memantulkan wajah Kristus.

Faktor-faktor Penyebab Ketidaksetiaan Imam pada Janji Selibat
Di atas, penulis telah menuliskan masalah selibat sebagai janji yang sering menjadi momok para imam. Masalah selibat para imam yang terbongkar sering membuat pendengar baik itu umat, calon imam atau siapa saja menjadi miris terhadap imam. Selain itu orang mulai mengajukan sejumlah keberatan dan pertanyaan akan makna hidup selibat. Ada banyak faktor yang menyebabkan imam melanggar janji selibatnya. Pertama, faktor psikologis (intern). Kematangan afeksi dapat juga sebagai pendorong kematangan seksual. Semakin seseorang mampu mengontrol emosionalnya maka semakin besar kemungkinan baginya untuk mengatur dorongan seksualnya. Kematangan afeksi sangat dipengaruhi oleh sejumlah memori pengalaman masa lalunya.  Bila seseorang memiliki kematangan masa lalu yang tidak bahagia, ada kemungkinan dia mencari sublimasi ketenagannya melalui seksual. Kedua, faktor globalisasi. Globalisasi merupakan sistem peradapan penyeragaman nilai-nilai. Ada kecenderungan di jaman ini bahwa sesuatu dianggap bernilai bila sesuatu itu menyenangkan, membahagiakan, bersifat gebyar, hedonis, materialis, tidak menuntut askese, maupun matiraga, memiliki banyak uang dan penyaluran seks secara bebas,  tidak ada nilai yang absolut. Nilai dalam tataran spiritual yang menuntut askese, matiraga, keheningan, memikul salib/penderitaan diaggap sudah tidak relevan lagi.

Semua nilai di jaman modern tersebut telah berusaha memasuki dimensi kesadaran para imam.  Salah satu penyebab imam yang tidak setia pada janji selibatnya adalah karena dia telah dipengaruhi oleh faktor destruktif globalisasi tersebut. Ketiga, faktor pemahaman teologi. Imam yang tidak setia pada selibatnya bisa juga dipengaruhi bahwa dia kurang memiliki wawasan yang luas tentang hidup selibat. Dia tidak memahami konsekuensi dan akibatnya seperti yang tertulis dalam KHK, kan. 599, Perfectae Caritatis, art. 12, Vita Consecrata art.88.  Keempat, faktor lawan jenis. Pesona lawan jenis yang indah ditatap berpengaruh dalam membuat imam untuk tidak setia pada selibatnya. Kelima, faktor hidup rohani. Hidup rohani berkaitan dengan relasi intim seorang imam dengan Sang Gembala Agungnya. Relasi intim ini mengandaikan kesadaran imam bahwa dia tidak dapat menjalankan hakikat keimamatannya sendiri sehingga dia selalu berpasrah, dan menimba kekuatan dari Sang Gembala Agungnya. Imam yang tidak setia pada janji selibatnya karena dia tidak menjadikan Kristus sebagai pusat segala hidup dan jalannya. Keenam, konskupisensi. Kesalahan dosa manusia pertama telah merembes ke dalam setiap umat manusia. Imam juga manusia yang memiliki kecenderungan berbuat dosa.

Saran-saran Pembinaan

Ketika imam melanggar hidup selibatnya, tidak relevan kalau kita mempertanyakan efisiensi dan efektivitas maupun keaktualan/kerelevanan hidup selibat. Hidup selibat imam tetap relevan karena Kristus dan para rasul telah melakukannya sebagai persembahan diri agar imam dapat memberikan cinta universal kepada semua manusia dan Allah dan demi efektivitas pelayanan dan pewartaan Sabda Allah. Hal yang kita pertanyakan adalah cara hidup para imam dan bukan esensi selibatnya. Esensi/hakikat hidup selibat sebagai sarana penyerahan diri total kepada Tuhan tidak akan teraktualisasi dengan baik bila cara hidup imam tidak terarah pada hakikat keselibatannya.
Atas masalah yang dihadapi oleh segelintir umat dan berbagai faktor penyebab tersebut, diharapkan agar imam kembali menyadari hakikatnya sebagai alat Tuhan untuk mewartakan keselamatan. Upaya-upaya juga mencakup upaya promotif (selibat demi pemberian kasih secara bebas), preventif (imam harus selalu hidup dalam kehati-hatian), kuratif (imam harus mau bertobat bila telah melakukan kesalahan) dan rehabilitatif (imam harus selalu mengusahakan diri pada nilai-nilai Kristus). Usaha tersebut dirinci dalam dua bagian yaitu internal dan eksternal.

Identifikasi diri

Pertama, internal. Seorang imam harus selalu mengidentifikasikan dirinya dengan Kristus. Identifikasi berarti berusaha menyerupai Kristus baik dari segi kekudusan/selibaterNya, perjuangan, humanitas, dsb (lihat identitas imam di atas). Sebagaimana sebuah perbuatan baik dapat dilakukan dengan baik bila pribadi yang bersangkutan membiasakan diri untuk melakukan perbuatan baik tersebut. Demikian juga seorang imam akan mampu menyerupai Kristus bila dia selalu mengindentifikasi dirinya dengan Kristus. Dari identifikasi ini, imam akan mampu menyadari dirinya sebagai in persona christi, mampu membedakan antara apa yang menjadi kebutuhan (lebih mendalam) dan keinginannya (bersifat dangkal:hasrat, nafsu, dsb), mampu hidup di dunia modern/globalisasi meskipun tidak harus lari dari dunia (fuga mudi), mampu melihat seks bukan hanya sebagai hubungan intim tetapi sebagai persembahan diri yang utuh kepada Tuhan secara bebas  dan pada akhirnya mampu mengatasi konkupisensianya. Oleh sebab itu, para imam harus selalu mengambil waktu tenang baik pada pagi hari ataupun sore hari untuk selalu merefleksikan dirinya apakah sudah selaras/identik dengan kehendak Kristus. 

Dalam refleksi tersebut, imam harus sadar bahwa hidup selibatnya diperuntukkan demi semakin optimalnya pewartaaan Sabda Allah dan sebagai perwujudan wajah Kristus di dunia. Imam harus memberikan seluruh tubuhnya bagi Allah, totalitas dirinya, sebagaimana Kristus berkata, �Inilah tubuhKu� tanpa memiliki pretensi seks sebagai persatuan pria dan perempuan tetapi sebagai totalitas diri tanpa syarat demi keselamatan umat manusia.  mempersembahkan diri seutuhnya berarti masuk dalam kesunyian afektif rohani, menerima dengan berani dan setia. Seperti Bunda Maria menerima kesuburan hidupnya dalam pertemuan dengan misteri keselamatan.  Dengan demikian adanya integrasi antara spiritualitas dan seksualitas.  Integrasi tersebut akan memampukan imam untuk mengekspresikan imamat sebagai karunia.  Selain itu, bagi imam yang memiliki luka batin atau pengalaman masa lalu yang suram diharapkan agar selalu mengolahnya/menyembuhkannya dengan bantuan iman, psikolog.

