Latest News

Showing posts with label Doa. Show all posts
Showing posts with label Doa. Show all posts

Wednesday, April 1, 2015

Doa Bagi Para Imam


Doa Bagi Para Imam
(St. Theresia Lisieux)

Ya Yesus, Imam Agung yang kekal,
peliharalah para imam-Mu dalam naungan Hati-Mu Yang Mahakudus,
di mana tak seorang pun dapat menjamahnya.

Peliharalah agar jangan sampai ternoda tangan-tangan mereka yang terurapi,
yang setiap hari menyentuh Tubuh-Mu yang Kudus.

Peliharalah agar jangan sampai cemar bibir mereka,
yang setiap hari dimerahkan oleh Darah-Mu yang Mahasuci.

Peliharalah agar hati mereka, yang dimeteraikan dengan tanda agung imamat,
murni dan bebas dari segala ikatan duniawi.

Kiranya kasih-Mu yang kudus melingkupi mereka
dan melindungi mereka dari kekejian dunia.

Berkatilah karya mereka dengan buah-buah melimpah;
kiranya jiwa-jiwa yang mereka layani boleh menjadi sukacita dan penghiburan bagi mereka di dunia ini dan menjadi bagi mereka mahkota indah nan abadi di surga. Amin.

Source : 
Romo Jost Kokoh

Sunday, August 17, 2014

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 4 – Selesai)

 doa-4

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 4 – Selesai) 

Kesalahan persepsi doa menurut St. Thomas Aquinas

Dalam tiga tulisan sebelumnya, telah dibahas tentang tiga kesalahan persepsi tentang doa yang sering kita jumpai sehari-hari bagian 1, bagian 2, bagian 3), baik yang kita lakukan sendiri maupun oleh teman-teman kita. Kalau kita lihat, tiga kesalahan persepsi yang diajukan oleh St. Thomas, mungkin telah mencakup semua kesalahan persepsi tentang doa. St. Thomas membaginya menjadi tiga bagian, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
  • Tuhan dianggap netral: seolah-olah Dia hanya berpangku tangan saja, baik kejadian yang menyenangkan atau yang menyedihkan. Seolah-olah Tuhan hanya sebagai penonton.
  • Tuhan dianggap negatif: seolah-olah Tuhan sudah menentukan semuanya, di mana lebih kepada pengertian yang negatif, sehingga doa juga percuma, karena semuanya sudah ditakdirkan.
  • Tuhan dianggap positif: seolah-olah kasih Tuhan diukur sampai seberapa jauh Tuhan memenuhi permintaan doa kita, sampai pada titik bahwa doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan di atas, kita harus dapat menangkap hakekat dari doa itu sendiri. Dalam tulisan ini akan diuraikan definisi doa menurut St. Teresia kanak-kanak Yesus.

Definisi Doa menurut St. Teresia yang dikutip oleh Katekismus Gereja Katolik.

Katekismus Gereja Katolik 2558-2559, mengutip St. Teresia kanak-kanak Yesus, mengatakan “Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan“. Definisi ini terlihat sederhana, namun mencakup banyak hal. Mari kita lihat satu persatu.

Doa harus melibatkan hati

Dalam doa, akal budi (reason or intellect) dan keinginan hati (the will) harus bekerjasama untuk menerima dan mengalami kehadiran Tuhan.[1] Kita mencoba menggunakan akal budi kita untuk berfikir tentang Tuhan dan dengan keinginan hati, kita mau untuk mengalami kehadiran Tuhan. Sebagai contoh, kita harus terlebih dahulu mengetahui tentang hukum Tuhan dan pelanggaran kita terhadap Tuhan, sebelum kita dapat mengalami pertobatan. Tidak mungkin kita mengalami pertobatan tanpa terlebih dahulu tahu bahwa apa yang kita lakukan adalah salah di mata Tuhan. Namun sebaliknya, hanya berfikir tentang Tuhan tidaklah cukup, namun kita harus memberikan hati kita kepada Tuhan di dalam doa.[2] Kalau mau dikatakan, setanpun berfikir tentang Tuhan. Mereka punya pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat tertentu, namun mereka tidak memberikan hati mereka kepada Tuhan. Katekismus Gereja Katolik menegaskan, memang benar bahwa keseluruhan diri manusia yang berdoa, namun terlebih lagi adalah hati yang berdoa. (KGK, 2562) Sehingga dapat dikatakan bahwa jika hati kita jauh dari Tuhan, maka kata-kata di dalam doa adalah percuma. Disinilah perkataan St. Teresia menjadi begitu nyata dan benar: doa adalah ayunan hati.

Tuhan adalah penggerak utama dalam doa.

Kalau bagi St. Teresia doa adalah “ayunan hati“, maka yang mengayun hati adalah Tuhan. Karena Tuhan sendiri yang menanti kita di dalam doa. Dikatakan bahwa manusia mencari Tuhan, namun Tuhan yang memanggil manusia terlebih dahulu (KGK, 2566-2567). Bahkan doa sebenarnya adalah suatu anugerah dari Tuhan (KGK, 2559-2561). Drama tentang doa ditunjukkan pada waktu Yesus menunggu di sumur dan kemudian bertemu dengan wanita Samaria (Yoh 4:1-26; KGK, 2560). Yesus yang menanti kita karena haus akan balasan kasih kita. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam kehidupan kita atau malah beranggapan bahwa Tuhan telah menakdirkan sesuatu yang tidak baik dalam kehidupan seseorang, maka anggapan ini adalah salah sekali. Bukan hanya dia “menjawab doa kita“, bahkan Dia yang terlebih dahulu “menggerakkan hati kita untuk berdoa“, karena Dia sudah menunggu kita di sumber air, di hati kita, di tempat di mana kita dapat bertemu dengan Tuhan (KGK, 2563).

Kita diciptakan dengan kapasitas untuk mengarahkan hidup kita pada tujuan akhir.

Bahkan sebenarnya, Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa, sehingga manusia mempunyai kapasitas untuk mengarahkan hidupnya kepada tujuan akhir. Sadar atau tidak, kita mempunyai kapasitas untuk ini. Dengan kapasitas inilah, St. Agustinus berkata “Hatiku tidak akan tenang, sampai aku menemukan Engkau, ya Tuhan.” Dan kapasitas ini bukan hanya milik beberapa orang saja, namun semua orang, karena pada dasarnya manusia adalah seorang filsuf.[3] Pada saat kita mempertanyakan “apa itu hidup, apa tujuan kehidupan, apakah kebahagiaan, dll”, maka kita dihadapkan kepada suatu permenungan akan “suatu awal dan tujuan akhir“. Pada saat pertanyaan ini didiskusikan dengan Tuhan, maka ini adalah suatu wujud doa, karena Tuhan adalah awal dan akhir. Dialog ini akan menjadi doa seorang Kristen kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus. Dan ini akan menjadi doa seorang Katolik, kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus yang diteruskan dalam Tradisi Katolik dan ajaran Katolik yang mendasari doa tersebut, di mana doa mencapai puncaknya pada perayaan Ekaristi Kudus[4] (lihat artikel: Sudahkah kita pahami pengertian Ekaristi? ).

Doa adalah pandangan sederhana ke surga

St. Teresia lebih lanjut mengatakan bahwa doa adalah “pandangan sederhana ke surga.” Di dalam doa, derajat kedekatan dengan Tuhan yang kita alami hanyalah merupakan pandangan sederhana atau sekilas yang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan sejati pada waktu nanti kita bertemu dengan Yesus muka dengan muka (1 Kor 2:9). Pada waktu kita berdoa, kita juga mengarahkan hati bukan kepada hal-hal di dunia ini, namun untuk hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan jiwa kita, yaitu tujuan akhir yang utama: persatuan dengan Tuhan di surga. Jadi kita perlu mengintrospeksi, apakah isi dari doa kita? Apakah semuanya berisi dengan kebutuhan yang bersifat jasmani semata, ataukah dipenuhi dengan hal-hal untuk keselamatan jiwa kita? “Pandangan sederhana ke surga” adalah suatu pandangan yang begitu dalam. Kedalamannya terletak pada keserhanaannya. Kesederhanaan suatu konsep “Manusia akan mengarahkan segala sesuatunya kepada tujuan akhir.” Dalam Alkitab dikatakan “di mana hartamu berada, disitu juga hatimu berada” (Mat 6:21; Luk 12:34). Seperti seorang yang bekerja di bagian sales atau penjualan. Tujuan akhir dari pekerjaan ini adalah memenuhi target penjualan. Jadi semua usaha, pikiran, dan hati diarahkan seluruhnya untuk mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Dari contoh ini, kita melihat bahwa tujuan akhir menentukan semua sikap, perilaku, dan juga pikiran dan hati.

Tujuan akhir dan definisi tentang kebahagiaan menentukan sikap kita dalam doa.

Nah, mari kita melihat dalam kehidupan rohani kita. Di atas telah diulas bahwa manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengenal tujuan akhir, yaitu untuk bersatu dengan Tuhan. Kalau kita membuat hal ini benar-benar menjadi tujuan akhir hidup kita, maka segala sesuatu yang kita lakukan adalah untuk mencapai tujuan ini. Dan cara yang dapat kita lakukan di dunia ini untuk mencapai tujuan akhir ini adalah melalui doa. Dengan kata lain apa yang kita doakan adalah tergantung dari definisi kita tentang tujuan akhir hidup kita maupun definisi kita tentang kebahagiaan.
Kalau seseorang yang definisi kebahagiaannya adalah untuk menjadi orang kaya, maka doa-doanya akan dipenuhi dengan urusan pekerjaan, proyek, uang, dll. Kalau seseorang yang definisi kebahagiaannya adalah keluarga, maka doanya dipenuhi dengan doa untuk keselamatan dan kebahagiaan anggota keluarga. Nah dalam definisi St. Teresia, definisi kebahagiaannya adalah pandangan ke surga. Inilah yang membedakan doa kita dengan doa para orang kudus. Bagi orang kudus, definisi kebahagiaan dan tujuan akhir dari hidup begitu jelas – yaitu persatuan dengan Allah – sehingga doa adalah menjadi cara (the means) untuk mencapai tujuan akhir ini (end). Kita sering membalik ini dan melihat doa sebagai akhir. Akibatnya, kalau doa kita tidak dijawab oleh Tuhan seperti yang kita inginkan, maka kita akan kecewa, putus asa, dan marah. Namun kalau kita melihat doa adalah suatu cara untuk mencapai tujuan akhir, maka apapun jawaban Tuhan terhadap doa kita akan kita terima dengan lapang hati karena pada akhirnya semuanya akan mendatangkan kebaikan buat kita (Roma 8:28), yaitu untuk mencapai tujuan akhir, bersatu dengan Tuhan.
St. Yohanes dari Damaskus mengatakan bahwa “doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan, atau satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik.” (KGK, 2559) Hal-hal yang baik disini adalah dalam relasinya dengan tujuan akhir manusia, persatuan dengan Allah di surga.

Doa didasarkan kepada iman, pengharapan dan kasih kepada Tuhan.

