HAM DAN GEREJA




Sebelum membahas Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perspektif Kristen, kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan mendasar untuk kita jawab bersama, HAM itu apa?

1. Apakah ada dasar biblis dan teologis HAM?
2. Sejauh mana hubungan antara iman dan HAM?
3. Sejauh mana Gereja (pimpinan dan umat) terlibat dalam penegakan HAM?
4. Apa kendala partisipasi Gereja dalam penegakan HAM?


1. HAM 
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia (Jack Donnely).

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Intisari pengertian hak asasi manusia menurut 50 ahli/pakar: "HAM/Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya."

Dari beberapa pengertian HAM di atas dapat kita tarik suatu kesimpulkan bahwa HAM itu:
a. ada dalam diri setiap manusia
b. adanya bukan karena pemberian tetapi karena adanya sendiri sebagai manusia (kodrat)
c. tidak dapat dicabut oleh siapapun

Pertanyaan berikutnya adalah darimana HAM itu? 
Karena HAM itu bukan suatu pemberian tetapi ada dalam diri manusia karena kodratnya sebagai manusia, maka HAM itu seharusnya berasal dari YANG ADA yang tidak tergantung kepada Pengada yang lain, yang oleh para filsuf disebut sebagai CAUSA PRIMA dan orang-orang yang beragama menyebutNya sebagai TUHAN, ALLAH, BAPA, DEBATA….


2. Dasar Biblis dan Teologis HAM
Pertanyaan pertama yang harus dijawab ketika berbicara tentang Hak Asasi Manusia (Human Rights) adalah “who is human?” Who Am I? Siapakah saya?
Untuk menjawab “Who Am I” dalam perspektif kekristenan, kita mengarahkan diri pada kisah penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian: 1:26 Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." 1:27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Kejadian 2:15 TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.
Dari kisah penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian di atas, dapat kita tarik beberapa gambaran tentang siapakah manusia itu, yakni: bahwa manusia adalah Citra Allah, bahwa manusia, laki-laki dan perempuan, dicipta olah Allah yang sama, bahwa manusia itu ditempatkan di taman eden.

a. Manusia: Imago Dei
“Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”

Perspektif Kristen tentang kedudukan manusia sebagai “citra Tuhan” (imago Dei, the image of God) menempatkan manusia sebagai mahkluk yang istimewa di mata Tuhan, yakni manusia ambil bagian dalam perwujudan citra Tuhan. Pelecehan terhadap manusia merupakan pelecehan terhadap citra Tuhan dalam diri setiap orang bahkan dalam diri orang-orang yang paling berdosa sekalipun, apakah dia dibaptis atau tidak dibaptis. Partisipasi manusia dalam kesucian dan keagungan Tuhan adalah akibat penciptaan dan dimungkinkan oleh penciptaan itu, sehingga siapa saja yang diciptakan sebagai manusia memikul dalam dirinya suatu martabat sebagai “WAJAH” Tuhan sendiri.

b. Manusia: Persaudaraan Universal
Manusia, baik laki-laki dan perempuan, dicipta oleh Allah yang sama. Allah yang sama itu juga yang memberkati mereka, Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1:28)

Kesadaran sebagai mahkluk yang dicipta dari Allah yang sama membawa konsekwensi: 
Bahwa manusia adalah sama, tidak ada perbedaan antar manusia sebagai manusia
bahwa semua manusia mendapat berkat yang sama dari Allah, berkat untuk hidup
bahwa hubungan antar manusia adalah sebagai saudara dan bahkan dengan seluruh ciptaan yang lain, karena dicipta oleh Allah (Bapa) yang sama
bahwa semua manusia ditempatkan dan dipanggil untuk mengusahakan dan memelihara Taman Eden

c. Manusia dan Taman Eden

Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Taman Eden merupakan gambaran tempat dimana manusia dapat hidup bahagia. Allah menempatkan manusia di Taman Eden, taman yang telah diciptakan Allah sendiri untuk manusia. Bahwa Taman Eden dimengerti sebagai tempat bahagia manusia, juga dapat kita lihat dari Kitab Yehezkiel dan Yesaya. Yehezkiel 28:13 Engkau di taman Eden, yaitu taman Allah penuh segala batu permata yang berharga: yaspis merah, krisolit dan yaspis hijau, permata pirus, krisopras dan nefrit, lazurit, batu darah dan malakit. Tempat tatahannya diperbuat dari emas dan disediakan pada hari penciptaanmu. Yesaya 51:3 Sebab TUHAN menghibur Sion, menghibur segala reruntuhannya; Ia membuat padang gurunnya seperti taman Eden dan padang belantaranya seperti taman TUHAN. Di situ terdapat kegirangan dan sukacita, nyanyian syukur dan lagu yang nyaring.