On going formation external

Kedua, eksternal. Konggregasi/serikat/ordo maupun keuskupan imam yang bersangkutan harus memfasilitasi imam kesempatan untuk retret, pembinaan-pembinaan, seminar, dsb. Agar kesadaran imam akan hakikat keimamatannya semakin bertumbuh dan berkembang, dan pihak yang berwenang (konggregasi/serikat/ordo/keuskupan) harus juga selalu setia untuk selalu mensosialisasikan  KHK, kan. 599, Perfectae Caritatis, art. 12, Vita Consecrata art.88 dan mengambil tindakan yang tegas terhadap setiap pelanggaran imam sesuai dengan porsi atau beratnya masalah selibat yang diperbuat imam.

Penutup

Imam merupakan pribadi yang bertindak atas nama Kristus (in persona christi). Sebagaimana Kristus telah memberikan seluruh tubuhNya bagi keselamatan manusia, maka para imam juga harus memberikan keutuhan tubuhnya bukan untuk dikonsumsi dalam tataran hubungan seksual dengan perempuan. Banyak faktor yang menyebabkan imam tidak setia dengan selibatnya. Ketidaksetiaan ini dapat diatasi bila imam selalu mengidentifikasi diri dan tubuhnya dengan diri dan tubuh Yesus Kristus. Dengan identifikasi ini, hari demi hari imam semakin berusaha menyelaraskan diri dengan kehendak Kristus. Melalui identifikasi ini, imam selalu diarahkan pada nilai injili bukan pada nilai globalisasi. Identifikasi ini disebut pula dengan internalisasi hidup Kristus ke dalam diri imam. Semakin orang mengidentifikasi dirinya dengan Kristus maka dia akan setia pada nilai-nilai selibatnya di tengah hiruk piruk pemaknaan tubuh hanya dalam tataran seks atau hubungan intim. Dengan demikian hidup selibat tetap aktual. Namun keaktualannya tergantung pada kemauan imam untuk selalu mengindetifikasi dirinya dengan Kristus.

Daftar Pustaka

Darminta, J, S.J, Persembahan Cintaku, Yogyakarta: Kanisius, 1974
Dokumen Konsili Vatikan II, Presbyterorum Ordinis.
KWI, Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: KWI, 2006.
Konggregasi Klerus, Imam Gembala dan Pemimpin Paroki, Yogyakarta: Dokpen KWI, 2005.
Paulus II, Yohanes,. Pastores Dabo Vobis, Jakarta: Dokpen KWI, 1992.
Rahmadhani, Deshi, S.J, Lihatlah Tubuhku, Membebaskan Seks bersama Yohanes Paulus II,
Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Suparno, Paul, SJ, Seksualitas Kaum Berjubah, Yogyakarta: Kanisius, 2007

Source : seminarikwi.org

Friday, April 12, 2013

Kesederhanaan Hidup Seorang Imam



Kesederhanaan hidup seorang imam adalah bagian integral dari hidup panggilannya secara utuh. Kesederhanaan pula yang menjadi semangat hidup dan karya Bapa Paus Fransiskus selama karya imamatnya. Beliau mengambil nama St Fransiskus karena teladan kesederhanaan hidup dari St. Fransiskus dari Asisi dalam segala aspek kehidupan tokoh kudus Gereja tersebut. Kesederhanaan hidup para imam ini secara jelas memantulkan kekudusan dan Terang Kristus kepada umat di sekitar-Nya, sebab mereka secara istimewa mengambil gaya hidup Kristus sebagai gaya hidup mereka sendiri.

Maka semua imam, baik imam anggota suatu Ordo religius, maupun imam Diocesan (RD) yang juga sering dikenal dengan sebutan imam ‘projo’, dipanggil untuk hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang pelayan Tuhan. Imam-imam dari Ordo religius memang umumnya terikat oleh kaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan, sesuai dengan spiritualitas pendiri Ordo tersebut. Maka para imam dari Ordo religius ini terikat ketentuan untuk menjadikan hampir semua harta miliknya menjadi milik komunitas Ordo tersebut, hanya ada kekecualian untuk barang-barang pribadi. Namun imam-imam diocesan tidak terikat kaul kemiskinan, artinya diperbolehkan mempunyai kepemilikan tertentu, untuk menunjang pelayanannya. Maka ada sejumlah orang mengira bahwa karena para imam projo tidak terikat kaul kemiskinan, maka mereka boleh hidup seperti kaum awam dan boleh hidup dalam ‘kemewahan’. Benarkah demikian? Berikut ini adalah jawaban dari Rm. Santo:

Projo itu bukan ordo. Projo ialah terjemahan Jawa dari Pr, yang sebenarnya berarti Priest atau imam. Projo sendiri dalam bahasa Jawa berarti “rakyat’. Maka, imam ialah orang yang ditahbiskan untuk melaksanakan tugas imamat bersama rakyat. Jangan sampai imam membuat sandungan karena gaya hidup mewah. Imam wajib hidup berpenampilan wajar sebagai imam di tengah rakyat. (Bdk. Pedoman Imam, KWI). Imam di tengah kota di Singapura akan hidup sesuai dengan gaya hidup gaya Singapura, yang terbiasa ada alat-alat hidup di kota itu. Imam di sebuah distrik pedalaman Papua, hidup dengan alat-alat yang dibutuhkan di sana.

Seorang imam terikat kewajiban untuk hidup murni selibat, taat dan hidup sederhana demi pelayanan dan pewartaan Injil. Gaya hidup dan sikap “lepas bebas” ini sudah dibina sejak seminari sebagai calon imam. Imam (Priest) Pr. (RD) tidak mengucapkan kaul tetapi mengucapkan janji karena kasihnya pada Kristus dan Gereja-Nya sesuai tuntutan hukum Gereja. Karena keterikatan kewajiban untuk hidup selibat, taat, dan sederhana, maka seorang selibater yang kaya bagaikan seorang gendut yang ingin menang lomba lari cepat 100 m, pastilah gagal mencapai tujuannya (menurut penulis buku rohani Henri JM Nouwen).

Nah, maka jika Anda menemukan seorang Romo Pr/ RD yang nampaknya hidupnya tidak sesuai dengan panggilan hidup seorang imam (selibat, taat, sederhana), maka Anda dapat mengingatkan beliau, tentu dengan motivasi kasih. Jika keuskupan sudah menegur, maka Anda ikut mengingatkan agar imam tersebut dan Dewan Paroki memfungsikan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Sementara ini, Anda bisa bertanya kepada bendahara jika merasa terdesak untuk mengetahui keuangan paroki. Keuangan pastoran adalah keuangan rumah tangga pastoran, dikelola oleh pastor-pastor di rumah pastoran. Hal ini berbeda dari keuangan paroki. Keuangan paroki terpisah dari keuangan pastoran. Paroki memberi subsidi kepada pastoran dan pastoran memberi pertanggungjawaban laporan. Hal ini diatur dalam Tata Keuangan Paroki yang diterbitkan oleh Keuskupan. Lagi pula, imam bisa dan biasanya dipindahkan oleh uskup, setelah mencapai jangka waktu tertentu. Jika pindah, imam membawa barang yang menjadi milik/hak pribadinya saja yang adalah penunjang kehidupan dan pelayanannya. Harta milik pastoran menjadi milik pastoran itu (inventaris pastoran) dan harus tetap tinggal di pastoran itu, tak boleh dibawa pindah. Barang paroki pun tak boleh dibawa. Karena itu, sebagai umat yang baik, Anda harus berdoa dan sekaligus ikut mengingatkannya dengan kasih.

