Latest News

Showing posts with label Orang Kudus. Show all posts
Showing posts with label Orang Kudus. Show all posts

Wednesday, November 13, 2013

Asal-Usul Tradisi Perayaan St. Martin dan Menu Angsanya (Martinszug dan Martinsgans)

Martinszug di Kempen 2011
Martinszug di Kempen 2011


Asal-Usul Tradisi Perayaan 

St. Martin dan Menu Angsanya 

(Martinszug dan Martinsgans)


Pada tanggal 11 November, umat katholik di Jerman, Austria, Swiss dan Tirol selatan merayakan hari Santo Martin dari Tours (Perancis). Karena sudah menjadi tradisi maka perayaan ini tidak saja dirayakan oleh umat katholik melainkan oleh semua warga
Di Jerman, kota-kota seperti Worms-Hochheim, Kempen dan Bocholt terkenal sebagai kota dengan peserta pawai terbanyak dengan jumlah pengikut antara 4000 – 6000 orang.
Tradisi merayakan hari tersebut biasanya diiringi dengan pawai disebut Sank Martinszug (pawai Santo Martin) dan tentunya ada makanan spesial yang dipersiapkan oleh masing-masing keluarga yang bernama Martinsgans (Gans = Angsa).
Di desa tempat tinggal saya, pesta St.Martin dirayakan pada tanggal 10 November sore dan dua minggu sebelum pesta St.Martin dimulai, para anggota partai CDU tingkat desa, Pemadam Kebakaran, Gabungan Musik Tiup dari Gereja Protestan dan Katholik mengadakan rapat tentang pengorganisasian berlangsungnya acara pawai tersebut. Begitu juga dengan TK dan SD, dalam pelajaran prakarya, mereka membuat lentera dari bahan kertas lilin dengan hiasan berupa bulan, bintang, angsa atau motiv lainnya untuk keperluan pawai.
Untuk urusan konsumsinya, dua hari sebelum pesta dimulai, anak-anak TK dan SD mendapat satu kupon yang nantinya bisa ditukar dengan roti Brezel.
Tepat pukul 17:00 (di musim dingin, hari sudah gelap) semua warga berkumpul di halaman gereja sambil menunggu St. Martin yang diperankan oleh seorang pria berpakaian Romawi dengan menunggang seekor kuda. Setelah kata sambutan dari ketua panitia, iring-iringan wargapun beranjak yang dipimpin oleh pria yang berperan sebagai St. Martin, lalu diikuti dengan Group Musik Tiup dan warga. Adapun lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak berjudul „Ich gehe mit meiner Laterne..“ artinya „Saya pergi dengan lentera saya“.
Dengan diterangi cahaya lilin atau lampu kecil dari lentera yang dibawa oleh anak-anak, mereka berjalan ke arah api unggun yang telah disiapkan. Kemudian semua peserta mengelilingi api unggun sambil makan roti Brezel dan minum Jus Apel panas yang dibagikan oleh panitia.
Santo Martin dan Legendanya
Martin dari Tours (Perancis) dilahirkan di Hongaria pada tahun 316. Di usia yang belum memasuki 18 tahun, impiannya untuk menjadi tentara Romawi terkabulkan dengan melamar menjadi tentara pada kekaisaran Romawi. Martin terkenal sangat pemberani dan mempunyai banyak kawan. Yang sangat membuatnya bangga adalah: apabila dia bisa menunggangi kudanya berkeliling kota, bahkan di musim dingin Martin senang berkeliling sambil menunggang kudanya.
