Latest News

Showing posts with label Liturgi. Show all posts
Showing posts with label Liturgi. Show all posts

Monday, June 9, 2014

EKM: Emang Kamu Misa?

2
belajar taat

EKM: Emang Kamu Misa?

Biasanya, setiap mendengar kata EKM kita langsung berpikir soal Ekaristi Kaum Muda. Hmmm… Emangnya ada Ekaristi Kaum Tua atau Ekaristi Anak-anak?
EKM biasanya menjadi perayaan Ekaristi yang digemari oleh anak muda (mungkin juga ada orang tua yang suka). Umumnya dalam perayaan Ekaristi Kaum Muda tata perayaannya dibuat berbeda. Katanya menurut selera orang muda:  tarian, musikalisasi puisi, visualisasi cerita kitab suci atau drama hidup sehari-hari, dengan iringan kor maupun band, dengan bintang tamu dan simbol-simbol orang muda. Hal ini ditempuh untuk membantu orang muda berjumpa dengan Yesus dalam perayaan Ekaristi.
Sejauh saya mengerti dan paham hanya ada satu Ekaristi, yaitu Ekaristi yang kita rayakan setiap hari minggu atau hari biasa yang sesuai dengan petunjuk TPE. Yang membedakan adalah intensi atau ujudnya saja. Ekaristi yang satu itu sifatnya perayaan resmi Gereja. Karena sifatnya yang resmi itulah Gereja membuat aturan-aturan untuk memastikan bahwa Ekaristi itu sah dan valid.
Emangnya dengan tata perayaan yang katanya dibuat sesuai selera kaum muda itu, Anda (kaum muda) merayakan misa? Gereja yang kudus mengajarkan dengan teramat jelas mengenai hakekat perjumpaan atau kehadiran Yesus dalam liturgi. Ajaran Gereja ini dengan mudah akan kita jumpai jika kita berani dan mau membuka dokumen Konsili Vatikan II, khususnya SC. Konstitusi tentang Liturgi Suci,Sacrosanctum Concilium, menjelaskan bahwa Kristus selalu hadir dalam diri umat beriman yang sedang berliturgi. Sebab, dalam setiap kegiatan liturgi, kita berkumpul dalam nama Kristus untuk merayakan karya keselamatan Allah. “Dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, dengan diri-Nya” (SC 7).
Oleh karena itu, marilah dalam setiap kegiatan liturgi, kita selalu menyadari bahwa Tuhan hadir dalam komunitas atau kebersamaan kita. Dengan kesadaran ini, tentu setiap perayaan liturgi akan kita persiapkan dan kita hayati dengan sungguh-sungguh. Akhirnya, liturgi yang kita hayati dengan sungguh-sungguh ini akan mengalirkan rahmat yang melimpah sehingga kita sehati sejawa dalam kasih dan dapat mengamalkan iman kita dalam kehidupan sehari-hari (SC 10).
Konstitusi Liturgi juga menyatakan: “Kristus hadir dalam kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan ‘karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan diri di kayu salib’, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi” (SC 7). Betapa agung dan mulianya Kristus yang berkenan hadir di tengah kita umat-Nya melalui diri para pastor atau pelayan Misa ini. Itulah sebabnya, saat memimpin Misa seorang imam benar-benar sedang menjadi alter Christus (Kristus yang lain). Karena Kristus hadiri dalam diri imam saat memimpin Misa itulah, umat berdiri saat imam masuk, atau para petugas menundukkan kepala kepada imam selebran sebelum bertugas.
Kiranya dapat dikatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi Kristus sendiri hadir dan menjumpai kita. Luar biasa kan? Nah, perayaan Ekaristi sendiri ya mulai dari awal sampai akhir. Mulai dari ritus pembuka sampai ritus penutup. Jika sudah demikian luar biasa ajaran Gereja, masihkah kita menggunakan argumen “untuk membantu umat berjumpa dengan Tuhan” sebagai pembenaran atas utak atik tata perayaan Ekaristi? Jangan-jangan, “kita melihat namun tidak percaya”. Artinya Kristus jelas hadir tetapi tidak mampu kita lihat. Kristus ada namun kita malah sibuk mencari cara untuk menghadirkan Yesus. Wong sudah hadir kok masih dicari-cari dengan cara ini dan itu.
Gereja mengajarkan bahwa “Kristus hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (SC 7). Ajaran ini kembali ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1088. Mengingat agung dan luhurnya kehadiran Tuhan dalam Sabda-Nya, Instruksi Redemptionis Sacramentummenegaskan, “Tidak juga diperkenankan meniadakan ataupun menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi “mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci” (RS 62). Jelas kan bahwa Yesus hadir dalam sabda-Nya? Lha kok masih berani-beraninya kita mencari-cari kehadiran Yesus dalam sabdaNya itu dengan membuat injil tandingan yang terwujud dalam visualisasi. Teks Injil yang demikian agung justru kita gantikan dengan visualisasi atau drama. Bacalah dan pahamilah, wahai rekan-rekan muda.