Sikap terhadap uang kolekte selalu sama dari abad ke abad yaitu sukarela. Dari pihak pemberi kolekte, sikap yang dituntut ialah sukarela. Dari pihak yang mengelola, sikap yang dituntut ialah mengelolanya sesuai maksudnya.

Ditulis oleh: Rm Yohanes Dwi Harsanto
Imam Keuskupan Agung Semarang dan bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia/KWI.


Selamat datang di :  http://parokisaya.blogspot.com/

Source : katolisitas.org

Kesederhanaan Hidup Seorang Imam



Kesederhanaan hidup seorang imam adalah bagian integral dari hidup panggilannya secara utuh. Kesederhanaan pula yang menjadi semangat hidup dan karya Bapa Paus Fransiskus selama karya imamatnya. Beliau mengambil nama St Fransiskus karena teladan kesederhanaan hidup dari St. Fransiskus dari Asisi dalam segala aspek kehidupan tokoh kudus Gereja tersebut. Kesederhanaan hidup para imam ini secara jelas memantulkan kekudusan dan Terang Kristus kepada umat di sekitar-Nya, sebab mereka secara istimewa mengambil gaya hidup Kristus sebagai gaya hidup mereka sendiri.

Maka semua imam, baik imam anggota suatu Ordo religius, maupun imam Diocesan (RD) yang juga sering dikenal dengan sebutan imam �projo�, dipanggil untuk hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang pelayan Tuhan. Imam-imam dari Ordo religius memang umumnya terikat oleh kaul ketaatan, kemurnian dan kemiskinan, sesuai dengan spiritualitas pendiri Ordo tersebut. Maka para imam dari Ordo religius ini terikat ketentuan untuk menjadikan hampir semua harta miliknya menjadi milik komunitas Ordo tersebut, hanya ada kekecualian untuk barang-barang pribadi. Namun imam-imam diocesan tidak terikat kaul kemiskinan, artinya diperbolehkan mempunyai kepemilikan tertentu, untuk menunjang pelayanannya. Maka ada sejumlah orang mengira bahwa karena para imam projo tidak terikat kaul kemiskinan, maka mereka boleh hidup seperti kaum awam dan boleh hidup dalam �kemewahan�. Benarkah demikian? Berikut ini adalah jawaban dari Rm. Santo:

Projo itu bukan ordo. Projo ialah terjemahan Jawa dari Pr, yang sebenarnya berarti Priest atau imam. Projo sendiri dalam bahasa Jawa berarti �rakyat�. Maka, imam ialah orang yang ditahbiskan untuk melaksanakan tugas imamat bersama rakyat. Jangan sampai imam membuat sandungan karena gaya hidup mewah. Imam wajib hidup berpenampilan wajar sebagai imam di tengah rakyat. (Bdk. Pedoman Imam, KWI). Imam di tengah kota di Singapura akan hidup sesuai dengan gaya hidup gaya Singapura, yang terbiasa ada alat-alat hidup di kota itu. Imam di sebuah distrik pedalaman Papua, hidup dengan alat-alat yang dibutuhkan di sana.

Seorang imam terikat kewajiban untuk hidup murni selibat, taat dan hidup sederhana demi pelayanan dan pewartaan Injil. Gaya hidup dan sikap �lepas bebas� ini sudah dibina sejak seminari sebagai calon imam. Imam (Priest) Pr. (RD) tidak mengucapkan kaul tetapi mengucapkan janji karena kasihnya pada Kristus dan Gereja-Nya sesuai tuntutan hukum Gereja. Karena keterikatan kewajiban untuk hidup selibat, taat, dan sederhana, maka seorang selibater yang kaya bagaikan seorang gendut yang ingin menang lomba lari cepat 100 m, pastilah gagal mencapai tujuannya (menurut penulis buku rohani Henri JM Nouwen).

Nah, maka jika Anda menemukan seorang Romo Pr/ RD yang nampaknya hidupnya tidak sesuai dengan panggilan hidup seorang imam (selibat, taat, sederhana), maka Anda dapat mengingatkan beliau, tentu dengan motivasi kasih. Jika keuskupan sudah menegur, maka Anda ikut mengingatkan agar imam tersebut dan Dewan Paroki memfungsikan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Sementara ini, Anda bisa bertanya kepada bendahara jika merasa terdesak untuk mengetahui keuangan paroki. Keuangan pastoran adalah keuangan rumah tangga pastoran, dikelola oleh pastor-pastor di rumah pastoran. Hal ini berbeda dari keuangan paroki. Keuangan paroki terpisah dari keuangan pastoran. Paroki memberi subsidi kepada pastoran dan pastoran memberi pertanggungjawaban laporan. Hal ini diatur dalam Tata Keuangan Paroki yang diterbitkan oleh Keuskupan. Lagi pula, imam bisa dan biasanya dipindahkan oleh uskup, setelah mencapai jangka waktu tertentu. Jika pindah, imam membawa barang yang menjadi milik/hak pribadinya saja yang adalah penunjang kehidupan dan pelayanannya. Harta milik pastoran menjadi milik pastoran itu (inventaris pastoran) dan harus tetap tinggal di pastoran itu, tak boleh dibawa pindah. Barang paroki pun tak boleh dibawa. Karena itu, sebagai umat yang baik, Anda harus berdoa dan sekaligus ikut mengingatkannya dengan kasih.

Sikap terhadap uang kolekte selalu sama dari abad ke abad yaitu sukarela. Dari pihak pemberi kolekte, sikap yang dituntut ialah sukarela. Dari pihak yang mengelola, sikap yang dituntut ialah mengelolanya sesuai maksudnya.

Ditulis oleh: Rm Yohanes Dwi Harsanto
Imam Keuskupan Agung Semarang dan bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan Konferensi Waligereja Indonesia/KWI.


Selamat datang di :  http://parokisaya.blogspot.com/

Source : katolisitas.org

PERLUKAH SEGI KONTEMPLATIF?




Dalam suatu peristiwa adalah seorang muda, putra seorang ibu, yang dikeroyok karena alasan keagamaan dan ia terbunuh. Ibu tersebut merasa sangat sedih karenanya. Beberapa waktu kemudian sekelompok orang dapat menangkap person yang diketahui paling bertanggungjawab atas kematian putra ibu itu. Mereka beramai-ramai membawanya ke muka rumah ibu itu dan meminta ibu tersebut untuk keluar dan menyaksikan bagaimana mereka mau menghajar balik orang yang tertangkap itu (membalas dan membalaskan). 