Dari uraian Alkitab di atas, kita pahami bahwa Allah menciptakan manusia yang tertuju kepada kebahagiaan. Allah menginginkan manusia yang adalah Citra-Nya itu hidup bahagia. Bahkan setelah manusia diusir dari Taman Eden karena manusia mengingkari perjanjian dengan Allah, Allah tetap mengutus para nabi untuk membawa manusia ke tanah terjanji. Jadi Aku telah berfirman: Aku akan menuntun kamu keluar dari kesengsaraan di Mesir menuju ke negeri orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, ke suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya (Keluaran 3:17)

Kepedulian Allah akan manusia juga Kitab Perjanjian Baru, yakni kehadiran Pribadi Yesus. “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang,” [Lukas 4 : 18 - 19]

Dan sepanjang rentang pelayanan-Nya, Ia selalu mengajarkan agar manusia dilepaskan dari semua belenggu kelaliman dan penindasan, termasuk kebebasan dari kuk hukum atau aturan-aturan yang membelenggu manusia untuk dapat eksis sebagai manusia sebagaimana dicipta oleh Allah. Seluruh hidup dan perjuangan Yesus adalah untuk mengembalikan manusia kepada manusia dalam perspektif Allah Pencipta.

Dari uraian di atas dapat kita tarik beberapa kesimpulan terkait hubungan antara HAM dan Kitab Suci serta Teologi Kekeristenan kita, bahwa:
- Allah memberi hidup dan berkat untuk manusia
- Allah menghendaki manusia yang diciptaNya untuk hidup bahagia

Artinya, hak manusia untuk hidup dan bahagia merupakan hak yang ada sejak awal penciptaan manusia. Hak ini berasal dari Allah sendiri. Dan untuk tercapainya hak tersebut, Allah memberi tugas kepada manusia, yakni mengusahakan dan memelihara. Dengan demikian Hak Asasi Manusia bukanlah rumusan ideal manusia tentang dirinya sendiri, melainkan pemahaman tentang apa yang dikehendaki Allah mengenai manusia.
Apabila pemahaman kita tentang Hak Asasi Manusia bersumber pada apa yang dikehendaki Allah mengenai manusia maka implikasinya adalah bahwa tak ada satu orang pun atau satu lembaga pun, termasuk negara, yang berwenang untuk membatalkan atau mengurangi hak-hak tersebut.
Kehendak Allah itu meliputi dimensi individual manusia (gambaran wajah Allah: Imago Dei) dimensi hidup sosial manusia (persaudaraan universal), dimensi ekologinya (mengusahakan dan memelihara) maupun dimensi futurologisnya (beranak cuculah, kesempatannya untuk memiliki masa depan).
Adanya Hak Asasi Manusia itu mengimplikasi KEWAJIBAN, hak hanya menjadi hak setelah kewajiban terpenuhi. Sebaliknya, kewajiban juga mengimplikasikan hak, sebab kewajiban hanya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya apabila hak dihormati. Hak tanpa kewajiban adalah kesewenang-wenangan, sedangkan kewajiban tanpa hak adalah perbudakan. Artinya:
hak saya untuk bebas dan bermartabat mengimplikasikan kewajiban saya untuk menghormati kebebasan dan martabat orang lain.
hak saya untuk mendapat rasa aman dan dihormati dalam membangun hidup persaudaraan dengan sesama mengimplikasikan kewajiban saya untuk memberi rasa aman dan menghormati dan memperlakukan sesama sebagai saudar
hak saya untuk mengambil manfaat dari alam ciptaan mengimplikasikan kewajiban saya untuk memelihara dan melestarikannya, dan
hak saya atas masa depan mengimplikasikan kewajiban dan tanggung jawab saya atas kesejahteraan generasi-generasi yang akan datang.

Menurut saya, Yesus merumuskan dengan tepat inti dari seluruh ajaran dan hukum dalam membangun hidup yang harmonis dan berperspektif HAM, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.dan Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”


3. GEREJA DAN HAM
Gereja merupakan persekutuan umat Allah yang dipersatukan oleh Kristus sebagai satu tubuh dalam Kristus yang dipanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia ini. Kerajaan Allah yakni kerajaan cinta sebagaimana kodrat penciptaan manusia dalam perspektif Allah Pencipta – manusia hidup bahagia. Untuk mencapai hidup bahagia itu, Yesus sendiri mengamanatkan tugas perutusannya ke dunia ini, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang,” [Lukas 4 : 18 - 19]

Dengan demikian Gereja (persekutuan, lembaga, hirarki dan organisasi kegerejaan) pada hakekatnya dipanggilan (berpartisipasi) untuk meneruskan karya perutusan Kristus sendiri. Karya perutusan Kristus itu adalah membangun Kerajaan Allah, menjadi tanda bahwa Allah hadir menyertai/bersama manusia dalam seluruh pergumulan dan persoalan hidup manusia. Keprihatinan dan kepedulian Gereja merupakan tugas untuk mengambil bagian dalam upaya mengangkat martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna, yakni manusia sebagai citra Allah, gambar dan wajah Allah yang penuh dengan kemuliaan di dunia ini.
Keprihatinan ini menjadi sangat kontekstual justru ketika kehidupan di dunia modern saat ini banyak sekali menunjukkan tanda-tanda rusaknya wajah Allah, yaitu ketidakadilan, kekerasan, penindasan, orang-orang yang terpinggirkan dan tidak terpenuhi hak-hak hidupnya.