St. Teresia juga menekankan pentingnya “seruan syukur (dalam edisi bahasa Inggis dikatakan a cry of recognition atau seruan pengakuan) dan cinta kasih“. Seruan syukur adalah suatu ungkapan kepada seseorang atas pertolongan dan pemeliharaannya kepada kita. Dan kalau kita mengucap syukur kepada Tuhan, berarti kita mengakui pertolongan-Nya dan pemiliharaan tangan-Nya dalam kehidupan kita. Kita mengakui bahwa tanpa Tuhan, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah sikap kerendahan hati yang berkenan di mata Tuhan dan menjadi dasar utama dari doa.
Seruan syukur atau seruan pengakuan menjadi suatu ekspresi iman dan pengharapan. Mengaku bahwa Tuhan adalah segalanya adalah suatu pernyataan iman. Mendaraskan doa kita kepada Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Baik adalah suatu pernyataan pengharapan. Doa juga merupakan tempat pertemuan antara kasih Allah yang sudah terlebih dahulu menunggu kita dengan kasih kita kepada Allah (KGK, 2560). Bahkan dikatakan bahwa kasih adalah penyebab dari doa.[5] Jadi kita bisa melihat bahwa doa yang benar dilandaskan pada kebajikan ilahi “iman, pengharapan, kasih.” Tanpa ketiga hal ini, doa menjadi sia-sia. Kalau kerendahan hati adalah dasar dari doa, maka iman adalah suatu bentuk kerendahan hati akal budi, dan pengharapan adalah bentuk kerendahan hati dari keinginan.[6] Ini berarti bahwa kalau doa kita didasari oleh iman dan pengharapan yang berlandaskan kasih yang benar, maka Tuhan akan mengabulkan doa kita.
Mari kita melihat apa yang dikatakan Yesus “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7; 21:22; Mar 11:24; Luk 11:9; Yoh 14:13). Mengomentari hal ini, St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Catena Aurea”, mengatakan bahwa “Kita meminta dengan iman, mencari dengan harapan, dan mengetuk dengan kasih“. Jadi dalam hal ini kebajikan Ilahi, yang terdiri dari: iman, pengharapan, dan kasih menjadi dasar doa kita[7] Iman memungkinkan manusia untuk menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, termasuk seluruh kejadian dalam kehidupannya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Harapan, membuat kita merindukan kehidupan kekal bersama Allah sebagai tujuan akhir dan tujuan utama kehidupan kita (KGK, 1817) Kasih, memungkinkan kita untuk mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu di dunia ini, dan mengasihi sesama demi kasih kita kepada Allah (KGK, 1822).
Kalau kita melihat definisi di atas dan jujur terhadap diri sendiri, maka kita dapat mengatakan bahwa doa yang kita minta sering tidak didasari oleh kebajikan ilahi. Mungkin kita berdoa dengan iman dan pengharapan yang kelihatannya begitu besar, namun sebenarnya tanpa didasari kasih kepada Tuhan.[8] Berapa sering kita mendengar doa-doa yang dipanjatkan “dalam nama Yesus, kutolak kemiskinan, sakit penyakit, dll” Kalau doa kita didominasi oleh pekerjaan dan juga kekayaan, maka kita dapat mempertanyakan, apakah doa ini berdasarkan kasih kepada diri sendiri atau kasih kepada Tuhan.
Kalau kasih adalah melihat sesuatu yang baik dari seseorang atau menginginkan sesuatu yang baik terjadi bagi orang tersebut, maka pertanyaannya, apakah kekayaan mendatangkan kebaikan buat Tuhan? Tidak juga. Tuhan tidak bertambah mulia dengan kekayaan kita, walaupun kita dapat memuliakan Tuhan dengan kekayaan yang diberikan oleh Tuhan. Namun sering kita meminta kekayaan bukan untuk memuliakan Tuhan, namun untuk kesenangan diri kita pribadi.

Pertobatan hati menuntun kita kepada doa yang benar.

Namun, sebelum kita dapat melandaskan doa berdasarkan kebajikan Ilahi, maka kita terlebih dahulu akan dihadapkan pada suatu realitas bahwa kita adalah orang berdosa (KGK, 2631). Realitas ini adalah pengetahuan terhadap diri kita sendiri. Namun pengetahuan tentang diri sendiri tidaklah cukup, karena hanya akan berakhir pada keputusasaan, seperti yang dicontohkan oleh Yudas Iskariot. Pengetahuan ini perlu digabungkan dengan pengetahuan akan Allah yang Maha Kasih dan Pengampun. Dua pengetahuan ini akan membawa kita kepada kerendahan hati dan pertobatan yang benar yang memungkinkan kita mempunyai hati murni, yang akhirnya akan membukakan hati kita untuk menyelaraskan hidup kita dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan (lihat artikel Kerendahan hati: dasar dan jalan menuju Kekudusan), seperti yang telah dicontohkan oleh Santo Petrus. Yesus mengatakan bahwa “Berbahagialah orang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8).
Kembali kita diingatkan bahwa bukan kita yang mengubah Tuhan dengan doa kita, namun dengan kesucian hati, seseorang dapat menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Tuhan (KGK, 2518), yang pada akhirnya menuntun kepada kesesuaian dengan kehendak Tuhan, seperti yang dicontohkan oleh Yesus sendiri. Di dalam doa-Nya di taman Getsemani, Yesus berkata “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42). Inilah doa dengan nafas, “Tuhan apakah yang Engkau kehendaki?” dan “Tuhan, apa yang Engkau ingin aku lakukan untuk melaksanakan kehendak-Mu?” (KGK, 2705-2706)
Doa yang mengutamakan kehendak Tuhan ialah doa yang lepas dari kepentingan pribadi. Doa seperti inilah yang dilandaskan oleh kebajikan Ilahi: iman, pengharapan, dan kasih. Inilah doa yang dicontohkan oleh Abraham, Musa, dan para orang kudus. Inilah doa, dimana Roh Kudus sendiri yang membantu kita untuk berdoa.
Dan doa yang mengalir dari kebajikan Ilahi tidak akan terpisah dari kehidupan yang nyata, karena doa dan kehidupan bersumber pada kasih yang sama. Pada saat seseorang dapat menggabungkan antara pekerjaan dan kegiatan yang lain dengan nafas doa, maka seseorang mencapai “doa yang tiada henti atau prayer without ceasing.” Dan inilah yang diserukan oleh St. Teresia, bahwa doa harus dilakukan “di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan.” Ini berarti doa harus dilakukan setiap saat tanpa memandang situasi yang sedang kita alami.

Doa tidaklah percuma, namun harus menjadi nafas kehidupan kita

Dengan semua argumen di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa doa tidaklah percuma, bahkan doa harus menjadi kebutuhan utama orang Kristen, sama seperti oksigen menjadi kebutuhan utama manusia. Semakin kita mengerti akan kesalahan persepsi doa, semakin kita tersadar akan kekuatan doa yang sesungguhnya, yaitu doa yang dituntun oleh Roh Kudus, yang menjadikan kita untuk semakin serupa dengan Kristus, sehingga kita dapat mengikuti kehendak Allah Bapa. Hanya dengan doa yang tiada henti, dilakukan dengan disposisi hati yang benar, maka kita akan melihat buah-buah doa dalam kehidupan kita. Mari kita mengikuti teladan Yesus, yang memberikan kepada kita doa yang paling sempurna, doa Bapa Kami. Kita juga mengikuti teladan Maria, dan para kudus, dimana setiap tarikan nafas dari mereka merupakan doa yang tak putus-putusnya, yang rindu untuk melaksanakan kehendak Bapa.
Mari kita mengingat sekali lagi apa yang dikatakan oleh St. Teresia kanak-kanak Yesus. “Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan”.
Marilah kita berdoa.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin. Ya, Tuhan, pada saat ini aku datang kepada-Mu, mengakui bahwa aku adalah orang yang berdosa. Dalam segala kelemahanku, bantulah aku ya Tuhan agar aku dapat mempunyai hati yang kudus, sehingga Engkau dapat meraja dalam hatiku. Tuhan, ubahlah hatiku walaupun aku belum siap. Bantulah agar aku dapat menyesuaikan segala pikiran, keinginan, dan perbuatanku sesuai dengan kehendak-Mu. Berikan aku kekuatan agar aku dapat menjadi seorang pendoa yang benar, karena aku tahu hanya melalui doa saja, iman, pengharapan, dan kasihku kepada-Mu dapat bertumbuh. Bantu aku ya Tuhan, agar doa juga dapat menjadi nafas perbuatanku setiap hari. Aku mengundang Engkau ya Tuhan, untuk terus membentuk aku sesuai dengan kehendak-Mu. Dengan perantaraan Yesus Kristus, Putera-Mu, aku naikkan doa ini. Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

CATATAN KAKI:
  1. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.1.; KGK, 2559. [↩]
  2. KGK, 2562-2563 Di sini, KGK menekankan akan pentingnya peranan hati untuk turut berdoa. Berfikir tentang Tuhan saja tidak cukup. Pikiran harus membantu hati (the will) untuk berdoa dengan baik, dan demikian juga sebaliknya. [↩]
  3. John Paul II, Encyclical Letter on the Relationship between Faith and Reason: Fides et Ratio, 3, 64. Kalau kita amati, hanya manusia saja yang dapat mempertanyakan tujuan hidupnya. [↩]
  4. KGK, 1324, 2624 : Ekaristi adalah suatu bentuk doa yang paling sempurna, karena menghadirkan kembali kurban Yesus Kristus. Ini juga merupakan tradisi apostolik, seperti yang ditunjukkan jemaat perdana. “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” (Kis 2:42 [↩]
  5. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.13. [↩]
  6. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.161, a.5. [↩]
  7. KGK, 1812-1813 Iman, pengharapan, dan kasih atau disebut kebajikan Ilahi (theological virtues) memungkinkan manusia berhubungan dengan Allah, dimana kita dapatkan pada waktu kita menerima pembaptisan. Dengan ini, manusia dapat mengambil bagian dan berpartisipasi dalam kehidupan Tritunggal Maha Kudus. Dan kebijaksanaan Ilahi ini menjadi dasar, jiwa dan tanda pengenal tindakan moral orang Kristen. [↩]
  8. Dalam hal ini, kalau kita mendasarkan doa kita berdasarkan iman dan pengharapan yang benar, maka kasih senantiasa ada di dalamnya [↩]

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 4 � Selesai)

 doa-4

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 4 � Selesai) 

Kesalahan persepsi doa menurut St. Thomas Aquinas

Dalam tiga tulisan sebelumnya, telah dibahas tentang tiga kesalahan persepsi tentang doa yang sering kita jumpai sehari-hari bagian 1, bagian 2, bagian 3), baik yang kita lakukan sendiri maupun oleh teman-teman kita. Kalau kita lihat, tiga kesalahan persepsi yang diajukan oleh St. Thomas, mungkin telah mencakup semua kesalahan persepsi tentang doa. St. Thomas membaginya menjadi tiga bagian, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
  • Tuhan dianggap netral: seolah-olah Dia hanya berpangku tangan saja, baik kejadian yang menyenangkan atau yang menyedihkan. Seolah-olah Tuhan hanya sebagai penonton.
  • Tuhan dianggap negatif: seolah-olah Tuhan sudah menentukan semuanya, di mana lebih kepada pengertian yang negatif, sehingga doa juga percuma, karena semuanya sudah ditakdirkan.
  • Tuhan dianggap positif: seolah-olah kasih Tuhan diukur sampai seberapa jauh Tuhan memenuhi permintaan doa kita, sampai pada titik bahwa doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan di atas, kita harus dapat menangkap hakekat dari doa itu sendiri. Dalam tulisan ini akan diuraikan definisi doa menurut St. Teresia kanak-kanak Yesus.

Definisi Doa menurut St. Teresia yang dikutip oleh Katekismus Gereja Katolik.

Katekismus Gereja Katolik 2558-2559, mengutip St. Teresia kanak-kanak Yesus, mengatakan �Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan�. Definisi ini terlihat sederhana, namun mencakup banyak hal. Mari kita lihat satu persatu.

Doa harus melibatkan hati

Dalam doa, akal budi (reason or intellect) dan keinginan hati (the will) harus bekerjasama untuk menerima dan mengalami kehadiran Tuhan.[1] Kita mencoba menggunakan akal budi kita untuk berfikir tentang Tuhan dan dengan keinginan hati, kita mau untuk mengalami kehadiran Tuhan. Sebagai contoh, kita harus terlebih dahulu mengetahui tentang hukum Tuhan dan pelanggaran kita terhadap Tuhan, sebelum kita dapat mengalami pertobatan. Tidak mungkin kita mengalami pertobatan tanpa terlebih dahulu tahu bahwa apa yang kita lakukan adalah salah di mata Tuhan. Namun sebaliknya, hanya berfikir tentang Tuhan tidaklah cukup, namun kita harus memberikan hati kita kepada Tuhan di dalam doa.[2] Kalau mau dikatakan, setanpun berfikir tentang Tuhan. Mereka punya pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat tertentu, namun mereka tidak memberikan hati mereka kepada Tuhan. Katekismus Gereja Katolik menegaskan, memang benar bahwa keseluruhan diri manusia yang berdoa, namun terlebih lagi adalah hati yang berdoa. (KGK, 2562) Sehingga dapat dikatakan bahwa jika hati kita jauh dari Tuhan, maka kata-kata di dalam doa adalah percuma. Disinilah perkataan St. Teresia menjadi begitu nyata dan benar: doa adalah ayunan hati.

Tuhan adalah penggerak utama dalam doa.