Di suatu malam di musim dingin, udara sangat dingin sekali tidak seperti biasanya. Salju turun sangat tebal menutupi jalan-jalan. Walaupun dengan cuaca demikian, Martin mengeluarkan kudanya dari kandang dan menungganginya. Tak terlihat satu orangpun di jalan-jalan yang dilaluinya, juga tak seekor anjingpun yang kelihatan berkeliaran di jalan. Malam itu udara sangat dingin sekali. Semua orang berdiam di rumah dan berkumpul di depan perapian, begitu juga hewan-hewan di kandang, saling berdekatan untuk menghangatkan badan mereka.
Martin mengendarai kudanya dengan lebih cepat agar tubuhnya dan si kuda cepat hangat. Akan tetapi tiba-tiba Martin melihat sesuatu tergeletak di pinggiran jalan. Dengan segera Martin menarik tali kekang kudanya untuk berhenti dan mendekati dengan sangat berhati-hati benda yang dicurigainya itu.
Ketika Martin mendekat, terdengar seseorang mengerang karena kedinginan, ternyata suara itu berasal dari seorang pengemis yang berpakaian compang-camping. “Saya menggigil kedinginan” keluhnya.
Tanpa ragu-ragu, Martin mengambil pedangnya dan memotong mantelnya menjadi dua bagian. Setengah dari mantel yang terpotong itu diberikan kepada si pengemis untuk menghangatkan badannya, “ku hadiahkan setengah mantel ini untukmu” kata Martin.
“Terima kasih” kata si pengemis sambil membalut tubuhnya dengan potongan mantel tersebut. Dan Martinpun meninggalkan pengemis tersebut, melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
Malam harinya Martin bermimpi tentang Jesus yang membuatnya berubah pikiran. Martin meninggalkan kekaisaran dan tidak ingin lagi menjadi tentara Romawi. Keinginannya adalah menolong orang-orang miskin dan menjadi misionaris.
Kisah tentang kebaikan Santo Martin menyebar keseluruh penjuru negeri, begitu juga dengan cerita tentang pengemis yang pernah di tolongnya, banyak di ceritakan oleh masyarakat sampai pada suatu saat, mereka menginginkan Martin menjadi Uskup kota Tours tetapi Martin tidak mau menjadi uskup karena dia berpikir tidak pantas untuk jabatan tersebut.
Untuk menghindari kejaran masyarakat, Martin bersembunyi di kandang angsa dan berpikir bila dia bersembunyi di kandang angsa, pasti masyarakat tidak akan menemukannya.
Menu khas Gans, Rotkohl dan Klößchen (Angsa, Kol Merah dan Bola Kentang)
Menu khas Gans, Rotkohl dan Klößchen (Angsa, Kol Merah dan Bola Kentang)
Tanpa diduga, dengan kehadiran Martin di kandang angsa tersebut, angsa-angsa menjadi terkejut dan membuat keributan yang luar biasa sehingga mengundang perhatian masyarakat untuk melihat apa yang terjadi. Konon menu makanan angsa untuk Hari St. Martin itu berasal dari legenda tersebut.
Akhirnya mereka menemukan Martin dan memintanya untuk menjadi uskup. Martin diangkat menjadi uskup Tours pada tahun 371 dan menjalankan tugasnya dengan baik.
Pada tahun 398, uskup Martin dari Tours wafat.
Dari perayaan St. Martin diatas, ada pesan moral yang bisa diambil dari kehidupan St. Martin dan selalu diceritakan kepada anak-anak dimulai dari usia TK yaitu menanamkan rasa sosial, rasa belas kasihan dan tentunya rasa cinta kasih terhadap sesama.
Pertama kali saya menemani anak-anak mengikuti pawai St. Martin, saya sangat terharu, bagaimana mungkin Jerman yang sangat maju masih memegang teguh tradisi dan melaksanakannya dengan penuh kehormatan.