Akan tetapi ibu itu dengan suara lantang berteriak “anak ini juga anakku!”. Mereka semua terdiam dan terkejut akan sikap ibu tersebut. Bila disimak kesadaran orang-orang dan landasan sikap – keputusan – perbuatan – tindakannya dapat bermacam-macam. Itulah sebabnya ada tindakan keras menghantam orang lain, bahkan sampai kematiannya dan tetap merasa benar. Sebaliknya, juga orang mengambil tindakan menegakkan keadilan dengan pedoman: mata ganti mata. Oleh karena itu, menurut mereka adalah wajar dan OK bila menangkap si tertuduh, mengadilinya dan menghukumnya pula. 

Dalam kejadian di atas mungkin masyarakat (berkehendak baik?) mau meredakan kesedihan dan kemarahan ibu yang kehilangan puteranya dengan meredakan kesedihan dan kemarahan ibu yang kehilangan keadilan/pembalasan. Akan tetapi ibu itu mempunyai sikap pribadi tata nilai yang mungkin mengejutkan sesamanya, yang mungkin mengejutkan/tidak terduga oleh sesamanya. Dia tegas bersikap “merangkul” sesamanya, juga orang yang dianggap mematikan puteranya. Dia memaafkan, menerima, membela keutuhan, dan hidup. Dia tidak terjatuh ke dalam pandangan yang terkotak-kotak pada konsep pandangan; aku lain dari kamu;kami lain dari kalian dan seterusnya. Ada nilai lain yang dihayati selain rumus dalam benak; suatu kekerasan harus dibalas, menegakkan keadilan atau hukum karena kerugian yang ditimbulkan.
Yesus yang mengejutkan 

Guru dan Tuhan kita : Yesus Kristus dalam beberapa rekaman injil, juga mengejutkan. Misalnya pada waktu ada seorang Ibu Yunani Syro Fenesia memohon pada Yesus agar berkenan melepaslam putrinya dari kuasa kegelapan. Yesus semula berkeberatan karena konsep dan programnya lain “Aku diutus kepada umat terpilih dan tugas-ku melayani suku bangsa Israel – Yahudi.” Akan tetapi, Yesus tidak terpaku pada ide dan gagasan-Nya sendiri. Ia terbuka untuk realita permohonan dan mendengarkan harapan yang dalam dan besar dari Ibu itu. Yesus pun membuka hati dan diriNya untuk melayaninya. Dengan peristiwa dan dialog ini kiranya Yesus (sebagai manusia yang juga menyejarah) makin memiliki kesadaran yang lebih dalam dan luas akan perutusanNya. Karena itu Yesus mengambil keputusan /sikap yang “baru” dan membebaskan putri ibu itu dari kuasa kegelapan. 
Bahkan, kemudian pada saat-saat terakhir, Yesuspun makin mampu memilah-milah mana perasaan kesedihanNya sendiri yang dalam, kegetaran, kengerian, dan ketakutanNya. Di sisi lain, kata hatiNya yang terdalam dalam relasi dengan BapaNya; “Biarlah seperti yang Engkau kehendaki” (Mk 14,32).
Kemudian pada puncak penderitaanNya pada waktu disalib Yesus menampilkan kesadaran-kesadaranNya yang lebih dalam, dalam relasi dengan BapaNya dan umat manusia. 

Ia memohonkan maaf (Lk 23, 34), menjanjikan Firdaus bagi penjahat yang memohon agar diingat bila Ia memasuki Firdaus (ayat 42-43). Menyerahkan nyawaNya (dengan damai) ke dalam tangan  Sang Bapa sebagai orang yang benar (Lk 23, 43. 46-47), Yesus tidak hanya menunaikan tugas dari Bapa (rules and order), tetapi yang mengaktualisir identitas diriNya dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus.
Mengenal kehendak Bapa

Dalam hidup Yesus sebagai manusia Ia mengenal kehendak Bapa-Nya dari kitab suci, lewat komunikasi iman dengan kedua orangtuanya, dan masyarakat sekelilingNya/jemaat. Sisi lain, Ia juga menjalin relasi pribadi dengan keheningan: Ia berulang kali menyepi pada malam/sore atau pagi-pagi sekali. Rupa-rupanya keakraban dalam keheningan menjadi jalan bagi Yesus untuk mengenal dan mengetahui kehendak dan siapakah BapaNya bagiNya, bahkan memupuk kesatuan denganNya (tentu saja segi Ilahi Yesus juga tetap). 

Bila kita bahasakan dengan bahasa pengalaman kita: Kita dapat mengenal dan memahami kehendak dan perwahyuan Tuhan = melalui observasi atas alam tercipta, studi, sharing, refleksi iman dan teologi, membaca buku-buku serta Firman Tuhan. Dan ada jalur lainnya dengan keheningan (kontemplasi, lectio divina), lewat doa batin, bahkan doa mistik dengan Tuhan dan membiarkan Tuhan menyampaikan misteri adaNya kehendak, membiarkan misteri diri kita ditarangkul dalam kehadian KasihNya (Tuhan yang aktif dan kita lebih menyambut, seperti anak hilang dalam rangkulan Bapa). 

Bagi kita, para imam, bahkan juga bagi detiap orang sebagai para putri-putra Bapa, hendaknya kita tak saja mengenal Tuhan Bapa kita dan kasihNya bukan dengan akal budi- rasio kita saja, tetapi juga dengan kapasitas, selain rasio, yang dianugerahkan kepada kita pula, seperti intuisi dan keterbukaan hati kita pada yang Ilahi yang memang dicipta dan dianugerahkan untuk mengenali dan mampu berelasi denganNya (Thomas Aq sambil menunjuk bangku doa: “semua yang dipelajari pada bangku studi juga dapat kita peroleh pada bangku ini”). 

Mewaspadai kegiatan Budi 

Akan tetapi, perlulah diperhatikan dan diwaspadai. Dapat terjadi orang memang berdoa atau merenung seraya berdoa di bangku gereja, akan tetapi sebenarnya masih tergolong kegiatan budi (aktivitas kita sendiri dalam diri kita) dan masih kurang atau belum keheningan hati yang terbuka, berelasi dengan Tuhan yang maha besar yang tak terucapkan (cahaya yang tak terhampiri) menyambut yang mau diwahyukan Tuhan (revelasi) dalam dan dengan “bahasa Tuhan yaitu bahasa keheningan (God language is the language of silence) dan tinggal di dalamNya
Oleh karena itu dalam rangka berelasi dengan Tuhan, serta memahami kehendak mengenal dan mengalami kasihNya, kita memanfaatkan kapasitas inderawi rasio kita. Dan di sisi lain kita memanfaatkan kapasitas kita untuk mengalami Allah dalam keheningan : kontemplasi – semadi di hadirat dan dalam dia (meditasi non diskutif). Maka, kita memperoleh pengertian – pemahaman dan pengenalan perwahyuan Tuhan lewat “dua jalur”. Ibarat kita memperoleh informasi akan realita yang kita tangkap menjadi lebih lengkap dan utuh (bukan hanya 2 dimensi, tetapi dengan ke 3 dimensinya).