Kalau bagi St. Teresia doa adalah �ayunan hati�, maka yang mengayun hati adalah Tuhan. Karena Tuhan sendiri yang menanti kita di dalam doa. Dikatakan bahwa manusia mencari Tuhan, namun Tuhan yang memanggil manusia terlebih dahulu (KGK, 2566-2567). Bahkan doa sebenarnya adalah suatu anugerah dari Tuhan (KGK, 2559-2561). Drama tentang doa ditunjukkan pada waktu Yesus menunggu di sumur dan kemudian bertemu dengan wanita Samaria (Yoh 4:1-26; KGK, 2560). Yesus yang menanti kita karena haus akan balasan kasih kita. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam kehidupan kita atau malah beranggapan bahwa Tuhan telah menakdirkan sesuatu yang tidak baik dalam kehidupan seseorang, maka anggapan ini adalah salah sekali. Bukan hanya dia �menjawab doa kita�, bahkan Dia yang terlebih dahulu �menggerakkan hati kita untuk berdoa�, karena Dia sudah menunggu kita di sumber air, di hati kita, di tempat di mana kita dapat bertemu dengan Tuhan (KGK, 2563).

Kita diciptakan dengan kapasitas untuk mengarahkan hidup kita pada tujuan akhir.

Bahkan sebenarnya, Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa, sehingga manusia mempunyai kapasitas untuk mengarahkan hidupnya kepada tujuan akhir. Sadar atau tidak, kita mempunyai kapasitas untuk ini. Dengan kapasitas inilah, St. Agustinus berkata �Hatiku tidak akan tenang, sampai aku menemukan Engkau, ya Tuhan.� Dan kapasitas ini bukan hanya milik beberapa orang saja, namun semua orang, karena pada dasarnya manusia adalah seorang filsuf.[3] Pada saat kita mempertanyakan �apa itu hidup, apa tujuan kehidupan, apakah kebahagiaan, dll�, maka kita dihadapkan kepada suatu permenungan akan �suatu awal dan tujuan akhir�. Pada saat pertanyaan ini didiskusikan dengan Tuhan, maka ini adalah suatu wujud doa, karena Tuhan adalah awal dan akhir. Dialog ini akan menjadi doa seorang Kristen kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus. Dan ini akan menjadi doa seorang Katolik, kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus yang diteruskan dalam Tradisi Katolik dan ajaran Katolik yang mendasari doa tersebut, di mana doa mencapai puncaknya pada perayaan Ekaristi Kudus[4] (lihat artikel: Sudahkah kita pahami pengertian Ekaristi? ).

Doa adalah pandangan sederhana ke surga

St. Teresia lebih lanjut mengatakan bahwa doa adalah �pandangan sederhana ke surga.� Di dalam doa, derajat kedekatan dengan Tuhan yang kita alami hanyalah merupakan pandangan sederhana atau sekilas yang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan sejati pada waktu nanti kita bertemu dengan Yesus muka dengan muka (1 Kor 2:9). Pada waktu kita berdoa, kita juga mengarahkan hati bukan kepada hal-hal di dunia ini, namun untuk hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan jiwa kita, yaitu tujuan akhir yang utama: persatuan dengan Tuhan di surga. Jadi kita perlu mengintrospeksi, apakah isi dari doa kita? Apakah semuanya berisi dengan kebutuhan yang bersifat jasmani semata, ataukah dipenuhi dengan hal-hal untuk keselamatan jiwa kita? �Pandangan sederhana ke surga� adalah suatu pandangan yang begitu dalam. Kedalamannya terletak pada keserhanaannya. Kesederhanaan suatu konsep �Manusia akan mengarahkan segala sesuatunya kepada tujuan akhir.� Dalam Alkitab dikatakan �di mana hartamu berada, disitu juga hatimu berada� (Mat 6:21; Luk 12:34). Seperti seorang yang bekerja di bagian sales atau penjualan. Tujuan akhir dari pekerjaan ini adalah memenuhi target penjualan. Jadi semua usaha, pikiran, dan hati diarahkan seluruhnya untuk mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Dari contoh ini, kita melihat bahwa tujuan akhir menentukan semua sikap, perilaku, dan juga pikiran dan hati.

Tujuan akhir dan definisi tentang kebahagiaan menentukan sikap kita dalam doa.

Nah, mari kita melihat dalam kehidupan rohani kita. Di atas telah diulas bahwa manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengenal tujuan akhir, yaitu untuk bersatu dengan Tuhan. Kalau kita membuat hal ini benar-benar menjadi tujuan akhir hidup kita, maka segala sesuatu yang kita lakukan adalah untuk mencapai tujuan ini. Dan cara yang dapat kita lakukan di dunia ini untuk mencapai tujuan akhir ini adalah melalui doa. Dengan kata lain apa yang kita doakan adalah tergantung dari definisi kita tentang tujuan akhir hidup kita maupun definisi kita tentang kebahagiaan.
Kalau seseorang yang definisi kebahagiaannya adalah untuk menjadi orang kaya, maka doa-doanya akan dipenuhi dengan urusan pekerjaan, proyek, uang, dll. Kalau seseorang yang definisi kebahagiaannya adalah keluarga, maka doanya dipenuhi dengan doa untuk keselamatan dan kebahagiaan anggota keluarga. Nah dalam definisi St. Teresia, definisi kebahagiaannya adalah pandangan ke surga. Inilah yang membedakan doa kita dengan doa para orang kudus. Bagi orang kudus, definisi kebahagiaan dan tujuan akhir dari hidup begitu jelas � yaitu persatuan dengan Allah � sehingga doa adalah menjadi cara (the means) untuk mencapai tujuan akhir ini (end). Kita sering membalik ini dan melihat doa sebagai akhir. Akibatnya, kalau doa kita tidak dijawab oleh Tuhan seperti yang kita inginkan, maka kita akan kecewa, putus asa, dan marah. Namun kalau kita melihat doa adalah suatu cara untuk mencapai tujuan akhir, maka apapun jawaban Tuhan terhadap doa kita akan kita terima dengan lapang hati karena pada akhirnya semuanya akan mendatangkan kebaikan buat kita (Roma 8:28), yaitu untuk mencapai tujuan akhir, bersatu dengan Tuhan.
St. Yohanes dari Damaskus mengatakan bahwa �doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan, atau satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik.� (KGK, 2559) Hal-hal yang baik disini adalah dalam relasinya dengan tujuan akhir manusia, persatuan dengan Allah di surga.

Doa didasarkan kepada iman, pengharapan dan kasih kepada Tuhan.

St. Teresia juga menekankan pentingnya �seruan syukur (dalam edisi bahasa Inggis dikatakan a cry of recognition atau seruan pengakuan) dan cinta kasih�. Seruan syukur adalah suatu ungkapan kepada seseorang atas pertolongan dan pemeliharaannya kepada kita. Dan kalau kita mengucap syukur kepada Tuhan, berarti kita mengakui pertolongan-Nya dan pemiliharaan tangan-Nya dalam kehidupan kita. Kita mengakui bahwa tanpa Tuhan, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah sikap kerendahan hati yang berkenan di mata Tuhan dan menjadi dasar utama dari doa.
Seruan syukur atau seruan pengakuan menjadi suatu ekspresi iman dan pengharapan. Mengaku bahwa Tuhan adalah segalanya adalah suatu pernyataan iman. Mendaraskan doa kita kepada Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Baik adalah suatu pernyataan pengharapan. Doa juga merupakan tempat pertemuan antara kasih Allah yang sudah terlebih dahulu menunggu kita dengan kasih kita kepada Allah (KGK, 2560). Bahkan dikatakan bahwa kasih adalah penyebab dari doa.[5] Jadi kita bisa melihat bahwa doa yang benar dilandaskan pada kebajikan ilahi �iman, pengharapan, kasih.� Tanpa ketiga hal ini, doa menjadi sia-sia. Kalau kerendahan hati adalah dasar dari doa, maka iman adalah suatu bentuk kerendahan hati akal budi, dan pengharapan adalah bentuk kerendahan hati dari keinginan.[6] Ini berarti bahwa kalau doa kita didasari oleh iman dan pengharapan yang berlandaskan kasih yang benar, maka Tuhan akan mengabulkan doa kita.
Mari kita melihat apa yang dikatakan Yesus �Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu� (Mat 7:7; 21:22; Mar 11:24; Luk 11:9; Yoh 14:13). Mengomentari hal ini, St. Thomas Aquinas di dalam bukunya �Catena Aurea�, mengatakan bahwa �Kita meminta dengan iman, mencari dengan harapan, dan mengetuk dengan kasih�. Jadi dalam hal ini kebajikan Ilahi, yang terdiri dari: iman, pengharapan, dan kasih menjadi dasar doa kita[7] Iman memungkinkan manusia untuk menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, termasuk seluruh kejadian dalam kehidupannya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Harapan, membuat kita merindukan kehidupan kekal bersama Allah sebagai tujuan akhir dan tujuan utama kehidupan kita (KGK, 1817) Kasih, memungkinkan kita untuk mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu di dunia ini, dan mengasihi sesama demi kasih kita kepada Allah (KGK, 1822).
Kalau kita melihat definisi di atas dan jujur terhadap diri sendiri, maka kita dapat mengatakan bahwa doa yang kita minta sering tidak didasari oleh kebajikan ilahi. Mungkin kita berdoa dengan iman dan pengharapan yang kelihatannya begitu besar, namun sebenarnya tanpa didasari kasih kepada Tuhan.[8] Berapa sering kita mendengar doa-doa yang dipanjatkan �dalam nama Yesus, kutolak kemiskinan, sakit penyakit, dll� Kalau doa kita didominasi oleh pekerjaan dan juga kekayaan, maka kita dapat mempertanyakan, apakah doa ini berdasarkan kasih kepada diri sendiri atau kasih kepada Tuhan.
Kalau kasih adalah melihat sesuatu yang baik dari seseorang atau menginginkan sesuatu yang baik terjadi bagi orang tersebut, maka pertanyaannya, apakah kekayaan mendatangkan kebaikan buat Tuhan? Tidak juga. Tuhan tidak bertambah mulia dengan kekayaan kita, walaupun kita dapat memuliakan Tuhan dengan kekayaan yang diberikan oleh Tuhan. Namun sering kita meminta kekayaan bukan untuk memuliakan Tuhan, namun untuk kesenangan diri kita pribadi.

Pertobatan hati menuntun kita kepada doa yang benar.

Namun, sebelum kita dapat melandaskan doa berdasarkan kebajikan Ilahi, maka kita terlebih dahulu akan dihadapkan pada suatu realitas bahwa kita adalah orang berdosa (KGK, 2631). Realitas ini adalah pengetahuan terhadap diri kita sendiri. Namun pengetahuan tentang diri sendiri tidaklah cukup, karena hanya akan berakhir pada keputusasaan, seperti yang dicontohkan oleh Yudas Iskariot. Pengetahuan ini perlu digabungkan dengan pengetahuan akan Allah yang Maha Kasih dan Pengampun. Dua pengetahuan ini akan membawa kita kepada kerendahan hati dan pertobatan yang benar yang memungkinkan kita mempunyai hati murni, yang akhirnya akan membukakan hati kita untuk menyelaraskan hidup kita dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan (lihat artikel Kerendahan hati: dasar dan jalan menuju Kekudusan), seperti yang telah dicontohkan oleh Santo Petrus. Yesus mengatakan bahwa �Berbahagialah orang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah� (Mat 5:8).
Kembali kita diingatkan bahwa bukan kita yang mengubah Tuhan dengan doa kita, namun dengan kesucian hati, seseorang dapat menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Tuhan (KGK, 2518), yang pada akhirnya menuntun kepada kesesuaian dengan kehendak Tuhan, seperti yang dicontohkan oleh Yesus sendiri. Di dalam doa-Nya di taman Getsemani, Yesus berkata �Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi� (Luk 22:42). Inilah doa dengan nafas, �Tuhan apakah yang Engkau kehendaki?� dan �Tuhan, apa yang Engkau ingin aku lakukan untuk melaksanakan kehendak-Mu?� (KGK, 2705-2706)
Doa yang mengutamakan kehendak Tuhan ialah doa yang lepas dari kepentingan pribadi. Doa seperti inilah yang dilandaskan oleh kebajikan Ilahi: iman, pengharapan, dan kasih. Inilah doa yang dicontohkan oleh Abraham, Musa, dan para orang kudus. Inilah doa, dimana Roh Kudus sendiri yang membantu kita untuk berdoa.
Dan doa yang mengalir dari kebajikan Ilahi tidak akan terpisah dari kehidupan yang nyata, karena doa dan kehidupan bersumber pada kasih yang sama. Pada saat seseorang dapat menggabungkan antara pekerjaan dan kegiatan yang lain dengan nafas doa, maka seseorang mencapai �doa yang tiada henti atau prayer without ceasing.� Dan inilah yang diserukan oleh St. Teresia, bahwa doa harus dilakukan �di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan.� Ini berarti doa harus dilakukan setiap saat tanpa memandang situasi yang sedang kita alami.