Konsekuensi dari iman akan Kristus adalah menjadi alter christus – menghadirkan Kristus melalui tubuh Gereja – menghadirkan Kristus melalui masing-masing anggota tubuh Gereja – menjadi tanda dan kesaksian bahwa Kristus itu hidup dan Immanuel. Pengakuan bahwa Tuhan itu Mahapencinta, Mahapengampun, atau Mahabaik, credo atau syahadat adalah sesuatu yang esensial dalam kehidupan beragama, tetapi kepercayaan itu bukanlah sesuatu yang ada hanya untuk diucapkan pada waktu ibadah, tetapi untuk diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Satu hal yang kita pelajari dari sejarah atheisme modern di Barat ialah bahwa kemunculan atheism itu pada awalnya tidak disebabkan oleh penolakan secara sadar terhadap eksistensi Tuhan. Beberapa studi (misalnya yang dilakukan oleh filsuf Perancis Ignace Lepp dalam The Psychoanalysis of Modern Atheism) menunjukkan bahwa atheisme muncul mula-mula sebagai reaksi terhadap kecenderungan teologi Kristen yang memusatkan seluruh perhatian dan pembicaraannya pada adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, tanpa memberikan perhatian sedikit pun terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia sendiri. Kesimpulan yang diajukan Lepp: suatu teologi yang mengabaikan manusia pada akhirnya akan melahirkan antropologi yang mengabaikan Tuhan, yaitu atheisme. Orang Kristen mengingkari tokohnya sendiri.

Dengan uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa hubungan antara Gereja dan HAM itu saat erat, bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Gereja pada hakekatnya dipanggil untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu adalah kehidupan yang damai, bahagia dan berkeadilan. Hidup damai, bahagia dan adil itu hanya mungkin terjadi ketika terjadi keselarasan – hidup harmonis antara sesama ciptaan, baik antara sesama manusia maupun manusia dengan seluruh alam ciptaan. Dunia dilandasi oleh persaudaraan universal.

Ketika Gereja diam, tutup mata atau masa bodoh dengan segala bentuk penindasan, kesewenang-wenangan, pembodohan, penindasan, kekerasan dan segala bentuk yang mengurangi mutu dan kwalitas hidup seseorang dalam memperoleh hak untuk hidup bahagia, maka Gereja telah mengingkari kodratnya sendiri. Gereja mengingkari perutusan yang telah dimulai oleh Yesus sendiri, “Aku datang untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”

Kotbah, doa dan kehikmatan beribadah yang senantiasi kita perlihatkan dalam hidup kita sebagai orang Kristen akan menjadi hambar dan tidak ubahnya seperti seorang Farisi yang dikecam Yesus, seperti kuburan yang indah di luar tetapi busuk dan bau di dalamnya. Kita menjadi orang yang munafik… dan apakah masih berani kita menyebut diri sebagai pengikut Kristus… sebagai seorang Kristen? Maka seorang Kristen yang tidak ambil bagian dalam penegakan hak-hak asasi manusia serta turut berjuang untuk terpenuhinya hak-hak asasi ini tidak layak disebut sebagai seorang Kristen.

4. BEBERAPA CATATAN UNTUK GEREJA (AGAMA)
Manusia merupakan citra wajah Allah – imago Dei. Sebagai citra Allah, Allah sendiri menghendaki bahwa setiap manusia itu hidup bahagia. Hidup bahagia menjadi hak hakiki, anugerah Allah sendiri.
Manusia diutus dengan berkat untuk mengusahakan dan memelihara hidup bahagia itu. Segala rumusan Hak Asasi Manusia yang telah dideklarasikan merupakan bagian dari usaha dan memelihara hidup manusia untuk bahagia.
Gereja (agama) (baik pribadi, lembaga, organisasi, atau hirarki) yang mengaku sebagai tanda/wujud kehadiran Allah di dunia ini harus menjadi PROMOTOR dalam menegakkan hak-hak manusia yang paling asasi itu, yakni hidup bahagia; dan sekaligus menjadi garda terdepan dalam membela dan memperjuangkan hak-hak orang-orang yang diabaikan
Gereja harus berpihak dan berani berpihak kepada keharusan terwujudnya hak asasi setiap orang.
Gereja (agama) tidak mempunyai bobot dan mengingkari hakekatnya sendiri ketika alpa, mengabaikan dan diam terhadap segala bentuk pemandulan, pembodohan dan pemerkosaan hak-hak asasi orang lain.
Gereja (agama) harus berani menyetop segala bentuk perselingkuhan dengan para penguasa, pemerintah, pemodal, dan mammon… yang menyebabkan Gereja enggan, sungkan, malu, tutup mata, pura-pura tidak tahu, mandul, bisu dan masa bodoh terhadap penindasan, ketidakadilan, kekerasan dan kesewenang-wenangan.
GEREJA = IMANUEL


Sdr. Hilarius Kemit OFMCap
JPIC Kapusin Medan

Source : http://kapusinmedan.blogspot.com/

Post a Comment

Previous Post Next Post