Dalam penelaahan lebih lanjut diketahui bahwa segala aktivitas rasional kita (seperti berfilasfat, merenung-renung, menyimpulkan, usaha memahami) juga dalam relasi dengan Tuhan ternyata merupakan kegiatan otak kiri. 
Sedangkan kegiatan berkontemplasi, diam dalam kesadaran di hadirat Tuhan, menerima pengalaman kedalaman hati, kasih, kebesaran dan kasih Tuhan adalah aktivitas otak kanan manusia. Maka secara sederhana: rupanya mengenal Tuhan dan menghayati hidup dalam kasihNya hanya dengan otak kiri atau dengan kegiatan rasional saja belum cukup. 

Dengan menyadari hal ini, maka terbukalah bagi kita segi dan kemungkinan lain untuk mengenali dan berelasi denganNya secara lebih kaya. Karena Tuhan mahabesar jauh melampaui kapasitas budi kita untuk “menangkap dan memahamiNya” (ingat kisah St. Agustinus yang berusaha menangkap dengan budinya Misteri Allah Tritunggal). Dan selain mengenal memahami kita memang dimampukan untuk mengalami Allah dan Karya kasih serta kehadiranNya yang penuh kuasa dan daya yang membaharui, mengembangkan, dan mengubah kita, sehingga benar-benar ada kala mereka yang dekat dan satu dengan Tuhan mengejutkan, tak terpahami, mengherankan. 
Tinggallah sekarang bagi kita ialah melangkah seturut bimbingan dan anjuran Nya: “Hendaknya kamu berjaga dan berdoalah. Tenanglah dan ketahuilah bahwa Aku Tuhan.”
Namun, bagaimana…? Apa yang dapat kita lakukan…?

MARANATHA : Datanglah Tuhan

Alb.Sing MSF
Selamat datang di    http://parokisaya.blogspot.com/

Source: seminarikwi.org/

PERLUKAH SEGI KONTEMPLATIF?




Dalam suatu peristiwa adalah seorang muda, putra seorang ibu, yang dikeroyok karena alasan keagamaan dan ia terbunuh. Ibu tersebut merasa sangat sedih karenanya. Beberapa waktu kemudian sekelompok orang dapat menangkap person yang diketahui paling bertanggungjawab atas kematian putra ibu itu. Mereka beramai-ramai membawanya ke muka rumah ibu itu dan meminta ibu tersebut untuk keluar dan menyaksikan bagaimana mereka mau menghajar balik orang yang tertangkap itu (membalas dan membalaskan). 

Akan tetapi ibu itu dengan suara lantang berteriak �anak ini juga anakku!�. Mereka semua terdiam dan terkejut akan sikap ibu tersebut. Bila disimak kesadaran orang-orang dan landasan sikap � keputusan � perbuatan � tindakannya dapat bermacam-macam. Itulah sebabnya ada tindakan keras menghantam orang lain, bahkan sampai kematiannya dan tetap merasa benar. Sebaliknya, juga orang mengambil tindakan menegakkan keadilan dengan pedoman: mata ganti mata. Oleh karena itu, menurut mereka adalah wajar dan OK bila menangkap si tertuduh, mengadilinya dan menghukumnya pula. 

Dalam kejadian di atas mungkin masyarakat (berkehendak baik?) mau meredakan kesedihan dan kemarahan ibu yang kehilangan puteranya dengan meredakan kesedihan dan kemarahan ibu yang kehilangan keadilan/pembalasan. Akan tetapi ibu itu mempunyai sikap pribadi tata nilai yang mungkin mengejutkan sesamanya, yang mungkin mengejutkan/tidak terduga oleh sesamanya. Dia tegas bersikap �merangkul� sesamanya, juga orang yang dianggap mematikan puteranya. Dia memaafkan, menerima, membela keutuhan, dan hidup. Dia tidak terjatuh ke dalam pandangan yang terkotak-kotak pada konsep pandangan; aku lain dari kamu;kami lain dari kalian dan seterusnya. Ada nilai lain yang dihayati selain rumus dalam benak; suatu kekerasan harus dibalas, menegakkan keadilan atau hukum karena kerugian yang ditimbulkan.
Yesus yang mengejutkan 

Guru dan Tuhan kita : Yesus Kristus dalam beberapa rekaman injil, juga mengejutkan. Misalnya pada waktu ada seorang Ibu Yunani Syro Fenesia memohon pada Yesus agar berkenan melepaslam putrinya dari kuasa kegelapan. Yesus semula berkeberatan karena konsep dan programnya lain �Aku diutus kepada umat terpilih dan tugas-ku melayani suku bangsa Israel � Yahudi.� Akan tetapi, Yesus tidak terpaku pada ide dan gagasan-Nya sendiri. Ia terbuka untuk realita permohonan dan mendengarkan harapan yang dalam dan besar dari Ibu itu. Yesus pun membuka hati dan diriNya untuk melayaninya. Dengan peristiwa dan dialog ini kiranya Yesus (sebagai manusia yang juga menyejarah) makin memiliki kesadaran yang lebih dalam dan luas akan perutusanNya. Karena itu Yesus mengambil keputusan /sikap yang �baru� dan membebaskan putri ibu itu dari kuasa kegelapan. 
Bahkan, kemudian pada saat-saat terakhir, Yesuspun makin mampu memilah-milah mana perasaan kesedihanNya sendiri yang dalam, kegetaran, kengerian, dan ketakutanNya. Di sisi lain, kata hatiNya yang terdalam dalam relasi dengan BapaNya; �Biarlah seperti yang Engkau kehendaki� (Mk 14,32).
Kemudian pada puncak penderitaanNya pada waktu disalib Yesus menampilkan kesadaran-kesadaranNya yang lebih dalam, dalam relasi dengan BapaNya dan umat manusia. 

Ia memohonkan maaf (Lk 23, 34), menjanjikan Firdaus bagi penjahat yang memohon agar diingat bila Ia memasuki Firdaus (ayat 42-43). Menyerahkan nyawaNya (dengan damai) ke dalam tangan  Sang Bapa sebagai orang yang benar (Lk 23, 43. 46-47), Yesus tidak hanya menunaikan tugas dari Bapa (rules and order), tetapi yang mengaktualisir identitas diriNya dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus.
Mengenal kehendak Bapa

Dalam hidup Yesus sebagai manusia Ia mengenal kehendak Bapa-Nya dari kitab suci, lewat komunikasi iman dengan kedua orangtuanya, dan masyarakat sekelilingNya/jemaat. Sisi lain, Ia juga menjalin relasi pribadi dengan keheningan: Ia berulang kali menyepi pada malam/sore atau pagi-pagi sekali. Rupa-rupanya keakraban dalam keheningan menjadi jalan bagi Yesus untuk mengenal dan mengetahui kehendak dan siapakah BapaNya bagiNya, bahkan memupuk kesatuan denganNya (tentu saja segi Ilahi Yesus juga tetap). 