Doa tidaklah percuma, namun harus menjadi nafas kehidupan kita

Dengan semua argumen di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa doa tidaklah percuma, bahkan doa harus menjadi kebutuhan utama orang Kristen, sama seperti oksigen menjadi kebutuhan utama manusia. Semakin kita mengerti akan kesalahan persepsi doa, semakin kita tersadar akan kekuatan doa yang sesungguhnya, yaitu doa yang dituntun oleh Roh Kudus, yang menjadikan kita untuk semakin serupa dengan Kristus, sehingga kita dapat mengikuti kehendak Allah Bapa. Hanya dengan doa yang tiada henti, dilakukan dengan disposisi hati yang benar, maka kita akan melihat buah-buah doa dalam kehidupan kita. Mari kita mengikuti teladan Yesus, yang memberikan kepada kita doa yang paling sempurna, doa Bapa Kami. Kita juga mengikuti teladan Maria, dan para kudus, dimana setiap tarikan nafas dari mereka merupakan doa yang tak putus-putusnya, yang rindu untuk melaksanakan kehendak Bapa.
Mari kita mengingat sekali lagi apa yang dikatakan oleh St. Teresia kanak-kanak Yesus. �Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan�.
Marilah kita berdoa.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin. Ya, Tuhan, pada saat ini aku datang kepada-Mu, mengakui bahwa aku adalah orang yang berdosa. Dalam segala kelemahanku, bantulah aku ya Tuhan agar aku dapat mempunyai hati yang kudus, sehingga Engkau dapat meraja dalam hatiku. Tuhan, ubahlah hatiku walaupun aku belum siap. Bantulah agar aku dapat menyesuaikan segala pikiran, keinginan, dan perbuatanku sesuai dengan kehendak-Mu. Berikan aku kekuatan agar aku dapat menjadi seorang pendoa yang benar, karena aku tahu hanya melalui doa saja, iman, pengharapan, dan kasihku kepada-Mu dapat bertumbuh. Bantu aku ya Tuhan, agar doa juga dapat menjadi nafas perbuatanku setiap hari. Aku mengundang Engkau ya Tuhan, untuk terus membentuk aku sesuai dengan kehendak-Mu. Dengan perantaraan Yesus Kristus, Putera-Mu, aku naikkan doa ini. Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

CATATAN KAKI:
  1. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.1.; KGK, 2559. [?]
  2. KGK, 2562-2563 Di sini, KGK menekankan akan pentingnya peranan hati untuk turut berdoa. Berfikir tentang Tuhan saja tidak cukup. Pikiran harus membantu hati (the will) untuk berdoa dengan baik, dan demikian juga sebaliknya. [?]
  3. John Paul II, Encyclical Letter on the Relationship between Faith and Reason: Fides et Ratio, 3, 64. Kalau kita amati, hanya manusia saja yang dapat mempertanyakan tujuan hidupnya. [?]
  4. KGK, 1324, 2624 : Ekaristi adalah suatu bentuk doa yang paling sempurna, karena menghadirkan kembali kurban Yesus Kristus. Ini juga merupakan tradisi apostolik, seperti yang ditunjukkan jemaat perdana. �Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.� (Kis 2:42 [?]
  5. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.13. [?]
  6. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.161, a.5. [?]
  7. KGK, 1812-1813 Iman, pengharapan, dan kasih atau disebut kebajikan Ilahi (theological virtues) memungkinkan manusia berhubungan dengan Allah, dimana kita dapatkan pada waktu kita menerima pembaptisan. Dengan ini, manusia dapat mengambil bagian dan berpartisipasi dalam kehidupan Tritunggal Maha Kudus. Dan kebijaksanaan Ilahi ini menjadi dasar, jiwa dan tanda pengenal tindakan moral orang Kristen. [?]
  8. Dalam hal ini, kalau kita mendasarkan doa kita berdasarkan iman dan pengharapan yang benar, maka kasih senantiasa ada di dalamnya [?]

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 3)

 doa-3

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 3)

 

Pendahuluan:

Tulisan ini adalah bagian ke 3 dari topik “Apakah berdoa itu percuma?” (Silakan melihat juga bagian 1, bagian 2, bagian 3, bagian 4) Kesalahan doa yang ketiga adalah memaksakan kehendak kita kepada Tuhan sampai ingin mengubah Tuhan untuk mengikuti keinginan kita. Pendapat ini keliru, karena Tuhan adalah Maha tahu dan Maha sempurna, sehingga Tuhan tidak dapat berubah.

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya.[1] Dalam tulisan pertama telah dibahas kesalahan persepsi doa, yaitu: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadiaan di dunia ini. Dalam tulisan ke-2, kita telah melihat kesalahan pendapat yang mengatakan semuanya sudah diatur dan ditakdirkan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu lagi berdoa. Dengan pembuktian yang sama dari St. Thomas Aquinas, kita akan menelusuri kesalahan persepsi kita tentang doa yang ke-3.[2]

Kesalahan 3: Berdoa dapat mengubah keputusan Tuhan dan Alkitab sendiri mengajarkan bahwa doa manusia dapat merubah keputusan Tuhan.

Dalam hidup sehari-hari, kita sering mendengar pendapat bahwa berdoa sangatlah penting, karena kita dapat memenangkan hati Tuhan dan mengubah keputusan-Nya. Kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh, sehingga Tuhan berbelas kasih kepada kita dan kemudian mengubah keputusan-Nya sesuai dengan kemauan kita. Bahkan jika kita berdoa dalam nama Yesus, apa yang kita minta pasti akan dikabulkan.
Perjanjian Lama mencatat cerita tentang nabi Nuh, di mana Tuhan menyesal bahwa Dia telah menciptakan manusia (Kej 6:5-6). Lalu Abraham, berdoa bagi orang-orang di Sodom dan Gomorah, seolah-olah bernegosiasi dengan Tuhan (Kej 18:23-33). Musa berdoa dengan sungguh-sungguh bagi kaum Israel, sehingga kemarahan Tuhan tidak terjadi (Kel 32:7-14). Bukankah semua itu adalah tanda bahwa keputusan Tuhan dapat berubah?
Di Perjanjian Baru, Yesus sendiri mengatakan, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan” (Mat 7:7-8). Kemudian, Yesus juga mengatakan bahwa apa saja yang kita minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, maka kita akan menerimanya (lih. Mat 21:22). Dan kembali Yesus menegaskan “apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Mar 11:24). Ayat- ayat ini sepertinya mengatakan bahwa Yesus akan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita.

Tuhan tidak berubah

Mari kita meneliti lebih jauh tentang pendapat ini. Pertama, apakah benar bahwa kita dapat mengubah keputusan Tuhan? Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah Maha Tahu, Maha Sempurna, maka konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah “Tuhan tidak mungkin berubah“. Berubah adalah suatu pernyataan yamg mempunyai implikasi perubahan dari sesuatu yang kurang baik menjadi lebih baik atau sebaliknya. Padahal di dalam Tuhan tidak ada perubahan (lihat artikel: Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna, maka sebelum dunia ini diciptakan Dia telah mengetahui secara persis apa yang terjadi, juga keinginan dan permohonan doa kita. Dan di dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya, Dia tahu secara persis apa yang terbaik buat kita. Jadi kalau kita mengatakan Tuhan dapat berubah karena doa kita, maka sebetulnya kita membuat kontradiksi tentang hakekat Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Sempurna, seolah-olah kita “lebih tahu” apa yang terbaik buat kita daripada Tuhan. Hal ini tentu tidak mungkin.
Pengajaran bahwa “Tuhan tidak mungkin berubah dalam hal pengabulan doa” ini termasuk sulit diterima, karena sering tanpa sengaja kita berpikir bahwa proses pengabulan doa oleh Tuhan itu adalah proses yang linier. Kita memohon tentang hal A, lalu Tuhan dapat mengabulkan atau tidak, yang baru Tuhan putuskan pada saat/ setelah kita memohon. Padahal tidaklah demikian. Tuhan sudah terlebih dahulu mengetahui segala kemungkinan yang akan terjadi, sebagai hasil dari pilihan kehendak bebas kita, pada saat awal mula dunia. Pada saat kita memohon A, Dia sudah mengetahui bahwa Ia akan menjawab dengan B, atau kalau kita memutuskan untuk tidak berdoa, dan berbuat X, Dia sudah tahu akan memberi Y. Dalam hal ini, B selalu lebih baik daripada A, dan Y adalah konsekuensi dari X. Nah, kalau kita bertanya akankah B diberikan kalau kita tidak berdoa, jawabnya adalah tidak (yang diberi adalah Y). Makanya kita perlu berdoa. Dalam hal ini Tuhan tidak berubah, karena dengan sifatNya yang Maha Tahu, Tuhan telah mengetahui segalanya. Nothing takes God by surprise. Tidak ada sesuatu hal yang mengejutkan Tuhan, sehingga Ia perlu berubah. Ia sudah mengetahui segalanya dan segala sesuatu telah direncanakan-Nya dengan sempurna.
Sekarang kita melihat contoh kejadian di Perjanjian Lama. Perkataan “Tuhan menyesal” dalam kisah nabi Nuh adalah suatu perkataan yang mencoba mengekpresikan Tuhan dari sisi manusia. Tuhan tidak berubah dan menyesal, karena Dia adalah Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Semua keputusan-Nya berdasarkan kebijaksanaan dan Kasih-Nya untuk keselamatan umat manusia.
Bagaimana dengan Abraham dan Musa yang seolah-olah bernegosiasi dengan Tuhan? Dalam hal ini, kita harus memegang teguh prinsip bahwa Tuhan tidak mungkin berubah, yang artinya tidak memungkinkan adanya negosiasi. Abraham dan Musa adalah merupakan gambaran/prefigurement dari diri Yesus. Kita juga melihat bagaimana Kitab Suci menggambarkan kedekatan mereka dengan Tuhan. Mereka tidak memikirkan kepentingan pribadi. Dalam pemikiran Abraham dan Musa, membantu manusia menuju Tanah Terjanji dan memberikan kemuliaan kepada Tuhan adalah yang paling penting dalam hidup mereka. Dan ini adalah sama dengan pemikiran Tuhan. Ini hanya mungkin dicapai pada orang-orang dengan derajat kasih yang begitu tinggi (dalam kadar “heroic love“).[3] Jadi terkabulnya doa bukan berarti mereka dapat mengubah keputusan Tuhan, namun karena 1) mereka diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam karya keselamatan, yang pada akhirnya dipenuhi secara sempurna dalam diri Yesus Kristus (KGK, 2574), 2) kedekatan mereka dengan Tuhan, sehingga apa yang mereka pikirkan dan doakan adalah sesuai dengan keinginan Tuhan (KGK, 2577).

Tuhan mengubah kita melalui doa.