Masih ada contoh lain. Konstitusi Liturgi artikel 7: “Kristus hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur, karena Ia sendiri berjanji: Bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:20)”. Konstitusi Liturgi menunjuk  bahwa Tuhan hadir saat Gereja memohon dan bermazmur. Jelas kan jika Yesus hadir ketika umatNya sedang berdoa? Tapi coba kita lihat apa yang terjadi pada saat EKM? Ada lho yang selama perayaan Ekaristi malah sibuk dengan SMS atau BBM. Ada yang tidak peduli dengan apa yang terjadi, yang penting bisa menerima komuni.
Ketika omong soal perjumpaan, kita itu ngomong soal sesuatu yang ada dalam diri kita. Kita berbicara soal disposisi batin. Cobalah rekan-rekan muda bertanya bagaimana simbah-simbah kita dahulu menyiapkan diri untuk merayakan Ekaristi. Ada lho yang rela berjalan jauh selama berjam-jam dengan kondisi perut lapar karena berpuasa. Itu semua untuk apa? “Supaya pantas menerima Kristus” adalah jawaban yang sering terdengar. Bagi saya ini jelas: disposisi batin memudahkan kita untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan.
Tanpa disposisi batin yang tepat, Ekaristi hanyalah sebuah tontonan. Kita tinggal duduk menikmati drama visualisasi Injil; mendengarkan salah satu penyanyi yang disorot kamera dan ditampilkan di layar sembari bergumam: “suarane apik yo”, “penyanyine ayu tenan”; atau ritus-ritus lain yang diciptakan untuk “membantu umat bertemu dengan Tuhan”. Atau terserah mau ngapain yang di dalam gereja, yang penting saya bisa terima komuni.
Disposisi batin yang tepat akan membawa kita sampai kepada keterlibatan yang sadar dan aktif. Ada yang bilang, “Kalau gak ada keterlibatan, ya sebetulnya gak ada perayaan syukur bersama, dan kalau gak ada perayaan syukur bersama, berarti imamnya doang yang “bikin misa”. Sejauh mana kita mengartikan keterlibatan? Memberikan kesaksian tentang kegelisahan hidup pada saat ritus tobat? Ikut menjadi pemain dalam visualisasi Injil? Berjabat tangan dengan orang-orang yang ada di gereja?
Kita akan bisa terlibat secara sadar dan aktif dalam berliturgi ketika kita sungguh mengerti dan paham apa yang dimaksudkan oleh Gereja. Seluruh ritus yang ada disusun sedemikian rupa sehingga membantu umat untuk semakin menyadari bahwa Perayaan Ekaristi adalah perayaan iman yang didalamnya kita merayakan karya keselamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus dalam Roh Kudus. Dengan mengerti dan memahami makna dari ritus-ritus  yang ada, saya yakin kita akan mampu menghayatinya dengan sikap batin yang luar biasa. Ketika kita mampu melakukan dan menghati ritus-ritus itu, itulah keterlibatan yang sadar dan aktif. Masing-masing menempatkan diri seturut peran dan fungsinya.
Akhirnya, jika kita sungguh-sungguh menghayati liturgi dan Ekaristi dengan segala kekayaan maknanya seperti dikehendaki Gereja, kita tentu dikobarkan untuk mengamalkan pengalaman doa atau Ekaristinya itu dalam hidup dan tingkah laku sehari-hari. Pergilah kita diutus! Dan dengan semangat 45 kita menjawab amin.
Namun, kita sering membenturkan Ekaristi dan perutusan. Kita menganggap Ekaristi tidak menggerakkan orang muda untuk terlibat dalam kehidupan. Lalu, yang diutak-atik adalah liturgi. Sungguh, saya tersenyum kecut ketika menjumpai pandangan seperti itu. Gereja jelas mengajarkan: “Liturgi mendorong umat beriman supaya sesudah dipuaskan ‘dengan sakramen-sakramen Paskah menjadi sehati sejiwa dalam kasih’. Liturgi berdoa, supaya ‘mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman’.” Jika kita belum tergerak untuk mengamalkan, maka persoalan ada pada hidup kita sendiri, bukan pada liturginya. Jika kita mengeluarkan kritikan: terlalu memperhatikan liturgi dan lupa pada praksis hidup, mengapa kita justru menghabiskan banyak waktu untuk mengutak-atik liturgi?
Saya yakin, ketika kita mampu menghayati liturgi dengan baik, rahmat itu akan menjadi daya dorong dan daya ubah untuk hidup kita. Jika belum, mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Emang Kamu Misa? Atau jangan-jangan, sepertinya kita misa namun sejatinya Eh, Kita Menonton. Lha kalau nonton ya jangan berpikir soal daya ubah dan keterlibatan dalam kehidupan. Menonton itu puasnya ya ketika nonton. Bisa ampe nangis atau dengan semangat memberikan tepuk tangan. Sesudahnya?
Source : liturgikas.com