Bila kita bahasakan dengan bahasa pengalaman kita: Kita dapat mengenal dan memahami kehendak dan perwahyuan Tuhan = melalui observasi atas alam tercipta, studi, sharing, refleksi iman dan teologi, membaca buku-buku serta Firman Tuhan. Dan ada jalur lainnya dengan keheningan (kontemplasi, lectio divina), lewat doa batin, bahkan doa mistik dengan Tuhan dan membiarkan Tuhan menyampaikan misteri adaNya kehendak, membiarkan misteri diri kita ditarangkul dalam kehadian KasihNya (Tuhan yang aktif dan kita lebih menyambut, seperti anak hilang dalam rangkulan Bapa). 

Bagi kita, para imam, bahkan juga bagi detiap orang sebagai para putri-putra Bapa, hendaknya kita tak saja mengenal Tuhan Bapa kita dan kasihNya bukan dengan akal budi- rasio kita saja, tetapi juga dengan kapasitas, selain rasio, yang dianugerahkan kepada kita pula, seperti intuisi dan keterbukaan hati kita pada yang Ilahi yang memang dicipta dan dianugerahkan untuk mengenali dan mampu berelasi denganNya (Thomas Aq sambil menunjuk bangku doa: �semua yang dipelajari pada bangku studi juga dapat kita peroleh pada bangku ini�). 

Mewaspadai kegiatan Budi 

Akan tetapi, perlulah diperhatikan dan diwaspadai. Dapat terjadi orang memang berdoa atau merenung seraya berdoa di bangku gereja, akan tetapi sebenarnya masih tergolong kegiatan budi (aktivitas kita sendiri dalam diri kita) dan masih kurang atau belum keheningan hati yang terbuka, berelasi dengan Tuhan yang maha besar yang tak terucapkan (cahaya yang tak terhampiri) menyambut yang mau diwahyukan Tuhan (revelasi) dalam dan dengan �bahasa Tuhan yaitu bahasa keheningan (God language is the language of silence) dan tinggal di dalamNya
Oleh karena itu dalam rangka berelasi dengan Tuhan, serta memahami kehendak mengenal dan mengalami kasihNya, kita memanfaatkan kapasitas inderawi rasio kita. Dan di sisi lain kita memanfaatkan kapasitas kita untuk mengalami Allah dalam keheningan : kontemplasi � semadi di hadirat dan dalam dia (meditasi non diskutif). Maka, kita memperoleh pengertian � pemahaman dan pengenalan perwahyuan Tuhan lewat �dua jalur�. Ibarat kita memperoleh informasi akan realita yang kita tangkap menjadi lebih lengkap dan utuh (bukan hanya 2 dimensi, tetapi dengan ke 3 dimensinya).

Dalam penelaahan lebih lanjut diketahui bahwa segala aktivitas rasional kita (seperti berfilasfat, merenung-renung, menyimpulkan, usaha memahami) juga dalam relasi dengan Tuhan ternyata merupakan kegiatan otak kiri. 
Sedangkan kegiatan berkontemplasi, diam dalam kesadaran di hadirat Tuhan, menerima pengalaman kedalaman hati, kasih, kebesaran dan kasih Tuhan adalah aktivitas otak kanan manusia. Maka secara sederhana: rupanya mengenal Tuhan dan menghayati hidup dalam kasihNya hanya dengan otak kiri atau dengan kegiatan rasional saja belum cukup. 

Dengan menyadari hal ini, maka terbukalah bagi kita segi dan kemungkinan lain untuk mengenali dan berelasi denganNya secara lebih kaya. Karena Tuhan mahabesar jauh melampaui kapasitas budi kita untuk �menangkap dan memahamiNya� (ingat kisah St. Agustinus yang berusaha menangkap dengan budinya Misteri Allah Tritunggal). Dan selain mengenal memahami kita memang dimampukan untuk mengalami Allah dan Karya kasih serta kehadiranNya yang penuh kuasa dan daya yang membaharui, mengembangkan, dan mengubah kita, sehingga benar-benar ada kala mereka yang dekat dan satu dengan Tuhan mengejutkan, tak terpahami, mengherankan. 
Tinggallah sekarang bagi kita ialah melangkah seturut bimbingan dan anjuran Nya: �Hendaknya kamu berjaga dan berdoalah. Tenanglah dan ketahuilah bahwa Aku Tuhan.�
Namun, bagaimana�? Apa yang dapat kita lakukan�?

MARANATHA : Datanglah Tuhan

Alb.Sing MSF
Selamat datang di    http://parokisaya.blogspot.com/

Source: seminarikwi.org/

KEPEMIMPINAN GLOBAL SEORANG IMAM




Kuasa kepemimpinan

Menurut norma ketentuan hukum Gereja, mereka yang mampu mengemban kuasa kepemimpinan adalah mereka yang dipilih dan ditetapkan oleh Allah di dalam Gereja, dan menerima tahbisan suci (bdk. kan 129, §1; kan 1008). Mereka itu adalah para Imam yang setelah tahbisan suci secara otomatis dan ontologis menerima ikatan suci dengan Kristus Tuhan sang imam agung memiliki kuasa yurisdiksi. Kuasa kepemimpinan seorang imam tertahbis bekerjasama dengan seorang awam beriman yang memiliki kepemimpinan berkat sakramen baptis, membangun Gereja Yesus Kristus di dunia. Kepemimpinan imam itu terkait erat dengan jati dirinya sebagai imam tertahbis. Jati diri seorang imam adalah imamat ministerial: mengabdi Gereja dan Masyarakat (bdk. 1 Petrus 2: 5,9; PO,2). 

Di zaman yang mengglobal ini, tugas imam sebagai pemimpin adalah menghadirkan Kristus bukan saja di dalam Gereja tetapi berada di garis depan Gereja, menghadirkan Kristus di tengah masyarakat. Itulah yang ditegaskan dalam Dekrit Presbyterium Ordinis, no.10 bahwa imamat ministerial bukan hanya terarah pada Gereja Lokal melainkan juga Gereja Universal. Maka kepemimpinan dan pelayanan seorang imam menjadi tanpa batas karena pengaruh zaman yang mengglobal itu. Oleh karena itu, usaha pembinaan para imam hendaknya mengacu pada bagaimana imam-imam zaman ini menjadi pemersatu Gereja dan berperan utama dalam membangun masyarakat yang lebih baik (bonum publicum) serta bagaimana seorang imam menjadi pemimpin di era global ini.

Kepemimpinan global apa itu?

Kepemimpinan global dapat diartikan sebagai  kepemimpinan yang pengaruhnya melintasi batas budaya atau negara (Moble & Dorfman, 2003: orasi pengukuhan Prof Bernadette Setiadi, 2008).  Definisi ini tepat bila dikaitkan dengan kenyataan semakin kompleks dan saling terkaitnya masalah-masalah yang dihadapi oleh para pemimpin global sehingga dampak tindakan mereka memang melintasi batas negara atau budaya. Di sisi lain, kepemimpinan global dapat pula diartikan sebagai kepemimpinan universal yaitu kualitas hakiki yang melekat pada pribadi seorang pemimpin agar dia dapat efektif memimpin di manapun ia berada. Kedua pengertian ini tidak bertentangan lebih-lebih bila dilihat bahwa fungsi utama seorang pemimpin adalah mengarahkan orang atau organisasi yang dipimpinnya ke arah perubahan yang diinginkan. 

