Latest News

Showing posts with label OfmCap Com. Show all posts
Showing posts with label OfmCap Com. Show all posts

Saturday, July 13, 2019

Nande Kekelengan,Lagu Pop Karo Ciptaan Angelo PK Purba OFM Cap,Dengarkan...dan Bagikan !

Sunday, September 14, 2014

FOTO JADUL SEMASA NOPISIAT TAHUN 1971



FOTO JADUL SEMASA NOPISIAT TAHUN 1971

Membuka-buka album lama akan membuat kita terkenang akan masa lampau dengan segala orang dan suasana pada waktu itu. Namun kenangan yang lebih dominan ialah perjalanan hidup yang kita jalani dengan segala manis-pahitnya.

Saya posting di sini foto penghuni Biara Kapusin Parapat tahun 1971 (para pastor staf pembina dan para frater). Kami berfoto bersama karena Pater Propinsial dari Belanda mengadakan visitasi. Kalau tak salah nama Propinsial itu ialah Pater Alfred. Kami nopis waktu itu cuma 8 orang. Frater-frater lain yang ada dalam foto itu ialah Tingkat I dan Tingkat II Filsafat.

Bisa anda kenal yang mana saya dalam foto itu? Hehehe...


Source : Leo Sipahutar Ofmcap
Leo Sipahutar Ofmcap

Sunday, September 7, 2014

PELABUHAN FERRY AJIBATA



 PELABUHAN FERRY AJIBATA
Hari ini hari Minggu. Biasanya ferry yang menghubungkan Ajibata dan Tomok pp (Danau Toba) banyak digunakan orang untuk menyeberang. 
Kiranya perjalanan mereka menyenangkan, tak kurang suatu apapun, dan mencapai tujuan dengan selamat. 
Tuhan, berkati perjalanan mereka.


Source : Leo Sipahutar Ofmcap

Friday, September 5, 2014

BIARA NOPISIAT KAPUSIN di PARAPAT



 BIARA NOPISIAT KAPUSIN di PARAPAT

(dalam foto biara dan gerejanya terletak di tengah; sedangkan gereja yang di sebelah kiri dengan atap berwarna yang jauh lebih merah itu ialah gereja HKBP)

Di sinilah pendidikan awal para Kapusin selama satu tahun penuh, di mana mereka terutama dididik untuk mengenal secara lebih mendalam spiritualitas Fransiskan Kapusin, dilatih untuk secara mandiri menghidupinya dan disiapkan untuk mampu menjadi religius yang diikat oleh tiga kaul: hidup selibat, dalam ketataan dan hidup miskin.


 Source : FB
Leo Sipahutar Ofmcap

Thursday, August 21, 2014



Kedua suster ini ikut menjadi petugas di TPS yang ada di RS Elisabeth Medan. Mereka menjalankan tugasnya dengan ceria, penuh senyum, yang membuat para pemilih tidak tegang.

Source : FB P Leo Sipahutar OfmCap

Gereja St Petrus Medan Timur



P Leo Sipahutar OfmCap:

Pater Propinsial Kapusin (P. Emmanuel Sembiring) mengadakan visitasi ke komunitas Kapusin Gereja St Petrus Medan Timur. Saya harus ikut hadir sebagai anggota Ordo Kapusin.

Wednesday, July 2, 2014

BUKIT BINTANG LAUT TELUKDALAM (Nias Selatan)


Gereja Hati Kudus Yesus Paroki Telukdalam (Nias Selatan).


Suasana dalam gereja (anak-sanak sekolah bersiap merayakan Misa Sekolah).

Ornamen-ornamen budaya Nias menghiasi bagian seputar altar


Pastoran dan Kantor Paroki dilihat dari arah Rumah Sakit dan Susteran





Rumah Sakit STELLA MARIS (artinya: Bintang laut) yang dikelola Konggregasi Suster SCMM





Kota Teluk Dalam dengan pelabuhan alamnya.





Kota Teluk Dalam dilihat dari Bukit Bintang laut.



Antena Radio SUAKA (Suara Kapusin) menjulang tinggi di pebukitan itu. Radio Suaka ini sudah mulai nongol di udara tapi masih dalam bentuk siaran percobaan. Nanti tanggal 5 Juli 2014 Radio SUAKA ini akan diresmikan oleh Propinsial Ordo Kapusin Propinsi Sibolga.
















Tuesday, July 1, 2014

GUNUNG SITOLI ( NIAS )








SALAM 2 JARI dari GUNUNGSITOLI

Katanya penduduk Pulau Nias suka sekali menyapa orang lain dengan menunjukkan 2 jari sebagai tanda salam damai. Maka anda akan cepat berbaur dengan mereka kalau anda juga mengikuti cara memberi salam seperti itu.