Berliturgi: Upacara atau Perayaan?

1a
diam pun bisa menjadi sebuah bukti nyata keterlibatan yang sadar dan aktif, terutama ketika hati sungguh dilibatkan di sana.

“Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakah perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup” SC 26

Berliturgi: Upacara atau Perayaan?

Takdisangka bahwa dua artikel sebelum artikel ini tayang, INI dan INI, mendapat perhatian cukup besar. Ada pro dan kontra atas sebuah pembelajaran kiranya menjadi hal yang wajar. Semua itu menandaskan bahwa pendidikan berliturgi adalah sebuah upaya yang harus terus menerus dilakukan. Upaya ini tidak hanya ditujukan kepada umat, namun terutama kepada “para gembala sehingga semakin diresapi semangat dan daya Liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan Liturgi” (SC 14).
Dalam beberapa kesempatan, muncul sebuah gagasan mengenai liturgi sebagai upacara dan liturgi sebagai perayaan. Ada pandangan bahwa liturgi yang dirayakan dengan mengacu pada tata perayaan baku dianggap kuno, tidak up to date, dan bahkan dianggap sebagai sebuah upacara yang kaku. Sementara liturgi yang dirayakan menurut konteks zaman dan sesuai semangat kaum muda masa kini dipandang sebagai sebuah perayaan.
Bagaimana sih melihat liturgi itu? Apakah pandangan-pandangan seperti itu benar? Saya merasa, benar atau tidaknya pandangan itu sangat tergantung pada titik mana kita menempatkannya. Gereja sendiri, ketika kita membuka dokumen, SC misalnya, akan menemukan dua kata itu dipakai ketika berbicara tentang liturgi suci. Maka, tidak perlu kan menunjuk ini atau itu. yang perlu justru mendalami apa maksud Gereja mengenai kata upacara dan perayaan.
Nah, yukk kita sedikit demi sedikit mencoba mendalaminya.
Sebelum kita masuk ke bagian itu, saya mengajak untuk melihat konteks yang sedikit jauh. Saya mengajak untuk memulai dengan kata ungkapan dan perwujudan iman. Setiap orang beriman dituntut mengungkapkan dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pengungkapan iman menunjukkan identitas lahiriah seseorang dan menyatakan secara nyata relasinya dengan yang ilahi. Liturgi merupakan ungkapan resmi iman seseorang. Resmi menekankan aspek kewajiban dan aspek formalitas (bentuk, pelayan dan doa-doanya). Catatan penting perlulah dibuat pada bagian ini. Liturgi adalah ungkapan resmi kita. Dalam hidup sehari-hari, sesuatu yang sifatnya resmi pastilah memiliki aturan-aturan. Pun pula dalam liturgi sebagai ungkapan resmi.
Mungkin kita masih mendebat, ngapain sih ada aturan-aturan dalam liturgi? Mengapa tidak diberi kebebasan saja? Bukankah aturan-aturan itu membuat liturgi menjadi kaku, tidak membebaskan? Sekali lagi, liturgi adalah ungkapan resmi. Aturan dibuat oleh Gereja karena itu adalah hak umat supaya “terhindarkan kesan bahwa liturgi itu menjadi milik pribadi, entah selebran atau komunitas di mana misteri-misteri itu dirayakan” (RS18). Artinya pengaturan liturgi adalah hak umat dan untuk menjamin liturgi terlaksana secara penuh dan tepat guna.
Ketika kita ngomong soal kebebasan dalam berliturgi, kita perlu mengerti apa yang dimaksud kebebasan oleh Gereja. Kebebasan dalam benak kita mungkin, kita bisa membuat ini dan itu menurut pola pikir kita. Yang lain tidak perlu ribut. Kalau dalam konteks berliturgi, yang penting bagian poko (liturgi ekaristi) tidak diutak atik. Yang lainnya bisa dibuat begini atau begitu. Gereja justru menunjukkan lho. Hati-hati dengan pengertian kebebasan. Jika tidak hati-hati justru bisa jatuh dalam penyelewengan. “Dalam Kristus, Allah tidak menjamin bagi kita suatu kebebasan semu yang memberi kita