Menurut Prof Bernadette Setiadi, salah satu tantangan pokok di bidang kepemimpinan adalah bagaimana mengidentifikasi dan menyeleksi pemimpin yang tepat untuk budaya di mana mereka akan bertugas, bagaimana mengelola organisasi dengan karyawan yang memiliki latar belakang budaya yang beragam serta berbagai isu lain seperti negosiasi, penjualan, merjer dan akuisisi lintas-batas. Lebih lanjut refleksinya adalah bagaimana memimpin dan mengelola Gereja lokal dalam keuskupan bersama para imam dan umat beriman di zaman yang mengglobal ini dengan aneka macam masalah, kalau tidak dibarengi dengan jiwa kepemimpinan global? Maka dibutuhkan seleksi bagi calon imam dan pembinaan imam di keuskupan secara kontinyu. Dibutuhkan assesment untuk mengetahui kompetensi imam saat ini (current competencies) dan kompetensi yang dibutuhkan (required competencies), bagi perkembangan Gereja lokal.

Enam dimensi perilaku seorang pemimpin (Prof Bernadette Setiadi)

Berdasarkan studi pustaka dan dua studi awal, tim peneliti GLOBE mengidentifikasi enam kelompok/dimensi perilaku pemimpin global:
1.    Charismatic/Value-based Leadership yang merefleksikan kemampuan untuk menginspirasi, memotivasi dan mengharapkan hasil kerja yang tinggi dari orang lain dengan mengandalkan nilai dasar yang dipegang kuat.
2.    Team-oriented Leadership yang menekankan pembangunan tim yang efektif dan implementasi dari suatu tujuan bersama diantara anggota tim.
3.    Participative Leadership yang merefleksikan kemampuan manajer melibatkan orang lain dalam membuat dan mengimplementasi keputusan.
4.    Humane-oriented Leadership yang merefleksikan kepemimpinan yang suportif, tenggang-rasa, baik dan murah hati
5.    Autonomous Leadership mengacu pada atribut kepemimpinan yang independen dan individualis. 
6.    Self-Protective Leadership yang terfokus pada keamanan dan kenyamanan pribadi  dan kelompok dengan menekankan status dan menyelamatkan muka.


Dari keenam dimensi perilaku kepemimpinan ini, ditemukan bahwa Charismatic/Value-based dan Team-Oriented leadership adalah dimensi perilaku kepemimpinan yang secara universal diakui memberikan sumbangan positif terhadap kepemimpinan global yang efektif.  Bila dilihat dari subskala yang diajukan, maka hal ini mencakup: integritas (dapat dipercaya, adil, jujur), visioner (memiliki pandangan dan rencana jauh ke depan), inspiratif (mendukung, mendorong, memotivasi, membangun kepercayaan diri) dan team integrator (komunikatif, mengkoordinir, membangun tim). Sedangkan dimensi yang ditemukan paling banyak menghambat kepemimpinan efektif adalah self-protective leadership yang mencakup aspek-aspek seperti self-centered, status conscious, conflict inducer, face saver, dan procedural.

Tiga kualitas yang dibutuhkan seorang pemimpin (Imam)

Menurut Prof Bernadette Setiadi, kualitas kepemimpinan seorang pemimpin (imam) di zaman global adalah integritas yang erat kaitannya dengan sifat jujur dan dapat dipercaya.  Kualitas berikutnya adalah inspiratif  dalam pengertian mampu menjadi motivator, suportif dan memperhatikan serta  memberi kepercayaan dan kesempatan kepada bawahan. Kualitas yang ketiga adalah visioner yang diuraikan sebagai melihat kedepan, memiliki visi dan mampu menerjemahkannya ke dalam strategi. Bila dilihat dari ketiga kualitas ini, integritas menyangkut kualitas yang melekat pada  pribadi seorang pemimpin sedangkan inspiratif dan visioner lebih berkaitan dengan bagaimana seorang pemimpin akan membawa orang yang dipimpin mencapai tujuan yang dikehendaki.  

Nilai-nilai yang harus melekat pada diri seorang Imam sebagai pemimpin
Satu hal yang tidak terlihat secara kasat mata dalam berbagai hasil penelitian yaitu nilai (values).  Secara umum nilai dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk lebih menginginkan suatu keadaan dibandingkan keadaan lain sehingga memengaruhi pilihan-pilihannya dalam bertindak (Kluckhohn, 1967; Rokeach, 1972: Orasi ilmiah Prof Bernadette Setiadi). Dengan perkataan lain nilai bersifat umum dan karenanya tidak terkait dengan suatu perilaku yang spesifik tetapi menjadi pedoman umum dalam bertindak. Dalam pengertian ini nilai-nilai yang dimiliki seorang pemimpin akan menjadi pegangannya bertindak dalam berbagai situasi.  Walaupun tiap pribadi memiliki nilai pribadinya sendiri, Prof Bernadette Setiadi mengusulkan dua nilai utama yang perlu dimiliki suatu kepemimpinan global yaitu: menghargai martabat manusia dan  mendahulukan kepentingan yang lebih besar. Bagi pembinaan calon imam dan imam dalam ranah kepemimpinan global nilai-nilai yang harus dimiliki selain dua hal di atas saya tambahkan: adalah sikap terbuka, mau berubah, belajar terus menerus dengan sikap rendah hati, mementingkan persatuan Gereja dalam semangat pelayanan tanpa batas.

Rm. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr
Selamat datang di    http://parokisaya.blogspot.com/

Source: seminarikwi.org/

KEPEMIMPINAN GLOBAL SEORANG IMAM




Kuasa kepemimpinan

Menurut norma ketentuan hukum Gereja, mereka yang mampu mengemban kuasa kepemimpinan adalah mereka yang dipilih dan ditetapkan oleh Allah di dalam Gereja, dan menerima tahbisan suci (bdk. kan 129, �1; kan 1008). Mereka itu adalah para Imam yang setelah tahbisan suci secara otomatis dan ontologis menerima ikatan suci dengan Kristus Tuhan sang imam agung memiliki kuasa yurisdiksi. Kuasa kepemimpinan seorang imam tertahbis bekerjasama dengan seorang awam beriman yang memiliki kepemimpinan berkat sakramen baptis, membangun Gereja Yesus Kristus di dunia. Kepemimpinan imam itu terkait erat dengan jati dirinya sebagai imam tertahbis. Jati diri seorang imam adalah imamat ministerial: mengabdi Gereja dan Masyarakat (bdk. 1 Petrus 2: 5,9; PO,2). 