 Sebelum saya pulang dari Nias ke Medan tgl 19 Juni 2014 yang lewat, saya menyempatkan diri mengunjungi Museum Pusaka Nias yang ada di Gunungsitoli. Museum ini didirikan oleh Pastor Johannes M. Hammerle OFMCap, seorang missionaris Kapusin dari Jerman'; dan sampai sekarang beliau masih mengelola museum ini.

Ada beberapa remaja siswa SMU St Xaverius Gunungsitoli yang saat itu juga mengunjungi museum ini. Entah karena saya pastor, ataukah karena tampangku yang keren (walau sudah nampak tua), mereka mendaulat saya untuk berfoto bersama. Dan....patung-patung membisu di sekitar kami menjadi saksi... Hahahahaha....






 BULAN PURNAMA DI ATAS PASTORAN TELUK DALAM (Nias)

Foto ini saya jepret tgl 15 Juni 2014 ylang lewat, pada malam pertama kunjunganku ke Teluk Dalam (Nias). Besok paroki ini merayakan pesta pelindungnya: Hati Yesus Yang Mahakudus. Kiranya hati Yesus yang begitu lembut dan rendah hati sungguh-sungguh merasuki segala reksa pastoral paroki yang ada di ujung selatan Pulau Nias ini.

Selamat malam para sahabat....
Kiranya seperti cahaya bulan yang lembut, cahaya Tuhan menyertai bangsa kita, agar segala "hiruk pikuk" yang sangat terasa menjelang Pilpres ini akhirnya akan membawa bangsa kita ke hidup yang lebih baik dan sejahtera.






 Jumat 27 Juni Gereja kita merayakan HATI YESUS YANG MAHAKUDUS.
Di sini saya posting foto sebuah patung yang tinggi dan besar yang berdiri megah di kompleks Gereja Katolik yang ada di Teluk Dalam (Nias). Inilah patung Hati Yesus yang Mahakudus, Patung ini menghadap ke arah kota Teluk Dalam yang ada di bawahnya, sekaligus juga menghadap ke arah laut. Memang pelindung Paroki Teluk Dalam ialah Hati Yesus Yang Mahakudus, dan karena itu paroki ini disebut: PAROKI HATI YESUS YANG MAHAKUDUS.

Karena situasi tidak memungkinkan untuk merayakan pesta pelindung paroki ini pada hari Jumat 27 Juni 2014, maka perayaan telah digeser ke hari Minggu yang lalu (22 Juni 2014). Menjelang puncak perayaan itu paroki sudah mengadakan berbagai kegiatan, yang melibatkan semua warga paroki, termasuk para pastor, bruder dan suster yang ada di sana.

Kita ucapkan SELAMAT PESTA kepada semua saudara seiman yang ada di Paroki Teluk Dalam. YA'AHOWU







 Sebelum saya terbang pulang dari Nias ke Medan hari Kamis tgl 18 Juni 2014 yang lewat, saya sempat berkunjung ke SEKOLAH TINGGI PASTORAL (STP) DIAN MANDALA - GUNUNGSITOLI. Kunjungan singkat yang berkesan, karena sempat ngobrol dengan para dosen dan mahasiswanya. Sebelum cabut dari sana, berfoto bersama dulu. Bah.... tanpa dikomando, ternyata banyak yang spontan mengacungkan salam 2 jari. Oke deh.... itu lambang: Peace dan Victory.



Gereja Katolik LAVERNA di Gunungsitoli (Nias) yang dikelola oleh Ordo Kapusin

 


 





 Source : FB Leo Sipahutar OfmCap





























Saturday, June 21, 2014

Nias - Wonder of the World from Indonesia oleh The Real Wonder of the World Foundation.


Nias - Wonder of the World from Indonesia oleh The Real Wonder of the World Foundation.