peluang untuk berbuat apa saja yang kita kehendaki, melainkan suatu kebebasan yang dengannya kita boleh berbuat apa yang tepat dan benar” (RS 7). Nah, keliatan kan? Gereja mengajak kita sampai pada sebuah pemikiran, mengikuti aturan tidak sama dengan kita terbelenggu apalagi terkungkung di dalam tempurung rumah kita. Apakah dengan mengikuti aturan lalu iman kita bertumbuh dalam ketakutan akan aturan-aturan? Kiranya tidak. Karena kita diajak tidak hanya berhenti pada titik aturan itu tetapi kita masuki dan pahami apa yang dimaksudkan oleh Gereja yang Kudus. Kebebasan mengandaikan sebuah perbuatan yang tepat dan benar. Dengannya, hati tidak disingkirkan. Dengannya hati justru mendapatkan tempatnya karena kita tidak hanya melakukan aturan begitu saja. Dengan pemahaman yang benar, hati justru mendapatkan tempat istimewa.
Gereja pun sadar bahwa ketaatan lahiriah semata justru bertentangan dengan semangat liturgi suci. Untuk itu, tata lahiriah harus dibarengi dan diterangi dengan iman dan kasih, melaluinya kita dipersatukan dengan Kristus dan satu sama lain.
Selain ada ungkapan iman, ada pula perwujudan iman. Perwujudan iman menunjukkan kwalitas iman yang dinyatakan dalam menjalani hidup baik secara personal maupun relasional. Personal menunjuk pada aspek tanggung jawab dan relasional menunjuk pada aspek tingkat kwalitas relasi dengan sesama. Iman mempengaruhi dan mendasari perbuatan.
Pengungkapan dan perwujudan sama pentingnya dan tidak boleh menekankan salah satu aspek saja. Pengungkapan mendapat dasarnya dalam perwujudan. Perwujudan mendapat inspirasinya dari pengungkapan.
Berliturgi bukan soal wajib dan tidak, boleh dan tidak, melainkan soal konsekuensi dari jati dirinya sebagai orang beriman. Liturgi menyatakan jati diri sebagai orang beriman. Maka tidak mungkin beriman tanpa berliturgi.Liturgi bagaikan charger untuk iman. Karena liturgi, iman terus diteguhkan, dikuatkan, dibaharui dan akhirnya terus hidup dan mempengaruhi seluruh kehidupan.
Lalu, berliturgi itu sendiri apa sih? Berdasarkan SC 2, 7, 10, Liturgi disebut sebagai perayaan misteri keselamatan Allah (penebusan dan pengudusan oleh Allah dan pemuliaan oleh manusia) yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.
Dilihat dari sisi pelaksananya, liturgi dapat disebut sebagai perayaan Tuhan dan perayaan iman. Disebut perayaan Tuhan karena dalam liturgi, Allah yang berinisiatif menjumpai manusia. Allah yang mencari dan mengundang; bukan manusia yang mencari Allah. Maksud Allah mengundang manusia untuk berpartisipasi dan berperan serta dalam hidupNya. Dan disebut perayaan iman, karena dalam liturgi manusia terlibat dengan menanggapi undangan Tuhan untuk terlibat dalam perjamuanNya.
Karena itu, dari peristiwanya, liturgi menjadi medan sebuah perjumpaan, yaitu perjumpaan antara Allah dan manusia. Perjumpaan itu membawa anugerah keselamatan bagi manusia. Anugerah ini mengalir pada setiap orang yang merayakan dan yang didoakannya, lepas dari disposisi batin orang yang bersangkutan, sebab sakramen bekerja dengan ex opere operato. Disposisi batin lebih menunjuk pada sisi kepantasan dan kelayakan orang saat mengambil bagian dalam perayaan.
Dalam konteks pembicaraan inilah, kita tempatkan kata berliturgi secara sadar dan aktif. Kata sadar dan aktif menegaskan aspek PEMAHAMAN (akal budi) dan KETERLIBATAN (hati) semua umat beriman. Pemahaman menegaskan sisi pengetahuan, dimana semua umat beriman bisa memahami liturgi yang mereka rayakan. Sedangkan keterlibatan menunjuk soal hati, yaitu hati yang terlibat secara penuh dalam liturgi.
Source : http://liturgikas.com/