Di zaman yang mengglobal ini, tugas imam sebagai pemimpin adalah menghadirkan Kristus bukan saja di dalam Gereja tetapi berada di garis depan Gereja, menghadirkan Kristus di tengah masyarakat. Itulah yang ditegaskan dalam Dekrit Presbyterium Ordinis, no.10 bahwa imamat ministerial bukan hanya terarah pada Gereja Lokal melainkan juga Gereja Universal. Maka kepemimpinan dan pelayanan seorang imam menjadi tanpa batas karena pengaruh zaman yang mengglobal itu. Oleh karena itu, usaha pembinaan para imam hendaknya mengacu pada bagaimana imam-imam zaman ini menjadi pemersatu Gereja dan berperan utama dalam membangun masyarakat yang lebih baik (bonum publicum) serta bagaimana seorang imam menjadi pemimpin di era global ini.

Kepemimpinan global apa itu?

Kepemimpinan global dapat diartikan sebagai  kepemimpinan yang pengaruhnya melintasi batas budaya atau negara (Moble & Dorfman, 2003: orasi pengukuhan Prof Bernadette Setiadi, 2008).  Definisi ini tepat bila dikaitkan dengan kenyataan semakin kompleks dan saling terkaitnya masalah-masalah yang dihadapi oleh para pemimpin global sehingga dampak tindakan mereka memang melintasi batas negara atau budaya. Di sisi lain, kepemimpinan global dapat pula diartikan sebagai kepemimpinan universal yaitu kualitas hakiki yang melekat pada pribadi seorang pemimpin agar dia dapat efektif memimpin di manapun ia berada. Kedua pengertian ini tidak bertentangan lebih-lebih bila dilihat bahwa fungsi utama seorang pemimpin adalah mengarahkan orang atau organisasi yang dipimpinnya ke arah perubahan yang diinginkan. 

Menurut Prof Bernadette Setiadi, salah satu tantangan pokok di bidang kepemimpinan adalah bagaimana mengidentifikasi dan menyeleksi pemimpin yang tepat untuk budaya di mana mereka akan bertugas, bagaimana mengelola organisasi dengan karyawan yang memiliki latar belakang budaya yang beragam serta berbagai isu lain seperti negosiasi, penjualan, merjer dan akuisisi lintas-batas. Lebih lanjut refleksinya adalah bagaimana memimpin dan mengelola Gereja lokal dalam keuskupan bersama para imam dan umat beriman di zaman yang mengglobal ini dengan aneka macam masalah, kalau tidak dibarengi dengan jiwa kepemimpinan global? Maka dibutuhkan seleksi bagi calon imam dan pembinaan imam di keuskupan secara kontinyu. Dibutuhkan assesment untuk mengetahui kompetensi imam saat ini (current competencies) dan kompetensi yang dibutuhkan (required competencies), bagi perkembangan Gereja lokal.

Enam dimensi perilaku seorang pemimpin (Prof Bernadette Setiadi)

Berdasarkan studi pustaka dan dua studi awal, tim peneliti GLOBE mengidentifikasi enam kelompok/dimensi perilaku pemimpin global:
1.    Charismatic/Value-based Leadership yang merefleksikan kemampuan untuk menginspirasi, memotivasi dan mengharapkan hasil kerja yang tinggi dari orang lain dengan mengandalkan nilai dasar yang dipegang kuat.
2.    Team-oriented Leadership yang menekankan pembangunan tim yang efektif dan implementasi dari suatu tujuan bersama diantara anggota tim.
3.    Participative Leadership yang merefleksikan kemampuan manajer melibatkan orang lain dalam membuat dan mengimplementasi keputusan.
4.    Humane-oriented Leadership yang merefleksikan kepemimpinan yang suportif, tenggang-rasa, baik dan murah hati
5.    Autonomous Leadership mengacu pada atribut kepemimpinan yang independen dan individualis. 
6.    Self-Protective Leadership yang terfokus pada keamanan dan kenyamanan pribadi  dan kelompok dengan menekankan status dan menyelamatkan muka.


Dari keenam dimensi perilaku kepemimpinan ini, ditemukan bahwa Charismatic/Value-based dan Team-Oriented leadership adalah dimensi perilaku kepemimpinan yang secara universal diakui memberikan sumbangan positif terhadap kepemimpinan global yang efektif.  Bila dilihat dari subskala yang diajukan, maka hal ini mencakup: integritas (dapat dipercaya, adil, jujur), visioner (memiliki pandangan dan rencana jauh ke depan), inspiratif (mendukung, mendorong, memotivasi, membangun kepercayaan diri) dan team integrator (komunikatif, mengkoordinir, membangun tim). Sedangkan dimensi yang ditemukan paling banyak menghambat kepemimpinan efektif adalah self-protective leadership yang mencakup aspek-aspek seperti self-centered, status conscious, conflict inducer, face saver, dan procedural.

Tiga kualitas yang dibutuhkan seorang pemimpin (Imam)

Menurut Prof Bernadette Setiadi, kualitas kepemimpinan seorang pemimpin (imam) di zaman global adalah integritas yang erat kaitannya dengan sifat jujur dan dapat dipercaya.  Kualitas berikutnya adalah inspiratif  dalam pengertian mampu menjadi motivator, suportif dan memperhatikan serta  memberi kepercayaan dan kesempatan kepada bawahan. Kualitas yang ketiga adalah visioner yang diuraikan sebagai melihat kedepan, memiliki visi dan mampu menerjemahkannya ke dalam strategi. Bila dilihat dari ketiga kualitas ini, integritas menyangkut kualitas yang melekat pada  pribadi seorang pemimpin sedangkan inspiratif dan visioner lebih berkaitan dengan bagaimana seorang pemimpin akan membawa orang yang dipimpin mencapai tujuan yang dikehendaki.  

Nilai-nilai yang harus melekat pada diri seorang Imam sebagai pemimpin
Satu hal yang tidak terlihat secara kasat mata dalam berbagai hasil penelitian yaitu nilai (values).  Secara umum nilai dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk lebih menginginkan suatu keadaan dibandingkan keadaan lain sehingga memengaruhi pilihan-pilihannya dalam bertindak (Kluckhohn, 1967; Rokeach, 1972: Orasi ilmiah Prof Bernadette Setiadi). Dengan perkataan lain nilai bersifat umum dan karenanya tidak terkait dengan suatu perilaku yang spesifik tetapi menjadi pedoman umum dalam bertindak. Dalam pengertian ini nilai-nilai yang dimiliki seorang pemimpin akan menjadi pegangannya bertindak dalam berbagai situasi.  Walaupun tiap pribadi memiliki nilai pribadinya sendiri, Prof Bernadette Setiadi mengusulkan dua nilai utama yang perlu dimiliki suatu kepemimpinan global yaitu: menghargai martabat manusia dan  mendahulukan kepentingan yang lebih besar. Bagi pembinaan calon imam dan imam dalam ranah kepemimpinan global nilai-nilai yang harus dimiliki selain dua hal di atas saya tambahkan: adalah sikap terbuka, mau berubah, belajar terus menerus dengan sikap rendah hati, mementingkan persatuan Gereja dalam semangat pelayanan tanpa batas.

Rm. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr
Selamat datang di    http://parokisaya.blogspot.com/

Source: seminarikwi.org/

Tags