Di sela-sela kunjungan kerjaku ke Teluk Dalam (Pulau Nias) saya menyempatkan diri mengunjungi desa Bawomataluo pada tanggal 16 Juni 2014. Jarak tempuh dari Teluk Dalam ke desa ini kurang lebih 40 menit. Inilah sebuah desa adat yang sudah berusia ratusan tahun dan saat ini telah menjadi salah satu warisan budaya dunia yang telah diusulkan oleh UNESCO sejak tahun 2009, dan pada bulan Desember 2012 lalu dianugerahi sebagai salah satu Wonder of the World from Indonesia oleh The Real Wonder of the World Foundation.
Desa Bawomataluo (secara harafiah berarti: Bukit Matahari) diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840. Inilah merupakan sebuah perkampungan dengan deretan rumah adat tradisional (Omo Hada) khas Nias Selatan dengan jumlah 137 Omo Hada yang masih utuh, dengan sebuah OMO SEBUA (Rumah Adat Besar/ Rumah Raja di tengah-tengahnya). Perkampungan ini terletak pada ketinggian 324 meter di atas permukaan laut ini, yang dihuni oleh 1310 Kepala Keluarga (KK).
Untuk mencapai desa Bawomataluo dari jalan raya, kita harus menaiki 77 anak tangga (awalnya 80 anak tangga, namun berkurang akibat longsor) dengan latar belakang bentangan desa Orahili dan pemandangan Pantai Sorake dan teluk Lagundri di kejauhan.
Pekarangan seluruh desa itu terbuat dari susunan lempengan bebatuan. Tak jauh dari anak tangga terakhir gerbang Bawomataluo, kita akan melihat sebuah batu lompat setinggi 2,15 meter (batu itu disebut Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias). Di sebelah kiri batu itu terletak Omo Sebua (Rumah Raja) dan di sebelah kanannya terletak Omo Bale (Balai Desa).
Omo Sebua merupakan rumah adat terbesar yang disangga oleh kurang lebih 60 tiang dan beberapa di antaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar. Batang-batang kayu raksasa itu konon didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan ke laut. Kemudian ditarik dari darat ke atas bukit dengan kereta peluncur.
Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat setempat, Omo Sebua ini dibangun oleh 40 pekerja ahli, dan menghabiskan masa empat tahun untuk merampungkannya. Selama empat tahun itu, tiap harinya dua ekor babi disediakan untuk makanan para pekerja. Dan puncaknya, 300 ekor babi dihidangkan saat Omo Hada ini selesai dibangun dan diresmikan. Uniknya, seluruh taring babi selama empat tahun tadi itu, tidak disia-siakan, melainkan dijadikan dekorasi di dalam Omo Hada.
Di depan Omo Hada ini, terdapat meja batu lengkap dengan kursi yang juga dari batu (Daro-daro atau Harefa) serta beberapa menhir. Ada sebuah batu yang menjulang tinggi, yang namanya batu Faulu (batu tanda menjadi raja)


Saya bersama Pastor Thomas Maduwu OFMCap (pastor paroki luar kota Teluk Dalam) bersia-siap menaiki tangga.



Para penduduk baru pulang dari pasar dan menaiki anak tangga tangga untuk mencapai rumah mereka di desa Bawomataluo.


 



Saya sudah capek dan nafas tersengal-sengal. Agar bisa istirahat sejenak, saya berdalih minta difoto menjelang anak tangga terakhir. Di kejauhan nampak laut. 



Gantian saya memotret Pastor Thomas Maduwu


Perkampungan yang ada di bawah desa Bawomataluo



Dari desa Bawomataluo kita bisa menyaksikan hamparan laut di kejauhan


Gereja Protestan dengan menara kembar terlihat dari tangga Bawomataluo.




Begitu segala anak tangga kita lewati, terhamparlah di hadapan kita desa Bawomataluo dengan pekarangan yang terbuat dari susunan lempengan bebatuan.



Deretan rumah-rumah tradisonal. Di ujung kita bisa melihat menara gereja Katolik.




Deretan rumah-rumah tradisonal.


Omo Sebua (Rumah Raja).







Perhatikan batu padas yang rata dan licin yang berjejer di depan rumah. Ini sangat berguna bila ada kegiatan di halaman luas itu agar para penduduk kampung punya tempat duduk untuk menyaksikannya.





Omo Bale (Balai Desa).



Batu lompat setinggi 2,15 meter (batu itu disebut Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias).



Seorang pemuda sedang latihan melompat Hombo Batu. Dalam acara resmi dia harus menyandang perisai di tangan kiri dan memegang tombak di tangan kanan.


Sebuah batu padas yang digosok licin menjadi tempat duduk. Di dekatnya ada peninggalan meriam kuno.





Batu Faulu (batu tanda menjadi raja).





Meja batu.


 



Omo Sebua merupakan rumah adat terbesar yang disangga oleh kurang lebih 60 tiang dan beberapa di antaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar. Batang-batang kayu raksasa itu konon didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan ke laut. Kemudian ditarik dari darat ke atas bukit dengan kereta peluncur.

Omo Sebua merupakan rumah adat terbesar yang disangga oleh kurang lebih 60 tiang dan beberapa di antaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar. Batang-batang kayu raksasa itu konon didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan ke laut. Kemudian ditarik dari darat ke atas bukit dengan kereta peluncur.

Ukiran kayu pada dinding Omo Sebua (Rumah Raja). Yang dinampakkan dalam ukiran ini ialah lambang kerajaan.


Saya sejenak mencicipi kursi raja.





Taring babi (yang disembelih waktu pesta-pesta) dijadikan dekorasi di dalam rumah.




Suasana di dalam Omo Bale (Balai Desa).


Suasana di dalam Omo Bale (Balai Desa).



Hari sudah senja, ketika kami meninggalkan desa Bawomataluo. Dan di kejauhan air Lautan Hindia kelihatan mengkilap ditimpa matahari senja.

Source : 
Leo Sipahutar OfmcapLeo Sipahutar Ofmcap



Tags