Memang keputusan Tuhan tidak dapat berubah, karena Dia Maha Tahu dan Maha Sempurna. Namun Tuhan menginginkan kita mengikuti jejak Abraham dan Musa, agar kita turut berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan, salah satunya yaitu dengan berdoa. Jadi, kita berdoa bukan untuk mengubah keputusan Tuhan – karena itu tidak mungkin – namun mempersiapkan sikap hati kita untuk menerima apa yang kita minta dalam doa ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2 – St. Thomas mengutip St. Gregory “By asking, men may deserve to receive that almighty God from all eternity is disposed to give.”)) atau mengubah sikap hati kita jika doa kita tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Di dalam kebijaksanaan dan kasihNya, Tuhan telah melihat bahwa kita akan menerima suatu jawaban doa lewat doa-doa yang kita panjatkan. Jadi di dalam kasus Abraham dan Musa, sebelum terbentuknya dunia ini, Tuhan sudah melihat bahwa Abraham dan Musa akan berpartisipasi dalam karya keselamatan bangsa Israel, dan doa mereka dikabulkan oleh-Nya lewat doa-doa mereka yang mengalir dari kasih.
Hal lain yang penting adalah, dengan bertekun dalam doa, kita tidak mengubah Tuhan, namun kita diubah oleh Tuhan. Kita melihat contoh dari Rasul Paulus, ketika dia berdoa agar Tuhan “mengambil duri di dalam dagingnya”[4] , namun doanya tidak dijawab Tuhan menurut kehendak St. Paulus (2 Kor 12:7-10). Namun dengan kejadian ini, Rasul Paulus mendapatkan sesuatu yang lebih baik, bahwa dia menjadi rendah hati dan tidak bermegah dengan berkat-berkat yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Bahkan Rasul Paulus dapat menerima dengan senang dan rela menghadapi segala kesulitan, siksaan, tantangan untuk kemuliaan nama Tuhan. Dari sini, kita melihat Rasul Paulus diubah oleh Tuhan, untuk menerima kehendakNya seperti yang difirmankan-Nya,”… sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor 12:9).

Tapi Yesus menyuruh untuk meminta, mencari, mengetok, dan apa saja yang kamu minta akan diberikan.

Mari sekarang kita menelaah perkataan Yesus dalam Mat 21:22 dan Mar 11:24. Yesus mengatakan bahwa kalau kita mendoakan dengan penuh kepercayaan bahwa kita telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepada kita. Kalau kita membaca dengan seksama, kita harus melihat bahwa kunci dari ayat ini adalah “iman” (Mat 21:21; Mar 11:22). Iman yang ditekankan di sini adalah iman yang hidup. Iman yang bukan cuma slogan, hanya dimulut, namun tanpa perbuatan (Yak 2:26). Iman seperti ini adalah iman dan percaya yang dicontohkan oleh Abraham dan Musa. Iman yang menempatkan kebenaran Tuhan lebih tinggi daripada kepentingan sendiri (KGK, 150). Iman seperti inilah yang membuat doa menjadi selaras dengan apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, karena sesuai dengan kehendak Tuhan, maka doa yang mengalir dari iman seperti ini akan dikabulkan oleh Tuhan. Iman seperti ini hanya meminta sesuatu yang berguna untuk keselamatan kekal, permohonan yang baik untuk menuju ke kehidupan kekal. Ini juga bisa berarti sesuatu yang sifatnya sementara sejauh ini mendukung kita menuju tujuan akhir.
Namun bukankah Yesus sendiri juga mengatakan bahwa setiap orang yang meminta, mencari, dan mengetok akan dipenuhi permintaannya? (Mat 7:7-8). Ayat inilah yang sering dipakai untuk menekankan bahwa doa yang sungguh-sungguh dan terus-menerus dapat mengubah keputusan Tuhan. Namun, apakah kalau doa tidak sesuai dengan kehendak Tuhan maka akan dikabulkan? Bagaimana kita tahu bahwa doa kita sesuai dengan kehendak Tuhan? Kalau kita perhatikan, Yesus tidak berkata kalau kamu minta A, maka kamu akan mendapatkan A. Berdasarkan kasih dan kebijaksanaan-Nya, kadangkala Tuhan memberikan sesuatu yang sama sekali lain dari yang kita minta. Dia tahu yang terbaik buat kita melebihi pengetahuan dan kasih kita akan diri kita sendiri. Jadi, kalau dalam beberapa hal Tuhan tidak mengabulkan doa kita, hal ini disebabkan karena Tuhan mengasihi kita. (pembahasan lengkap tentang ayat ini dapat dilihat di: Apakah Berdoa itu Percuma – bagian 4).
Kita sering melihat atau mendengar cerita bahwa suatu keluarga berdoa sungguh-sungguh untuk kesembuhan anggota keluarga mereka, namun yang terjadi adalah bertolak belakang dengan apa yang diminta dalam doa. Masih teringat di hati umat Katolik seluruh dunia, ketika Paus Yohanes Paulus II terbaring sakit menjelang ajalnya dan semua orang mendoakan Paus yang kita kasihi. Namun doa seluruh umat beriman tidak mengubah keputusan Tuhan. Mungkin ribuan atau jutaan perayaan ekaristi dirayakan dengan intensi doa untuk kesembuhan Paus, namun tidak dapat mengubah keputusan Tuhan. Mungkin ratusan juta umat Katolik – termasuk dari umat Katolik yang benar-benar hidup kudus – berdoa secara pribadi untuk kesembuhan Paus, namun Paus tetap dipanggil Tuhan.Tuhan, di dalam kebijaksanaan-Nya tetap memanggil hamba-Nya yang setia. Bukan karena Dia tidak mendengar doa kita, tapi karena Dia tahu yang paling baik untuk kita dan juga untuk Gereja-Nya.
Namun melalui peristiwa tersebut, begitu banyak orang di dunia ini, termasuk yang tidak mengenal Kristus, yang tidak percaya akan Gereja Katolik sebagai Gereja Kristus, anak-anak muda yang tadinya suam-suam kuku terhadap iman Katolik mereka, tergugah oleh kejadian tersebut. Dan misa pemakamannya menjadi acara pemakaman paling besar dalam sejarah umat manusia. Paus Yohanes Paulus II dalam kematiannya melakukan karya pewartaan yang menjangkau banyak orang, mungkin lebih banyak daripada semasa dia hidup. Dan nama Tuhan dipermuliakan. Dari contoh tersebut, bukan kita yang mengubah Tuhan melalui doa kita, namun kita yang diubah oleh Tuhan untuk kebaikan kita.
Kalaupun doa kita dikabulkan, bukan berarti bahwa kita berhasil untuk mengubah Tuhan, namun sebelum terjadinya dunia ini, dalam kebijaksanaan-Nya dan kasih-Nya, Tuhan sudah melihat adalah baik untuk keselamatan kita dan orang-orang di sekitar kita untuk mengabulkan doa kita. Jadi, janganlah beranggapan bahwa jika ada doa dikabulkan itu disebabkan karena ‘melulu’ permohonan kita. Sebab sesungguhNya pengabulan doa adalah sepenuhnya kehendak Tuhan. Dengan demikian, tidak ada yang dapat dibanggakan dari diri kita. Kita ‘hanya’ patut bersyukur bahwa Tuhan memberi kesempatan pada kita untuk turut mendatangkan kebaikan kepada kita dan sesama melalui doa-doa kita. Maka sikap yang terbaik adalah seperti Bunda Maria, “Terjadilah padaku seturut perkataanMu, ya Tuhan” (Luk 1:38). Mari di dalam keterbatasan kita, kita percayakan doa-doa kita kepada Tuhan dan meyakini bahwa Tuhan lebih bijaksana untuk memutuskan apakah doa kita baik untuk keselamatan jiwa kita. Mari kita juga berpartisipasi dalam karya keselamatan Tuhan melalui doa dan perbuatan yang mengalir dari kasih kita kepada Tuhan, untuk mendatangkan kebaikan buat diri kita dan semua orang.
Marilah kita berdoa.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.
Ya, Tuhan, kembali aku menghadap-Mu, mengakui bahwa Engkau Maha Tahu dan Maha Sempurna. Dalam keterbatasanku, berilah aku kepercayaan kepada-Mu, bahwa segala yang Engkau putuskan adalah demi kebaikanku. Jangan biarkan aku memaksakan kehendakku, ya Bapa, melainkan biarlah kehendak-Mu saja yang terjadi dalam kehidupanku sebab aku percaya, itulah yang terbaik bagiku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

CATATAN KAKI:
  1. 31, 356, 1721, 2002. [↩]
  2. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2. [↩]
  3. Reginald Garrigou-Lagrange, Christian Perfection and Contemplation: According to St. Thomas Aquinas and St. John of the Cross (Tan Books & Publishers, 2004), p.147 Lagrange membagi derajat kasih menjadi tiga, dimana terdiri dari: 1) Pemula (beginners) adalah mereka yang usahanya berfokus pada perjuangan untuk melawan dosa, 2) tahap pencerahan (Illuminative way), dimana mereka membuat kemajuan di dalam kebajikan dalam terang iman dan kontemplasi. 3) Tahap sempurna (unitive way/ heroic love), dimana mereka hidup dengan persatuan kasih yang begitu erat dengan Tuhan. [↩]
  4. Orchard, A Catholic Commentary on Holy Scripture (Thomas Nelson & Sons, 1953), p.1110. Dijelaskan bahwa duri di dalam daging dapat berarti tubuh atau juga pikiran, yang menjadi bagian dari manusia. Pengarang disini mencoba membuka arti yang luas dari duri di dalam daging, baik tubuh secara jasmani, atau juga dapat berarti keinginan untuk berbuat dosa (concupiscence). [↩]

Source : katolisitas.org

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 3)

 doa-3

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 3)

 

Pendahuluan:

Tulisan ini adalah bagian ke 3 dari topik �Apakah berdoa itu percuma?� (Silakan melihat juga bagian 1, bagian 2, bagian 3, bagian 4) Kesalahan doa yang ketiga adalah memaksakan kehendak kita kepada Tuhan sampai ingin mengubah Tuhan untuk mengikuti keinginan kita. Pendapat ini keliru, karena Tuhan adalah Maha tahu dan Maha sempurna, sehingga Tuhan tidak dapat berubah.

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya.[1] Dalam tulisan pertama telah dibahas kesalahan persepsi doa, yaitu: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadiaan di dunia ini. Dalam tulisan ke-2, kita telah melihat kesalahan pendapat yang mengatakan semuanya sudah diatur dan ditakdirkan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu lagi berdoa. Dengan pembuktian yang sama dari St. Thomas Aquinas, kita akan menelusuri kesalahan persepsi kita tentang doa yang ke-3.[2]

Kesalahan 3: Berdoa dapat mengubah keputusan Tuhan dan Alkitab sendiri mengajarkan bahwa doa manusia dapat merubah keputusan Tuhan.

Dalam hidup sehari-hari, kita sering mendengar pendapat bahwa berdoa sangatlah penting, karena kita dapat memenangkan hati Tuhan dan mengubah keputusan-Nya. Kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh, sehingga Tuhan berbelas kasih kepada kita dan kemudian mengubah keputusan-Nya sesuai dengan kemauan kita. Bahkan jika kita berdoa dalam nama Yesus, apa yang kita minta pasti akan dikabulkan.
Perjanjian Lama mencatat cerita tentang nabi Nuh, di mana Tuhan menyesal bahwa Dia telah menciptakan manusia (Kej 6:5-6). Lalu Abraham, berdoa bagi orang-orang di Sodom dan Gomorah, seolah-olah bernegosiasi dengan Tuhan (Kej 18:23-33). Musa berdoa dengan sungguh-sungguh bagi kaum Israel, sehingga kemarahan Tuhan tidak terjadi (Kel 32:7-14). Bukankah semua itu adalah tanda bahwa keputusan Tuhan dapat berubah?
Di Perjanjian Baru, Yesus sendiri mengatakan, �Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan� (Mat 7:7-8). Kemudian, Yesus juga mengatakan bahwa apa saja yang kita minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, maka kita akan menerimanya (lih. Mat 21:22). Dan kembali Yesus menegaskan �apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu� (Mar 11:24). Ayat- ayat ini sepertinya mengatakan bahwa Yesus akan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita.