Source : sosbud.kompasiana.com

Saturday, November 9, 2013

St. Paul Miki SJ: Disalib Seperti Kristus



St. Paul Miki SJ: Disalib Seperti Kristus

Paul Miki punya talenta berkhotbah luar biasa dalam mewartakan Injil di Jepang. Hingga ajalnya bersama 25 martir lainnya di kayu salib, ia masih lantang menyerukan Kabar Baik di tengah ganasnya para algojo.

Paul adalah anak dari pemimpin militer Jepang yang kaya, Miki Handayu. Ia dilahirkan di Tsunokuni, Jepang. Keluarganya menjadi pemeluk Katolik sejak Paul masih sangat muda. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan talenta sebagai anak dengan tingkat religiositas yang tinggi. Pada usia lima tahun, ia menerima Sakramen Baptis.

Ayahnya menyerahkan pendidikan Paul pada Serikat Jesus. Di kota Azuchi dan Takatsuki, Paul menimba ilmu ketuhanan. Ia menjadi novis pada usia 22 tahun.

Pada masa itu, agama Kristen di Jepang menyebar seperti api. Itu terjadi setelah misionaris Fransiskus Xaverius memperkenalkannya pada rakyat Jepang yang sebelumnya banyak menganut agama Budha. Gereja menghitung, sekitar 200 ribu umat Katolik Jepang pada tahun 1580-an.

Di tengah situasi itu, Paul ditahbiskan sebagai imam Jesuit. Segera ia menjadi terkenal karena khotbah- khotbahnya yang menggugah. Banyak orang tertarik masuk Katolik karena khotbah-khotbahnya. Kepiawaiannya berkhotbah dilengkapi dengan pengetahuan agama Budha yang secara intensif ia pelajari, agar bisa beradu argumen dengan para pendeta Budha.

Masa Suram

Namun Daimyo Toyotomi Hideyoshi merasa terancam karena pengaruh Jesuit. Ia mulai menindas dan memerintahkan pemusnahan umat Katolik. Persisnya peristiwa itu terjadi tahun 1587.

Selama masa 1587-1596, umat Katolik beribadat secara sembunyi-sembunyi. Bisa dikatakan mereka menjadi umat Katolik ‘bawah tanah’. Masa itu menjadi masa suram bagi umat Katolik Jepang.

Saat itu, Pastor Paul Miki SJ tertangkap bersama 25 orang lainnya. Mereka terdiri dari beberapa imam Jesuit dan Fransiskan, bruder dan awam. Usia mereka rata-rata masih muda, bahkan ada yang berusia belasan tahun.

Di antara yang tertangkap tercatat nama Fransiskus, seorang tukang kayu yang ditahan ketika menyaksikan penyaliban. Malangnya, ia pun turut disalib. Ada juga Gabriel (19), putra seorang portir (pembawa barang). Lalu Leo Kinuya, tukang kayu berusia 28 tahun dari Miyako, dan Diego Kisai alias Kizayemon, seorang koadjutor dari Serikat Jesus. Tercatat juga nama Joachim Sakakibara, juru masak untuk Fransiskan di Osaka, dan Peter Sukejiro yang dikirimkan oleh seorang imam Jesuit untuk membantu mereka, tapi kemudian ikut ditahan. Selain itu, ada Cosmas Takeya dari Owari yang berkhotbah di Osaka, bersama Ventura dari Miyako yang dibaptis oleh imam Jesuit. Ventura ini berpaling dari kekatolikan karena kematian ayahnya, tapi kembali lagi menjadi Katolik karena Fransiskan.

Penyaliban

Mereka dipaksa berjalan sejauh 966 kilometer dari Kyoto ke Nagasaki. Seraya memanggul salib, mereka menyanyikan Te Deum. Leher mereka diikat cincin besi. Di samping masing-masing orang, berjalan algojo dengan lembing yang siap untuk ditikamkan. Seorang saksi mata memberikan kesaksian mengenai peristiwa itu: “Ketika salib-salib disiapkan, sangat indah menyaksikan betapa kokohnya iman mereka.”

Saat tiba di Nagasaki, kota dengan populasi Katolik terbesar di Jepang, mereka diizinkan untuk menerima Sakramen Tobat di biara. Setelah itu, tangan dan kaki mereka diikat di salib dengan tali dan rantai. Sebuah cincin besi diikatkan di sekitar leher mereka.

Salib-salib itu dibuat berjajar dengan jarak yang cukup. Paul Miki berdiri diantara mereka. Ia mengenakan jubah hitam sederhana. Kebanyakan orang melihatnya seperti mengenakan kostum samurai dengan dua pedang di sabuknya.