KEHADIRAN KRISTUS DALAM SELURUH PERAYAAN LITURGI



KEHADIRAN KRISTUS DALAM

SELURUH PERAYAAN LITURGI


Berto selalu rajin mengikuti perayaan Ekaristi setiap hari Minggu di gereja. Sayangnya ia biasa dan bahkan suka terlambat. Suatu kali datang pas lagu Kemuliaan, lain kali pas Injil, lain kali lagi pas homili, dan bahkan pernah pas persiapan persembahan. Ketika ditanya Rini teman dekatnya, Berto menjawab dengan enteng: “Kan yang penting aku rajin ikut Misa, dan lagi yang terpenting kan konsekrasi dan komuni…..saat Tuhan Yesus Kristus hadir!”.
Tidak jarang masih ada umat yang suka terlambat Misa. Umat begini sering tidak merasa bersalah, karena bagi mereka yang terpenting konsekrasi dan komuni. Persis seperti pandangan saudara kita Berto di atas. Gereja sebenarnya selalu memandang perayaan Ekaristi sebagai satu kesatuan perayaan suci, dari awal hingga akhir, katakanlah dari lagu pembuka dan tanda salib hingga sampai dengan berkat serta perutusan di akhir Misa. Salah satu alasan pokok ialah karena dalam seluruh perayaan Ekaristi itu, Tuhan Yesus Kristus hadir sepenuhnya. Konstitusi Liturgi artikel 7 menyatakan: Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya, terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Kata mendampingi di sini menunjuk makna “hadir” sesuai dengan bagian kalimat-kalimat selanjutnya pada artikel tersebut.
Gereja mengharapkan agar kita menghadiri Misa tidak sebagai penonton ataupun pelanggan seperti yang sedang belanja di swalayan atau mau makan prasmanan dengan datang dan hanya mengambil yang diinginkan saja. Perayaan Ekaristi adalah perayaan bersama seluruh umat yang perlu saling mendukung dan meneguhkan satu sama lain. Keterlambatan hadir bukan saja mengganggu kekhidmatan perayaan liturgi tetapi juga tidak menghormati kehadiran Tuhan dalam seluruh bagian Misa Kudus.
✥ Benedictus Deus ✥
Source : fans iman katolik
https://www.facebook.com/groups/444144782302456/

Tags