Tuhan tidak berubah

Mari kita meneliti lebih jauh tentang pendapat ini. Pertama, apakah benar bahwa kita dapat mengubah keputusan Tuhan? Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah Maha Tahu, Maha Sempurna, maka konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah �Tuhan tidak mungkin berubah�. Berubah adalah suatu pernyataan yamg mempunyai implikasi perubahan dari sesuatu yang kurang baik menjadi lebih baik atau sebaliknya. Padahal di dalam Tuhan tidak ada perubahan (lihat artikel: Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna, maka sebelum dunia ini diciptakan Dia telah mengetahui secara persis apa yang terjadi, juga keinginan dan permohonan doa kita. Dan di dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya, Dia tahu secara persis apa yang terbaik buat kita. Jadi kalau kita mengatakan Tuhan dapat berubah karena doa kita, maka sebetulnya kita membuat kontradiksi tentang hakekat Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Sempurna, seolah-olah kita �lebih tahu� apa yang terbaik buat kita daripada Tuhan. Hal ini tentu tidak mungkin.
Pengajaran bahwa �Tuhan tidak mungkin berubah dalam hal pengabulan doa� ini termasuk sulit diterima, karena sering tanpa sengaja kita berpikir bahwa proses pengabulan doa oleh Tuhan itu adalah proses yang linier. Kita memohon tentang hal A, lalu Tuhan dapat mengabulkan atau tidak, yang baru Tuhan putuskan pada saat/ setelah kita memohon. Padahal tidaklah demikian. Tuhan sudah terlebih dahulu mengetahui segala kemungkinan yang akan terjadi, sebagai hasil dari pilihan kehendak bebas kita, pada saat awal mula dunia. Pada saat kita memohon A, Dia sudah mengetahui bahwa Ia akan menjawab dengan B, atau kalau kita memutuskan untuk tidak berdoa, dan berbuat X, Dia sudah tahu akan memberi Y. Dalam hal ini, B selalu lebih baik daripada A, dan Y adalah konsekuensi dari X. Nah, kalau kita bertanya akankah B diberikan kalau kita tidak berdoa, jawabnya adalah tidak (yang diberi adalah Y). Makanya kita perlu berdoa. Dalam hal ini Tuhan tidak berubah, karena dengan sifatNya yang Maha Tahu, Tuhan telah mengetahui segalanya. Nothing takes God by surprise. Tidak ada sesuatu hal yang mengejutkan Tuhan, sehingga Ia perlu berubah. Ia sudah mengetahui segalanya dan segala sesuatu telah direncanakan-Nya dengan sempurna.
Sekarang kita melihat contoh kejadian di Perjanjian Lama. Perkataan �Tuhan menyesal� dalam kisah nabi Nuh adalah suatu perkataan yang mencoba mengekpresikan Tuhan dari sisi manusia. Tuhan tidak berubah dan menyesal, karena Dia adalah Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Semua keputusan-Nya berdasarkan kebijaksanaan dan Kasih-Nya untuk keselamatan umat manusia.
Bagaimana dengan Abraham dan Musa yang seolah-olah bernegosiasi dengan Tuhan? Dalam hal ini, kita harus memegang teguh prinsip bahwa Tuhan tidak mungkin berubah, yang artinya tidak memungkinkan adanya negosiasi. Abraham dan Musa adalah merupakan gambaran/prefigurement dari diri Yesus. Kita juga melihat bagaimana Kitab Suci menggambarkan kedekatan mereka dengan Tuhan. Mereka tidak memikirkan kepentingan pribadi. Dalam pemikiran Abraham dan Musa, membantu manusia menuju Tanah Terjanji dan memberikan kemuliaan kepada Tuhan adalah yang paling penting dalam hidup mereka. Dan ini adalah sama dengan pemikiran Tuhan. Ini hanya mungkin dicapai pada orang-orang dengan derajat kasih yang begitu tinggi (dalam kadar �heroic love�).[3] Jadi terkabulnya doa bukan berarti mereka dapat mengubah keputusan Tuhan, namun karena 1) mereka diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam karya keselamatan, yang pada akhirnya dipenuhi secara sempurna dalam diri Yesus Kristus (KGK, 2574), 2) kedekatan mereka dengan Tuhan, sehingga apa yang mereka pikirkan dan doakan adalah sesuai dengan keinginan Tuhan (KGK, 2577).

Tuhan mengubah kita melalui doa.

Memang keputusan Tuhan tidak dapat berubah, karena Dia Maha Tahu dan Maha Sempurna. Namun Tuhan menginginkan kita mengikuti jejak Abraham dan Musa, agar kita turut berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan, salah satunya yaitu dengan berdoa. Jadi, kita berdoa bukan untuk mengubah keputusan Tuhan � karena itu tidak mungkin � namun mempersiapkan sikap hati kita untuk menerima apa yang kita minta dalam doa ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2 � St. Thomas mengutip St. Gregory �By asking, men may deserve to receive that almighty God from all eternity is disposed to give.�)) atau mengubah sikap hati kita jika doa kita tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Di dalam kebijaksanaan dan kasihNya, Tuhan telah melihat bahwa kita akan menerima suatu jawaban doa lewat doa-doa yang kita panjatkan. Jadi di dalam kasus Abraham dan Musa, sebelum terbentuknya dunia ini, Tuhan sudah melihat bahwa Abraham dan Musa akan berpartisipasi dalam karya keselamatan bangsa Israel, dan doa mereka dikabulkan oleh-Nya lewat doa-doa mereka yang mengalir dari kasih.
Hal lain yang penting adalah, dengan bertekun dalam doa, kita tidak mengubah Tuhan, namun kita diubah oleh Tuhan. Kita melihat contoh dari Rasul Paulus, ketika dia berdoa agar Tuhan �mengambil duri di dalam dagingnya�[4] , namun doanya tidak dijawab Tuhan menurut kehendak St. Paulus (2 Kor 12:7-10). Namun dengan kejadian ini, Rasul Paulus mendapatkan sesuatu yang lebih baik, bahwa dia menjadi rendah hati dan tidak bermegah dengan berkat-berkat yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Bahkan Rasul Paulus dapat menerima dengan senang dan rela menghadapi segala kesulitan, siksaan, tantangan untuk kemuliaan nama Tuhan. Dari sini, kita melihat Rasul Paulus diubah oleh Tuhan, untuk menerima kehendakNya seperti yang difirmankan-Nya,�� sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna� (2 Kor 12:9).

Tapi Yesus menyuruh untuk meminta, mencari, mengetok, dan apa saja yang kamu minta akan diberikan.

Mari sekarang kita menelaah perkataan Yesus dalam Mat 21:22 dan Mar 11:24. Yesus mengatakan bahwa kalau kita mendoakan dengan penuh kepercayaan bahwa kita telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepada kita. Kalau kita membaca dengan seksama, kita harus melihat bahwa kunci dari ayat ini adalah �iman� (Mat 21:21; Mar 11:22). Iman yang ditekankan di sini adalah iman yang hidup. Iman yang bukan cuma slogan, hanya dimulut, namun tanpa perbuatan (Yak 2:26). Iman seperti ini adalah iman dan percaya yang dicontohkan oleh Abraham dan Musa. Iman yang menempatkan kebenaran Tuhan lebih tinggi daripada kepentingan sendiri (KGK, 150). Iman seperti inilah yang membuat doa menjadi selaras dengan apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, karena sesuai dengan kehendak Tuhan, maka doa yang mengalir dari iman seperti ini akan dikabulkan oleh Tuhan. Iman seperti ini hanya meminta sesuatu yang berguna untuk keselamatan kekal, permohonan yang baik untuk menuju ke kehidupan kekal. Ini juga bisa berarti sesuatu yang sifatnya sementara sejauh ini mendukung kita menuju tujuan akhir.
Namun bukankah Yesus sendiri juga mengatakan bahwa setiap orang yang meminta, mencari, dan mengetok akan dipenuhi permintaannya? (Mat 7:7-8). Ayat inilah yang sering dipakai untuk menekankan bahwa doa yang sungguh-sungguh dan terus-menerus dapat mengubah keputusan Tuhan. Namun, apakah kalau doa tidak sesuai dengan kehendak Tuhan maka akan dikabulkan? Bagaimana kita tahu bahwa doa kita sesuai dengan kehendak Tuhan? Kalau kita perhatikan, Yesus tidak berkata kalau kamu minta A, maka kamu akan mendapatkan A. Berdasarkan kasih dan kebijaksanaan-Nya, kadangkala Tuhan memberikan sesuatu yang sama sekali lain dari yang kita minta. Dia tahu yang terbaik buat kita melebihi pengetahuan dan kasih kita akan diri kita sendiri. Jadi, kalau dalam beberapa hal Tuhan tidak mengabulkan doa kita, hal ini disebabkan karena Tuhan mengasihi kita. (pembahasan lengkap tentang ayat ini dapat dilihat di: Apakah Berdoa itu Percuma � bagian 4).
Kita sering melihat atau mendengar cerita bahwa suatu keluarga berdoa sungguh-sungguh untuk kesembuhan anggota keluarga mereka, namun yang terjadi adalah bertolak belakang dengan apa yang diminta dalam doa. Masih teringat di hati umat Katolik seluruh dunia, ketika Paus Yohanes Paulus II terbaring sakit menjelang ajalnya dan semua orang mendoakan Paus yang kita kasihi. Namun doa seluruh umat beriman tidak mengubah keputusan Tuhan. Mungkin ribuan atau jutaan perayaan ekaristi dirayakan dengan intensi doa untuk kesembuhan Paus, namun tidak dapat mengubah keputusan Tuhan. Mungkin ratusan juta umat Katolik � termasuk dari umat Katolik yang benar-benar hidup kudus � berdoa secara pribadi untuk kesembuhan Paus, namun Paus tetap dipanggil Tuhan.Tuhan, di dalam kebijaksanaan-Nya tetap memanggil hamba-Nya yang setia. Bukan karena Dia tidak mendengar doa kita, tapi karena Dia tahu yang paling baik untuk kita dan juga untuk Gereja-Nya.
Namun melalui peristiwa tersebut, begitu banyak orang di dunia ini, termasuk yang tidak mengenal Kristus, yang tidak percaya akan Gereja Katolik sebagai Gereja Kristus, anak-anak muda yang tadinya suam-suam kuku terhadap iman Katolik mereka, tergugah oleh kejadian tersebut. Dan misa pemakamannya menjadi acara pemakaman paling besar dalam sejarah umat manusia. Paus Yohanes Paulus II dalam kematiannya melakukan karya pewartaan yang menjangkau banyak orang, mungkin lebih banyak daripada semasa dia hidup. Dan nama Tuhan dipermuliakan. Dari contoh tersebut, bukan kita yang mengubah Tuhan melalui doa kita, namun kita yang diubah oleh Tuhan untuk kebaikan kita.
Kalaupun doa kita dikabulkan, bukan berarti bahwa kita berhasil untuk mengubah Tuhan, namun sebelum terjadinya dunia ini, dalam kebijaksanaan-Nya dan kasih-Nya, Tuhan sudah melihat adalah baik untuk keselamatan kita dan orang-orang di sekitar kita untuk mengabulkan doa kita. Jadi, janganlah beranggapan bahwa jika ada doa dikabulkan itu disebabkan karena �melulu� permohonan kita. Sebab sesungguhNya pengabulan doa adalah sepenuhnya kehendak Tuhan. Dengan demikian, tidak ada yang dapat dibanggakan dari diri kita. Kita �hanya� patut bersyukur bahwa Tuhan memberi kesempatan pada kita untuk turut mendatangkan kebaikan kepada kita dan sesama melalui doa-doa kita. Maka sikap yang terbaik adalah seperti Bunda Maria, �Terjadilah padaku seturut perkataanMu, ya Tuhan� (Luk 1:38). Mari di dalam keterbatasan kita, kita percayakan doa-doa kita kepada Tuhan dan meyakini bahwa Tuhan lebih bijaksana untuk memutuskan apakah doa kita baik untuk keselamatan jiwa kita. Mari kita juga berpartisipasi dalam karya keselamatan Tuhan melalui doa dan perbuatan yang mengalir dari kasih kita kepada Tuhan, untuk mendatangkan kebaikan buat diri kita dan semua orang.
Marilah kita berdoa.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.
Ya, Tuhan, kembali aku menghadap-Mu, mengakui bahwa Engkau Maha Tahu dan Maha Sempurna. Dalam keterbatasanku, berilah aku kepercayaan kepada-Mu, bahwa segala yang Engkau putuskan adalah demi kebaikanku. Jangan biarkan aku memaksakan kehendakku, ya Bapa, melainkan biarlah kehendak-Mu saja yang terjadi dalam kehidupanku sebab aku percaya, itulah yang terbaik bagiku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

CATATAN KAKI:
  1. 31, 356, 1721, 2002. [?]
  2. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2. [?]
  3. Reginald Garrigou-Lagrange, Christian Perfection and Contemplation: According to St. Thomas Aquinas and St. John of the Cross (Tan Books & Publishers, 2004), p.147 Lagrange membagi derajat kasih menjadi tiga, dimana terdiri dari: 1) Pemula (beginners) adalah mereka yang usahanya berfokus pada perjuangan untuk melawan dosa, 2) tahap pencerahan (Illuminative way), dimana mereka membuat kemajuan di dalam kebajikan dalam terang iman dan kontemplasi. 3) Tahap sempurna (unitive way/ heroic love), dimana mereka hidup dengan persatuan kasih yang begitu erat dengan Tuhan. [?]
  4. Orchard, A Catholic Commentary on Holy Scripture (Thomas Nelson & Sons, 1953), p.1110. Dijelaskan bahwa duri di dalam daging dapat berarti tubuh atau juga pikiran, yang menjadi bagian dari manusia. Pengarang disini mencoba membuka arti yang luas dari duri di dalam daging, baik tubuh secara jasmani, atau juga dapat berarti keinginan untuk berbuat dosa (concupiscence). [?]