Pastor Pasio dan Rodriguez memberi semangat pada yang lain. Pastor Bursar berdiri tanpa bergerak, matanya memandang ke atas. Bruder Martin memanjatkan doa syukur dengan bermadah Mazmur. Berulang kali ia berseru: “Ke dalam tangan- mu ya Tuhan, aku serahkan jiwaku.” Bruder Francis Branco juga mengucap syukur dengan suara nyaring. Bruder Gonsalvo terus berdoa Bapa Kami dan alam Maria.

Paul Miki-lah yang pertama kali disalib. Dari atas kayu salib, ia masih sempat berkhotbah. Setelah berkhotbah, ia memandang ke arah teman-temannya dan mulai memberi semangat pada mereka. Wajah mereka bersinar. Seseorang berteriak bahwa Paul Miki pasti segera masuk surga. “Seperti Tuhanku, aku akan mati di atas kayu salib. Seperti Dia, sebuah tombak akan menikam jantungku hingga darah dan kasihku akan menyirami seluruh tanah ini dan menyucikannya atas nama Tuhan.”

Khotbah Terakhir

Khotbah terakhir Paul Miki sangat menggugah. Selain memaafkan para algojo, ia bersiteguh menyatakan sebagai orang Jepang dan anggota SJ. “Satu-satunya alasan aku dibunuh ialah karena aku mewartakan ajaran Kristus. Aku bersyukur pada Tuhan karena alasan itulah aku mati. Aku yakin, diriku memberitakan kebenaran sebelum mati. Aku tahu, kalian percaya padaku. Ingin kukatakan sekali lagi pada kalian semua: ‘Mohonlah pada Kristus agar kalian bahagia’. Aku mematuhi Kristus, mengikuti teladan- Nya, dan mengampuni para algojo yang membunuhku. Aku tidak membenci mereka, dan mohon agar Tuhan memaafkan mereka. Aku berharap, darahku akan jatuh untuk teman- temanku laksana hujan yang berlimpah,” serunya lantang.

Lalu Paul Miki memandang rekan-rekannya dan menyemangati mereka. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, terutama Louis. Ketika seorang umat berteriak bahwa ia akan segera masuk surga, tangan dan tubuhnya menegang. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang membuat semua orang terpaku memandangnya.

Paul Miki pun menambahkan, “Hingga kini, aku yakin tak seorangpun di antara kalian yang berpikir bahwa aku akan menyembunyikan kebenaran ini. Itulah sebabnya kunyatakan pada kalian: ‘Tak ada jalan keselamatan, selain jalan keselamatan yang diikuti orang Kristen’. Jalan ini mengajarkanku untuk mengampuni musuh dan semua yang membenciku. Aku pun memaafkan Kaisar dan semua pihak yang ingin membunuhku. Aku berdoa agar mereka dibaptis.”

Anthony yang tergantung di samping Louis memandang ke atas dan menyerukan beberapa nama orang kudus, serta menyanyikan Mazmur. Yang lain terus mengucapkan Yesus dan Maria. Wajah mereka sudah siap untuk mati sahid.

Menurut tradisi Jepang, para algojo mulai menghunus tombak mereka. Pada saat itu, semua orang yang menyaksikan menyerukan nama Yesus dan Maria. Segera badai isak tangis bergema saat itu. Para algojo membantai 26 orang itu, satu demi satu dalam hitungan detik.

Menjadi Orang Kudus

Di Gunung Suci, sebuah daerah pegunungan di Nagasaki, para martir itu beristirahat dalam kedamaian abadi. Tragedi pembantaian 26 martir beberapa abad silam tetap membekas bagi umat Katolik Jepang.

Paul Miki dan para martir itu digelari Beato pada 14 September 1627 oleh Paus Urbanus VIII. Lalu pada 8 Juni 1862, Paus Pius IX menggelari mereka Santo. Gereja merayakan pestanya tiap 6 Februari.

Sylvia Marsidi - HidupKatolik.com

--Deo Gratias--

Tags