Source : katolisitas.org

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 1)

 doa-1

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 1)

 

Rangkaian artikel tentang doa:

Manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. Hal ini dinyatakan dalam doa, sehingga doa menjadi bagian hakiki dalam kehidupan manusia.
Tulisan ini akan membahas tentang hakekat doa, juga kesalahan-kesalahan persepsi tentang doa. Pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian, yang terdiri dari:
  1. Kesalahan persepsi doa (bagian 1): “Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini.”
  2. Kesalahan persepsi doa (bagian 2): “Semua sudah diatur dan ditakdirkan Tuhan, sehingga berdoa tidak merubah apapun.”
  3. Kesalahan persepsi doa (bagian 3): “Berdoa dapat merubah keputusan Tuhan.”
  4. Kesimpulan: Kenapa kita harus berdoa?

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. (KGK, 31, 356, 1721, 2002) Namun pertanyaannya adalah, kenapa kita harus berdoa? Mungkin kita tidak pernah memikirkan pertanyaan ini, karena doa sudah menjadi bagian sehari-hari atau mungkin juga karena doa dianggap tidak penting. Dalam tulisan ini akan ditelusuri beberapa pertanyaan yang mendasar tentang doa. Pertama kita akan melihat beberapa kesalahan umum yang tidak hanya dilakukan di jaman sekarang, namun juga dilakukan dalam sejarah umat manusia. St. Thomas Aquinas mendefinisikan ada tiga kesalahan umum tentang persepsi doa.[1]

Kesalahan 1: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini.

Argumen yang paling ekstrem adalah karena ketidakpercayaan akan keberadaan Tuhan. Bagi yang masih mempertanyakan keberadaan Tuhan, silakan membaca artikel: : Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Karena tidak percaya kepada Tuhan atau sesuatu yang lebih besar dari keberadaan dirinya, maka orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan tidak merasa perlu untuk berdoa.[2]
Selanjutnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa memang Tuhan menciptakan segala sesuatu; namun setelah penciptaan, Tuhan tidak campur tangan lagi, dan semuanya berjalan menurut hukum alam berdasarkan sistem yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Pendapat ini dianut oleh aliran “deism”[3] Aliran ini menerima ke-Tuhanan hanya dari sisi filosofi, tanpa percaya adanya wahyu Tuhan.[4] Menurut pemahaman ini, Tuhan dilihat sebagai seseorang yang yang duduk di tahta suci dan melihat semua perbuatan manusia dan perjalanan sejarah, namun Dia tidak melakukan apa-apa.
Dalam kapasitas yang lebih kecil, berapa sering kita mendengar seseorang mengatakan “Ah, jangan terlalu banyak merepotkan Tuhan. Masa Tuhan mengatur urusan-urusan yang kecil?” Seolah-olah Tuhan tidak tertarik untuk membantu manusia dalam urusan-urusan yang kecil. Kadang urusan yang bagi seseorang dianggap kecil, bagi Tuhan menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan rohani seseorang.[5]

Tuhan menciptakan manusia karena kasih dan untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Pertama, kita harus mempertanyakan kenapa Tuhan menciptakan dunia ini, terutama kenapa menciptakan manusia menurut gambaran-Nya (Lih Kej 1:26-27). Kalau kita dan juga Deism percaya bahwa Tuhan adalah Maha dalam segalanya, maka konsekuensinya Tuhan tidak membutuhkan siapa-siapa, termasuk dunia ini dan manusia. Bisa dikatakan bahwa keberadaan kita tidak menambah kemuliaan Tuhan, karena Tuhan adalah absolut baik. Sebaliknya kalau kita berdosa, juga tidak mengurangi kemuliaan Tuhan, karena Dia maha sempurna.
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa motif dari penciptaan dunia dan manusia adalah karena kasih (KGK, 1604) dan untuk merefleksikan kemuliaan Tuhan. (KGK, 294) Kalau kita percaya bahwa keberadaan kita adalah karena kebetulan saja, dan bukan akibat dari kasih Tuhan, maka pendapat ini sebenarnya sangat tragis. Argumen ini sama seperti pendapat bahwa keberadaan kita sebagai anak tidaklah diinginkan oleh orang tua kita, dan hanya terjadi secara kebetulan. Tentu saja ini adalah kejadian yang tragis. Kemungkinan ini disanggah oleh Tuhan sendiri, sebab Dia berkata dalam kitab nabi Yesaya, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau ” (Yes 49:15). Dengan demikian Tuhan mau menyampaikan bahwa Ia mengasihi lebih kita lebih daripada ibu kita mengasihi kita.
Jadi kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah maha dalam segalanya, termasuk maha baik dan maha kasih, sangatlah tidak mungkin kalau Tuhan menciptakan manusia hanya secara kebetulan atau eksistensi manusia terjadi secara kebetulan. Argumen yang memungkinkan adalah Tuhan mengasihi manusia. Kasihnya begitu besar kepada manusia, sehingga Dia memberikan Putera-Nya kepada dunia untuk menebus dosa umat manusia (Lih. Yoh 3:16). Dan inilah yang dapat menjelaskan keberadaan kita. Karena kasihlah, maka Tuhan ingin semua manusia mengalami dan turut berpartisipasi dalam kemuliaan-Nya, yaitu dalam kehidupan abadi di surga.
Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah kasih, maka akan sulit membayangkan kepercayaan yang dianut oleh Deism, yaitu Tuhan hanya berpangku tangan melihat semua yang terjadi di dunia ini, termasuk penderitaan umat-Nya. Ibaratnya, Tuhan hanya sebagai penonton. Bayangkan kalau seseorang mempunyai ayah konglomerat. Kemudian orang ini jatuh miskin sampai menderita kelaparan. Sesuai dengan prinsip dari Deism, maka konglomerat ini hanya berpangku tangan saja, hanya menonton tanpa berbuat apapun. Kita bisa simpulkan bahwa perbuatan konglomerat ini jauh dari kategori kasih. Dengan melihat contoh ini, kita bisa juga menyimpulkan kepercayaan Deism adalah bertentangan dengan prinsip bahwa Tuhan adalah kasih.
Orang yang mempunyai kepercayaan Deism, sangat sulit untuk berdoa, karena mereka tidak melihat gunanya berdoa. Mereka melihat bahwa semua yang terjadi adalah merupakan hasil usaha mereka tanpa campur tangan Tuhan. Dan tentu saja ini jauh dari sikap kerendahan hati, sikap utama yang diperlukan dalam doa. Mari sekarang kita melihat bahwa Allah kita adalah Allah yang terus bekerja untuk keselamatan umat manusia, dan juga keselamatan kita masing-masing.

Allah Trinitas dan seluruh isi surga terus bekerja untuk keselamatan seluruh umat manusia.

Orang-orang farisi mengajukan keberatan kepada Yesus, karena Yesus menyembuhkan orang yang sudah 38 tahun sakit pada hari Sabat. Dan Yesus menjawab “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (Yoh 5:17). Kemudian sebelum Yesus mengalami penderitaan-Nya, Dia menjanjikan murid-murid-Nya Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus (Yoh 14;16-18). Dan Roh Kudus menyatakan diri-Nya secara penuh pada saat Pentakosta (Kis 2:1-40). Kemudian Roh Kudus terus bekerja melalui para murid, para pengikut Kristus, Gereja, dan melalui kita masing-masing (melalui rahmat awal yang kita terima lewat sakramen pembaptisan). Roh Kudus juga terus menerus berkarya untuk memurnikan Gereja dan seluruh anggota Gereja sampai akhir jaman. Jadi kalau Roh Kudus, pribadi ketiga dari Trinitas terus bekerja, maka Yesus, pribadi kedua, dan Allah Bapa, pribadi pertama juga terus bekerja, karena mereka adalah satu.
Dan karena para kudus di surga berpartisipasi dalam kasih Allah, maka mereka juga berpartisipasi dalam karya keselamatan seluruh umat manusia dengan doa-doa syafaat mereka. Di kitab Wahyu diceritakan bagaimana para kudus mempersembahkan doa mereka (Wah 5:8; 8:3-4). Di sinilah perannya persatuan para kudus, sehingga umat Katolik berdoa bersama dengan para kudus di surga.

Tuhan telah bekerja dan sedang bekerja dalam sejarah umat manusia.

Tuhan telah bekerja dan terus bekerja dalam sejarah umat manusia. Kita melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam pembentukan bangsa Israel dan juga dalam perjalanan bangsa ini, sehingga bangsa Israel menjadi “bangsa pilihan Allah.” Bangsa pilihan Allah ini mendapatkan arti yang baru pada saat Yesus mendirikan Gereja-Nya. Sehingga Gereja juga disebut “Bangsa Pilihan Tuhan yang baru / New People of God.” (LG, 13)
Jadi, Allah kita adalah Allah yang terus bekerja dalam sejarah umat manusia, juga dalam sejarah kehidupan kita masing-masing. Marilah kita imani bahwa Tuhan adalah Maha Kasih. Dan dalam kasih-Nya yang tak terselami, Dia tetap akan campur tangan dalam setiap hal yang kita alami. Mari kita percayakan kehidupan kita masing-masing ke dalam tangan Yesus yang juga mengerti akan kehidupan manusia, karena Dia sudah menjelma menjadi manusia. Mari kita percayakan setiap penderitaan kita kepada Yesus yang sudah terlebih dahulu menderita buat kita, dan juga segala sukacita dan kebahagiaan kita yang semuanya berasal dari Allah.
Marilah kita berdoa….
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.
Ya, Tuhan, pada saat ini aku datang di hadapan-Mu, memohon agar Engkau memberikan kepadaku hati yang rindu untuk bersatu dengan-Mu dalam doa. Berikanlah kepadaku hati yang percaya akan penyelenggaraan tangan-Mu, sebab Engkau adalah Allah yang penuh kasih. Dalam naungan kasih-Mu, bantulah aku setiap hari untuk menyadari bahwa Engkau hadir dalam setiap hal yang aku lakukan. Aku juga mengundang Engkau untuk selalu campur tangan dalam suka maupun duka di dalam kehidupanku. Bunda Maria, para malaikat dan para kudus di surga, doakanlah aku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini. Amin.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

CATATAN KAKI:
  1. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2. [↩]
  2. Kalau dilihat dari seluruh kebudayaan manusia, kita akan menemukan sistem korban, sistem agama (baik yang percaya satu Tuhan atau banyak tuhan). Hal ini dikarenakan secara alami, manusia mempunyai keinginan untuk mengenal dan mengasihi penciptanya. [↩]
  3. The Catholic University of America , New Catholic Encyclopedia, Vol. 4: Com-Dyn, 2nd ed. (Gale Cengage, 2002), p. 721-723 – Deism sendiri mempunyai beberapa aliran, mulai dari yang percaya akan Tuhan dan kehidupan setelah kematian sampai percaya kepada Tuhan yang hanya menciptakan dunia dan sistemnya, namun setelah itu berpangku tangan. Pandangan yang ekstrem ini juga tidak mempercayai kehidupan setelah kematian. [↩]
  4. Di sini kita melihat bahwa filosofi tanpa dilengkapi dengan pemahaman wahyu Tuhan menjadi sangat terbatas dan bisa salah. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemikiran manusia. Kalaupun seseorang bisa mencapai pemahaman dasar tentang Tuhan – seperti keberadaan Tuhan, Tuhan itu baik, Tuhan itu satu – hal ini hanya bisa dicapai dalam waktu yang lama. Hal ini nyata ‘dalam pencarian kebenaran’ oleh Aristoteles. [↩]
  5. Kalau kita menempatkan diri sebagai orang tua, sebenarnya tidak ada hal yang terlalu kecil bagi kita untuk urusan anak-anak kita. Sering mereka meminta sesuatu yang sepele, namun kita akan memberikan perhatian kepada anak-anak kita, agar mereka mendapatkan kebahagiaan. [↩]
Source : katolisitas.org

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 1)

 doa-1

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 1)

 

Rangkaian artikel tentang doa:

Manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. Hal ini dinyatakan dalam doa, sehingga doa menjadi bagian hakiki dalam kehidupan manusia.
Tulisan ini akan membahas tentang hakekat doa, juga kesalahan-kesalahan persepsi tentang doa. Pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian, yang terdiri dari:
  1. Kesalahan persepsi doa (bagian 1): �Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini.�
  2. Kesalahan persepsi doa (bagian 2): �Semua sudah diatur dan ditakdirkan Tuhan, sehingga berdoa tidak merubah apapun.�
  3. Kesalahan persepsi doa (bagian 3): �Berdoa dapat merubah keputusan Tuhan.�
  4. Kesimpulan: Kenapa kita harus berdoa?

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. (KGK, 31, 356, 1721, 2002) Namun pertanyaannya adalah, kenapa kita harus berdoa? Mungkin kita tidak pernah memikirkan pertanyaan ini, karena doa sudah menjadi bagian sehari-hari atau mungkin juga karena doa dianggap tidak penting. Dalam tulisan ini akan ditelusuri beberapa pertanyaan yang mendasar tentang doa. Pertama kita akan melihat beberapa kesalahan umum yang tidak hanya dilakukan di jaman sekarang, namun juga dilakukan dalam sejarah umat manusia. St. Thomas Aquinas mendefinisikan ada tiga kesalahan umum tentang persepsi doa.[1]

Kesalahan 1: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini.

Argumen yang paling ekstrem adalah karena ketidakpercayaan akan keberadaan Tuhan. Bagi yang masih mempertanyakan keberadaan Tuhan, silakan membaca artikel: : Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Karena tidak percaya kepada Tuhan atau sesuatu yang lebih besar dari keberadaan dirinya, maka orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan tidak merasa perlu untuk berdoa.[2]
Selanjutnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa memang Tuhan menciptakan segala sesuatu; namun setelah penciptaan, Tuhan tidak campur tangan lagi, dan semuanya berjalan menurut hukum alam berdasarkan sistem yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Pendapat ini dianut oleh aliran �deism�[3] Aliran ini menerima ke-Tuhanan hanya dari sisi filosofi, tanpa percaya adanya wahyu Tuhan.[4] Menurut pemahaman ini, Tuhan dilihat sebagai seseorang yang yang duduk di tahta suci dan melihat semua perbuatan manusia dan perjalanan sejarah, namun Dia tidak melakukan apa-apa.
Dalam kapasitas yang lebih kecil, berapa sering kita mendengar seseorang mengatakan �Ah, jangan terlalu banyak merepotkan Tuhan. Masa Tuhan mengatur urusan-urusan yang kecil?� Seolah-olah Tuhan tidak tertarik untuk membantu manusia dalam urusan-urusan yang kecil. Kadang urusan yang bagi seseorang dianggap kecil, bagi Tuhan menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan rohani seseorang.[5]

Tuhan menciptakan manusia karena kasih dan untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Pertama, kita harus mempertanyakan kenapa Tuhan menciptakan dunia ini, terutama kenapa menciptakan manusia menurut gambaran-Nya (Lih Kej 1:26-27). Kalau kita dan juga Deism percaya bahwa Tuhan adalah Maha dalam segalanya, maka konsekuensinya Tuhan tidak membutuhkan siapa-siapa, termasuk dunia ini dan manusia. Bisa dikatakan bahwa keberadaan kita tidak menambah kemuliaan Tuhan, karena Tuhan adalah absolut baik. Sebaliknya kalau kita berdosa, juga tidak mengurangi kemuliaan Tuhan, karena Dia maha sempurna.
Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa motif dari penciptaan dunia dan manusia adalah karena kasih (KGK, 1604) dan untuk merefleksikan kemuliaan Tuhan. (KGK, 294) Kalau kita percaya bahwa keberadaan kita adalah karena kebetulan saja, dan bukan akibat dari kasih Tuhan, maka pendapat ini sebenarnya sangat tragis. Argumen ini sama seperti pendapat bahwa keberadaan kita sebagai anak tidaklah diinginkan oleh orang tua kita, dan hanya terjadi secara kebetulan. Tentu saja ini adalah kejadian yang tragis. Kemungkinan ini disanggah oleh Tuhan sendiri, sebab Dia berkata dalam kitab nabi Yesaya, �Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau � (Yes 49:15). Dengan demikian Tuhan mau menyampaikan bahwa Ia mengasihi lebih kita lebih daripada ibu kita mengasihi kita.
Jadi kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah maha dalam segalanya, termasuk maha baik dan maha kasih, sangatlah tidak mungkin kalau Tuhan menciptakan manusia hanya secara kebetulan atau eksistensi manusia terjadi secara kebetulan. Argumen yang memungkinkan adalah Tuhan mengasihi manusia. Kasihnya begitu besar kepada manusia, sehingga Dia memberikan Putera-Nya kepada dunia untuk menebus dosa umat manusia (Lih. Yoh 3:16). Dan inilah yang dapat menjelaskan keberadaan kita. Karena kasihlah, maka Tuhan ingin semua manusia mengalami dan turut berpartisipasi dalam kemuliaan-Nya, yaitu dalam kehidupan abadi di surga.
Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah kasih, maka akan sulit membayangkan kepercayaan yang dianut oleh Deism, yaitu Tuhan hanya berpangku tangan melihat semua yang terjadi di dunia ini, termasuk penderitaan umat-Nya. Ibaratnya, Tuhan hanya sebagai penonton. Bayangkan kalau seseorang mempunyai ayah konglomerat. Kemudian orang ini jatuh miskin sampai menderita kelaparan. Sesuai dengan prinsip dari Deism, maka konglomerat ini hanya berpangku tangan saja, hanya menonton tanpa berbuat apapun. Kita bisa simpulkan bahwa perbuatan konglomerat ini jauh dari kategori kasih. Dengan melihat contoh ini, kita bisa juga menyimpulkan kepercayaan Deism adalah bertentangan dengan prinsip bahwa Tuhan adalah kasih.
Orang yang mempunyai kepercayaan Deism, sangat sulit untuk berdoa, karena mereka tidak melihat gunanya berdoa. Mereka melihat bahwa semua yang terjadi adalah merupakan hasil usaha mereka tanpa campur tangan Tuhan. Dan tentu saja ini jauh dari sikap kerendahan hati, sikap utama yang diperlukan dalam doa. Mari sekarang kita melihat bahwa Allah kita adalah Allah yang terus bekerja untuk keselamatan umat manusia, dan juga keselamatan kita masing-masing.

Allah Trinitas dan seluruh isi surga terus bekerja untuk keselamatan seluruh umat manusia.

Orang-orang farisi mengajukan keberatan kepada Yesus, karena Yesus menyembuhkan orang yang sudah 38 tahun sakit pada hari Sabat. Dan Yesus menjawab �Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga� (Yoh 5:17). Kemudian sebelum Yesus mengalami penderitaan-Nya, Dia menjanjikan murid-murid-Nya Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus (Yoh 14;16-18). Dan Roh Kudus menyatakan diri-Nya secara penuh pada saat Pentakosta (Kis 2:1-40). Kemudian Roh Kudus terus bekerja melalui para murid, para pengikut Kristus, Gereja, dan melalui kita masing-masing (melalui rahmat awal yang kita terima lewat sakramen pembaptisan). Roh Kudus juga terus menerus berkarya untuk memurnikan Gereja dan seluruh anggota Gereja sampai akhir jaman. Jadi kalau Roh Kudus, pribadi ketiga dari Trinitas terus bekerja, maka Yesus, pribadi kedua, dan Allah Bapa, pribadi pertama juga terus bekerja, karena mereka adalah satu.
Dan karena para kudus di surga berpartisipasi dalam kasih Allah, maka mereka juga berpartisipasi dalam karya keselamatan seluruh umat manusia dengan doa-doa syafaat mereka. Di kitab Wahyu diceritakan bagaimana para kudus mempersembahkan doa mereka (Wah 5:8; 8:3-4). Di sinilah perannya persatuan para kudus, sehingga umat Katolik berdoa bersama dengan para kudus di surga.

Tuhan telah bekerja dan sedang bekerja dalam sejarah umat manusia.

Tuhan telah bekerja dan terus bekerja dalam sejarah umat manusia. Kita melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam pembentukan bangsa Israel dan juga dalam perjalanan bangsa ini, sehingga bangsa Israel menjadi �bangsa pilihan Allah.� Bangsa pilihan Allah ini mendapatkan arti yang baru pada saat Yesus mendirikan Gereja-Nya. Sehingga Gereja juga disebut �Bangsa Pilihan Tuhan yang baru / New People of God.� (LG, 13)
Jadi, Allah kita adalah Allah yang terus bekerja dalam sejarah umat manusia, juga dalam sejarah kehidupan kita masing-masing. Marilah kita imani bahwa Tuhan adalah Maha Kasih. Dan dalam kasih-Nya yang tak terselami, Dia tetap akan campur tangan dalam setiap hal yang kita alami. Mari kita percayakan kehidupan kita masing-masing ke dalam tangan Yesus yang juga mengerti akan kehidupan manusia, karena Dia sudah menjelma menjadi manusia. Mari kita percayakan setiap penderitaan kita kepada Yesus yang sudah terlebih dahulu menderita buat kita, dan juga segala sukacita dan kebahagiaan kita yang semuanya berasal dari Allah.
Marilah kita berdoa�.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.
Ya, Tuhan, pada saat ini aku datang di hadapan-Mu, memohon agar Engkau memberikan kepadaku hati yang rindu untuk bersatu dengan-Mu dalam doa. Berikanlah kepadaku hati yang percaya akan penyelenggaraan tangan-Mu, sebab Engkau adalah Allah yang penuh kasih. Dalam naungan kasih-Mu, bantulah aku setiap hari untuk menyadari bahwa Engkau hadir dalam setiap hal yang aku lakukan. Aku juga mengundang Engkau untuk selalu campur tangan dalam suka maupun duka di dalam kehidupanku. Bunda Maria, para malaikat dan para kudus di surga, doakanlah aku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini. Amin.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

CATATAN KAKI:
  1. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2. [?]
  2. Kalau dilihat dari seluruh kebudayaan manusia, kita akan menemukan sistem korban, sistem agama (baik yang percaya satu Tuhan atau banyak tuhan). Hal ini dikarenakan secara alami, manusia mempunyai keinginan untuk mengenal dan mengasihi penciptanya. [?]
  3. The Catholic University of America , New Catholic Encyclopedia, Vol. 4: Com-Dyn, 2nd ed. (Gale Cengage, 2002), p. 721-723 � Deism sendiri mempunyai beberapa aliran, mulai dari yang percaya akan Tuhan dan kehidupan setelah kematian sampai percaya kepada Tuhan yang hanya menciptakan dunia dan sistemnya, namun setelah itu berpangku tangan. Pandangan yang ekstrem ini juga tidak mempercayai kehidupan setelah kematian. [?]
  4. Di sini kita melihat bahwa filosofi tanpa dilengkapi dengan pemahaman wahyu Tuhan menjadi sangat terbatas dan bisa salah. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemikiran manusia. Kalaupun seseorang bisa mencapai pemahaman dasar tentang Tuhan � seperti keberadaan Tuhan, Tuhan itu baik, Tuhan itu satu � hal ini hanya bisa dicapai dalam waktu yang lama. Hal ini nyata �dalam pencarian kebenaran� oleh Aristoteles. [?]
  5. Kalau kita menempatkan diri sebagai orang tua, sebenarnya tidak ada hal yang terlalu kecil bagi kita untuk urusan anak-anak kita. Sering mereka meminta sesuatu yang sepele, namun kita akan memberikan perhatian kepada anak-anak kita, agar mereka mendapatkan kebahagiaan. [?]
Source : katolisitas.org

Tags